Ketika Gerakan Islam Terjun Ke Ranah Politik (1)

Partai dan gerakan Islam di negara-negara Arab telah mendapatkan kepentingan politik yang besar dengan membuat pilihan strategis untuk berpartisipasi dalam proses dan hukum politik untuk mendapatkan legitimasi konstitusi. Partisipasi politik mereka telah melahirkan dua masalah utama baik di dunia Arab dan di Barat.

Pertama, adakah partai-partai dan gerakan ini benar-benar berkomitmen untuk demokrasi? Dan kedua, apakah partisipasi itu sendiri akan memperkuat komitmen mereka terhadap norma-norma dan prosedur yang demokratis? Pengalaman berpartisipasi dan gerakan partai Islam di Maroko, Aljazair, Mesir, Yordania, Bahrain, dan Yaman, serta pihak-pihak bersenjata di Lebanon dan Palestina, mengungkapkan gambar yang kompleks.

Komitmen terhadap demokrasi bukanlah pilihan yang mudah bagi partai Islam. Ini melibatkan beberapa masalah ideologis berduri serta beberapa pilihan taktis, dan mau tak mau, pragmatis.

Pada tingkat ideologis, ada ketegangan mendasar dalam partai dan gerakan Islam dalam wacana gagasan bahwa hukum harus didasarkan pada firman Allah; dengan demikian sesuai dengan hukum Islam atau syariah, bahwa dalam sistem politik yang demokratis, undang-undang yang dibuat pada dasar mayoritas oleh parlemen adalah yang dipilih secara bebas oleh warga negara.

Sebuah partai tidak bisa menyebut dirinya Islamis dan mempertahankan dukungan dari pengikut Muslim taat jika mengumumkan syariah bukan sebagai dasar perundang-undangan. Pada saat yang sama, partai yang tidak bisa menyebut dirinya demokratis, berjuang untuk memilih para kandidat ke parlemen, dan bergabung bersama-sama dengan partai lain dalam membela oposisi yang lebih terbuka harus mengakui hal-hal yang lebih mengikat.

Ketegangan antara Islam dan pandangan demokratis belum sepenuhnya diselesaikan oleh satu pihak atau gerakan. Hasil dari ketegangan ini adalah bahwa pemikiran politik Islam berisi sejumlah zona abu-abu mengenai tempat hukum Islam dalam undang-undang, penggunaan kekerasan sebagai alat oposisi, batas-batas pluralisme politik, sipil dan hak-hak politik individu versus kebaikan masyarakat, dan posisi perempuan dan kaum minoritas di dalam masyarakat yang lebih luas.

Akibatnya, konstalasi ideologis dan perjuangan politik menyatakan bahwa syariah harus menjadi standar legitimasi hukum dari semua nilai, versus penerimaan hukum-hukum yang disampaikan sesuai dengan prosedur yang demokratis.

Ini adalah hasil dari perjuangan yang akan menentukan apakah partai Islam tetap berkomitmen untuk demokrasi ataukah bagaimana. Organisasi Islam yang berpartisipasi dalam politik memiliki sifat ganda sebagai aktor-aktor politik dan agama, dan mereka menghadapi kerancuan ideologis. Sebagai aktor religius, mereka harus mematuhi prinsip-prinsip mutlak. Sebagai aktor politik, mereka membutuhkan fleksibilitas untuk menunjukkan kesediaan untuk berkompromi. Beberapa partai dan gerakan mencoba memecahkan teka-teki dengan mendirikan partai politik yang terpisah dari gerakan keagamaan. Pemisahan memungkinkan gerakan keagamaan untuk berurusan dengan nilai-nilai mutlak, sedangkan partai terjun ke dunia pragmatis politik yang kompromis.

Di Maroko, Aljazair, Yordania, Yaman, Bahrain, dan Kuwait sekarang ada partai-partai Islam yang terpisah dari gerakan-gerakan keagamaan. Di Mesir, Ikhwan terus menjadi organisasi yang dilarang, karena itu mendirikan partai politik tidak pernah menjadi alternatif realistis.

Memisahkan agama dan komponen politik, bagaimanapun, menciptakan tantangan baru. Partai bisa kehilangan dukungan dari anggota jika piatu terlalu jauh. Ini adalah masalah serius bagi Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) di Maroko, misalnya. PJD berafiliasi dengan gerakan keagamaan yang disebut al-Tawhid wal Islah (persatuan dan reformasi). Sebagai gerakan keagamaan, al-Tawhid bersaing dengan gerakan keagamaan lain, al-Adl wal Ihsan (keadilan dan amal).

Al-Adl, yang diyakini memiliki basis rakyat yang jauh lebih besar, tidak mengakui legitimasi negara dan kerajaan Maroko, dan tetap menjaga jarak dari politik. Jika PJD terlalu jauh dari doktrin atau membuat terlalu banyak kompromi untuk memperoleh posisi politik yang lebih luas, risiko mereka adalah kehilangan pengikutnya yang berpaling kepada al-Adl.

Masalah sulit lainnya bagi partai dan gerakan Islam adalah pluralisme politik. Mereka semua menerima pluralisme politik; dan sebaliknya mereka tidak bisa berpartisipasi dalam politik elektoral. Sulit bagi sebuah partai berbasis agama memindahkan atau mengakui legitimasi semua sudut pandang. Sepanjang dua dekade terakhir, semua partisipasi gerakan Islam telah jauh menerima keragaman pandangan dalam arena politik. Tapi berkenaan dengan moral, sosial, dan isu-isu budaya, mereka masih tertinggal di belakang.

Misalnya, Ikhwan Mesir menetapkan bahwa Kristen Koptik (dan perempuan) tidak dapat dipilih untuk jadi presiden. Klausul ini menjadi bahan perdebatan, karena kebingunan internal dan kemarahan eksternal, bahwa isyu pluralisme telah menjebak erat dalam sebuah keputusan yang mesti bisa memenangkan hati dan ideologi semua orang. (bersambung). (sa/iw)