Ketika Gerakan Islam Terjun Ke Ranah Politik (3)

Dampak Partisipasi Politik

Partisipasi politik tak pelak menyebabkan beberapa gerakan Islam—walau tidak semua—bergeser menjadi moderat.

Gerakan yang beroperasi dalam kondisi normal cenderung menjadi lebih moderat; mereka yang berada dalam kondisi terkepung, tidak. Beroperasi di bawah kondisi "normal" di dunia Arab bukan berarti beroperasi di bawah kondisi demokratis, tetapi di bawah kondisi yang sama yang mempengaruhi semua pelaku oposisi di negara tanpa ancaman yang konstan. Kondisi seperti ini berlaku di Maroko, Aljazair, Kuwait, dan untuk tingkat yang lebih rendah, di Bahrain.

Partisipasi di bawah Kondisi "Normal"

Negara dengan kondisi yang paling menguntungkan bagi partisipasi politik adalah Maroko. Pembukaan sistem politik pada tahun 1997 oleh Raja Hassan II kemudian memperbolehkan gerakan Islam untuk membentuk sebuah partai, yang akhirnya muncullah Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD). Raja baru, Mohammad VI, mempertahankan pembukaan, dan masih berusaha untuk melibatkan gerakan atau partai Islam dalam partisipasi pemilihan umum, namun mencegah pihak manapun memenangkan mayoritas kursi parlemen.

PJD terus berfungsi sebagai partai politik normal di parlemen, dan bahkan memilih demi sebuah kode status pribadi baru yang tidak secara eksklusif didasarkan pada syariah dengan alasan bahwa itu dibahas secara demokratis. Namun, dalam pemilihan parlemen tahun 2007, PJD membayar harga mahal itu untuk memainkan peran oposisi yang setia dalam sebuah sistem demokratis. Hanya memenangkan 46 kursi ketika diharapkan menang 70 kursi, dan menerima suara lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2002.

Tampak jelas, pemilih kecewa dan kemudian menjauh dari tempat pemungutan suara. Oleh karena itu, dalam kasus PJD, partisipasi dalam politik hukum menimbulkan moderasi-partai yang dibayar dalam pemilihan suara.

Gerakan Masyarakat Perdamaian (MSP) Aljazair mempunyai pengalaman yang sangat mirip dengan PJD. MSP memilih menjadi mitra dalam pemerintahan koalisi di bawah Presiden Abdulaziz Bouteflika dalam iklim di mana banyak Gerakan Islamis lebih memilih jalur yang tegas (keras). Dalam pemilu tahun 1997 MSP memenangkan 71 kursi. Pada tahun 2002, MSP hanya memenangkan 38 kursi, dan pada tahun 2007, kembali meraih hasil lebih baik dengan 52 kursi. Meskipun mundur, partai mempertahankan sikap yang moderat.

Di Bahrain, masalah sesungguhnya bukanlah Islamisasi negara tetapi pembagian kekuasaan antara mayoritas Sunni dan minoritas Syi’ah.

Syiah al-Wefaq Society—kelompok oposisi utama–telah bekerja bagi koeksistensi dan reformasi secara bertahap daripada konfrontasi, dan partisipasi politik memang telah menjadi moderator. Namun, hasil yang terbatas partisipasi al-Wefaq dikombinasikan dengan diskriminasi terhadap komunitas Syiah di dalam kelompok itu sendiri mengakibatkan kehilangan konfrontasi gerakan.

Gerakan Islam Kuwait, bahkan lebih terpecah-pecah. Kelompok yang terorganisasi paling baik adalah Gerakan Konstitusi Islam (MKI). MKI menghadapi persaingan ketat dan tekanan dari kelompok-kelompok Salafi, yang mengambil posisi penjaga moral dan isu-isu sosial seperti pemisahan gender dan cara berpakaian.

Meskipun tidak ada bukti pada titik ini bahwa ICM seharusnya memikirkan kembali komitmennya sebagai partai moderat, juga jelas bahwa persaingan dengan kelompok Salafi membuat MKI jadi konservatif.

Partisipasi di bawah kondisi normal muncul untuk memperkuat tekad gerakan dan partai Islam menjadi bagian dari proses politik hukum negara mereka, dan kurang fokus pada isu-isu ideologis dan lebih memilih konsen pada tantangan praktis mempertahankan dukungan dari konstituen mereka. Sekali di parlemen, gerakan dan partai Islam dipaksa untuk fokus pada isu-isu parlemen, sementara ideologi akhirnya hanya memainkan peran yang sekunder. BERSAMBUNG

(sa/iw)