Pemilu Mesir: Saatnya Menguji Politik Ikhwan (1)


Seiring pemilihan umum Mesir semakin dekat, Ikhwan—sebagai kelompok oposisi terbesar di negara itu—agaknya telah mengabaikan panggilan boikot dari para sekutunya dan bersikukuh akan maju dalam pemilihan umum.

Mesir tengah berada pada titik puncak perubahan yang paling dramatis. Untuk pertama kalinya dalam tiga dekade, negara ini akan segera memiliki presiden baru, baik melalui pemilu 2011—yang belum terjadi sebelumnya dalam sejarah Mesir—atau melalui kematian presiden mereka, Hosni Mubarak yang sudah berusia 82 tahun dan tengah terbaring sakit. Dan ini adalah sebuah peristiwa yang memiliki potensi untuk menonaktifkan kerusuhan sipil yang paling signifikan di Timur Tengah sejak Revolusi 1979 di Iran.

Pemerintah Mesir dilaporkan memiliki rencana rinci untuk menutup beberapa sistem di negaranya jika Mubarak mati, termasuk rincian seperti "Ayat-ayat Alquran Berkabung" yang akan ditayangkan di televisi nasional. Pasukan keamanan berpakaian hitam polos, berpengalaman dalam menggunakan pentungan mereka untuk memadamkan pembangkangan, akan dimobilisasi secara massal.

Namun, adalah mustahil untuk memprediksi apa yang akan terjadi jika, walaupun reputasi Mesir sudah terkenal akan kelesuan politik, Ikhwan, sebagai kelompok oposisi terbesar, berhasil menempatkan ribuan pengikutnya memenuhi jalan-jalan Kairo. Sebaliknya inilah saat hening sebentar dan menjadi momen penting penyerahan kekuasaan dari Mubarak kepada putranya, Gamal.

Mesir telah menjadi republik-monarki yang sejati. Dan kuncinya saat ini terletak pada Ikhwan, gerakan Islam yang paling berpengaruh di dunia dan pada saat yang sama menjadi konter terbesar dan terorganisir untuk Partai Demokrasi Nasional (NDP) yang dimiliki oleh Mubarak. Perubahan di Mesir untuk lebih baik atau lebih buruk lagi, niscaya tidak akan terwujud tanpa Ikhwan.

Ketika mantan Kepala Badan Tenaga Atom Internasional dan pemenang Nobel Mohamed ElBaradei—harapan besar kaum kiri sekuler Mesir—kembali ke tanah air tahun ini dan meluncurkan sebuah petisi untuk reformasi praktik pemilu, Asosiasi Perubahan Nasional-nya mengumpulkan 106.661 tanda tangan hanya dalam bulan September saja. Dan Ikhwan memberikan andil dengan lebih dari 650.000 tanda tangan.

Ikhwan memiliki 88 kursi di parlemen, dan bandingkan dengan politisi yang memiliki 34 kursi untuk semua pihak non-NDP lainnya.

Protes dari kelompok-kelompok seperti Gerakan Mesir untuk Perubahan, atau Kifaya, yang menjadi gacoan media Barat selama pemilu 2005, berdatangan. Mereka mengandalkan Ikhwan untuk menyuruh ribuan pendukungnya ke jalanan.

Namun dengan tenggat kurang dari satu minggu dari pemilihan umum parlemen pada 28, Ikhwan nyata terjebak dalam gaya “anjing mengonggong kafilah berlalu.”

Tekanan sepanjang waktu dari pemerintah dan penahanan serta pelarangan terhadap Ikhwan agaknya membuat kelompok tersebut belajar untuk menjadi sebagai blok minoritas terbesar yang pernah ada dalam sejarah singkat politik Mesir yang multi-partai dan namun sekaligus bertindak sebagai kritikus terkeras 30 tahun kekuasaan otoriter Mubarak.

Ikhwan sudah menolak untuk memboikot pemilu—padahal sebagian kalangan Mesir percaya itulah satu-satunya paling efektif untuk melawan sistem Mesir. Bahkan ketika Ikhwan percaya bahwa mereka selama ini selalu dicurangi.

Beberapa anggota Ikhwan mengatakan secara terbuka bahwa pilihan untuk berpartisipasi adalah kesalahan, dan yang lain menyebutnya sebagai kesempatan untuk mencerminkan perselisihan internal kelompok dan menunjukkan kurangnya pemikir strategis kreatif dalam struktur Ikhwan, yang telah begitu konservatif selama 82 tahun.

Ikhwan sedang ditarik pada dunia pasca-mubarak yang tak terelakan dan akan menjadi pemain utama, tapi tak ada yang tahu kemana mereka akan menuju.

(sa/aljazeera)

BERSAMBUNG