Hasan Al-Bana & Pikiran Politik Ikhwan (1)


Barangkali, pendekatan yang paling canggih untuk ideologi Pan-Islam, dalam situasi baru Nasionalisme-Mesir dari era 1920-an dan 1930-an, adalah yang pernah dikembangkan oleh Hassan al-Banna, pendiri Ikhwan, sepanjang periode 1929.

Al-Banna terutama bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan hubungan ini. Meskipun sebagian besar berkaitan dengan urusan dalam negeri Mesir, dan kemudian dari negara-negara lain, di mana cabang Ikhwan satu persatu mulai bermunculan, gagasan negara Islam universal selalu difokus secara tersirat. Meskipun, ia  sangat mencela Nasionalisme, terutama karena Barat-yang berpikiran sekuler, al-Banna mengembangkan visinya tentang Pan-Islam Nasionalisme; menegaskan bahwa Islam dan Nasionalisme adalah komplementer, terutama ketika yang terakhir ini dioperasikan dalam parameter kebenaran Islam, karena, untuk Ikwah, Islam tentu saja merupakan agama dan negara.

Di sini kita perlu menganalisis konsep dasar yang telah digariskan Hassan al-Banna dalam mendirikan Ikhwan. Kemudian kita juga akan mengeksplorasi pikiran Imam Syahid tentang penyebab turunnya kualitas masyarakat Islam, khususnya di Mesir. Usaha dan kerjanya untuk masyarakat Islam di hari sangat layak untuk menjadi pertimbangan besar.

Hasan Al Bana Dan Kehidupan Awalnya

Seperti banyak pemimpin Islam, Al-Banna menikmati manfaat dari sebuah pendidikan modern, tetapi dibesarkan di lingkungan Islam tradisional. Imam Syahid lahir pada tahun 1906 di Mahmudiyya, Mesir (utara-barat Kairo). Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna, adalah seorang imam lokal yang sangat dihormati—seorang imam masjid.

Ayahnya adalah didikan Universitas Al-Azhar, menulis buku-buku tentang tradisi Islam, dan juga memiliki toko di mana ia memperbaiki jam tangan dan mejual gramophones. Meskipun Sheikh Ahmad al-Banna dan istrinya memiliki beberapa properti, mereka tidak kaya. Ketika Hassan al-Banna berusia duabelas tahun, ia terlibat dalam suatu tarekat sufi, dan menjadi anggota penuh pada tahun 1922. Ketika berusia tiga belas tahun, Imam Syahid ikut serta dalam demonstrasi selama revolusi tahun 1919 melawan pemerintahan Inggris. Pada tahun 1923 ia memasuki Dar al ‘Ulum, sebuah sekolah pelatihan guru di Kairo.

Sejak itu, kehidupan di ibu kota menawarkan berbagai kegiatan yang lebih besar daripada desa dan kesempatan untuk bertemu dengan para ulama terkemuka. Tetapi Imam Syahid sangat terganggu oleh pengaruh Westernisasi yang begitu merebak di Mesir, terutama munculnya sekularisme dan keruntuhan moral tradisional. Dia juga kecewa terhadap ulama-ulama Al-Azhar dalam menyuarakan penentangan terhadap munculnya atheisme dan pengaruh misionaris Kristen.

Pada tahun terakhir di Dar Al-‘Ulum, ia mendedikasikan dirinya untuk menjadi "seorang konselor dan seorang guru anak-anak. Dia lulus pada tahun 1927 dan diberi posisi sebagai guru bahasa Arab di sebuah sekolah dasar negeri di Isma’iliyya, sebuah kota yang terletak di kawasan Terusan Suez.

Di Isma’iliyya, di samping kelas pagi hari pada muridnya, Imam Syahid memberikan kuliah malam kepada orang tua muridnya. Dia juga berkhotbah di masjid, dan bahkan di kedai-kedai kopi, di mana menjadi sesuatu yang sangat baru waktu itu.

Pada awalnya, beberapa pandangannya menyebabkan perbedaan pendapat yang kuat dengan elit agama setempat, dan ia mengadopsi kebijakan menghindari kontroversi dalam beragama. Antara 1948 dan 1949, tidak lama setelah masyarakat mengirim relawan untuk bertempur dalam perang di Palestina, konflik antara monarki dan masyarakat mencapai puncaknya.

Takut dengan meningkatnya ketegasan dan popularitas Ikhwan, serta dengan desas-desus rencana kudeta, Perdana Menteri Nuqrashi Pasha membubarkan Ikhwan pada bulan Desember 1948. Aset organisasi disita dan sejumlah anggotanya dipenjarakan. Imam Syahid sendiri dibunuh pada bulan Februari 1949, ketika berusia 43 tahun dan tengah berada di puncak karirnya.

Usaha Imam Syahid

Empat tahun yang dihabiskan Imam Syahid Al-Banna di Kairo membuatnya terkena gejolak politik Mesir di awal 1920-an, dan meningkatkan kesadaran tentang sejauh mana cara-cara sekuler dan Barat telah menembus masyarakat. Saat itulah Al-Banna menjadi sangat sibuk dengan apa yang dilihatnya bahwa generasi muda menjauh dari Islam. Dia percaya bahwa hati dan pikiran pemuda mejadi sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup agama yang dikepung oleh serangan gencar Barat.

Sambil belajar di Kairo, ia menenggelamkan diri dalam tulisan-tulisan para pendiri reformisme Islam (gerakan Salafiyyah), termasuk "Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), yang paling memengaruhi Al-Banna.

Al-Banna adalah seorang pembaca Al-Manar yang penuh dedikasi, majalah yang diterbitkan oleh Ridha di Kairo dari 1898 sampai wafatnya pada tahun 1935. Ia mempelajari buah pikiran Ridha tentang kepedulian penurunan peradaban Islam dan menuju ke Barat. Dia juga percaya bahwa kecenderungan ini dapat dihindari hanya dengan kembali ke bentuk murni Islam.

(sa/ikhwanweb)

Bersambung