Pemilu Mesir: Saatnya Menguji Politik Ikhwan (3)


Abdelrahman Ayyash, kader Ikhwan berumur 21 tahun, mengatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu tahun ini adalah kesalahan yang menimbulkan perpecahan di antara Ikhwan dan para pemimpin reformasi seperti ElBaradei dan Ayman Nour, kandidat presiden mantan partai Ghad yang dipenjarakan dan dilaporkan dianiaya selama pemilu 2005.

Ayyash, seorang mahasiswa teknik komputer yang beranggapan adanya peran kaum "Islamis liberal" dalam mereformasi masyarakat Arab, menyalahkan kepemimpinan baru konservatif Ikhwan yang mencoba "membangun jembatan" dengan rezim dan mengatakan bahwa suara reformis sedang dienyahkan.

"Menurut saya, Ikhwan sekarang tidak memiliki sudut pandang yang strategis," katanya.

Meskipun Badie mengklaim bahwa survei parlemen, atau Dewan Syura, menghasilkan 98 persen dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, Ayyash merujuk pernyataan yang dibuat oleh Hamid Ghazali, seorang profesor Universitas Kairo dan mantan penasihat Muhammad Akef, yang mengatakan bahwa tidak lebih dari 52 persen saja dari Dewan Syuro yang menyetujuinya.

"Struktur hanya akan mendapatkan keuntungan yang sedikit dari pemilu, tapi apa yang saya khawatirkan adalah hilangnya pihak lain, atau dari aktivis atau politisi Mesir lainnya," katanya. "Yang memboikot pemilu akan semakin bertambah, daripada apa yang dapat dicapai Ikhwan di parlemen.”

Menurut Michael Dunne, keputusan Ikhwan untuk terlibat dalam pemilu sebagian besar hanya berangkat dari keinginan sederhana; bagaimana menjamin kelangsungan hidup. Dunne adalah, seorang pengamat senior di Carnegie Endowment dan mantan analisis pemerintah AS di Timur Tengah.

"Sebagai organisasi terlarang yang terus-menerus di bawah ancaman dihapus, saya pikir mereka merasa bahwa memiliki perwakilan dan kekebalan parlemen, dan memiliki platform publik jika mengkritik tindakan yang diambil Ikhwan dan yang berada di media dari hari ke hari, ini adalah beberapa nilai untuk mereka, "kata Dunne.

Awal tahun ini, sekelompok pihak minoritas sekuler Mesir, termasuk Wafd, sosialis Tagammu, Front Demokrasi yang liberal, dan Nasseris yang nasionalis, menyusun daftar tuntutan mereka disajikan terhadap pemerintah. Mereka meminta beberapa reformasi pemilihan—"hal-hal sederhana," kata Dunne – dan mengancam boikot jika tuntutan mereka tidak dihormati.

"Mereka kaku, 100 persen," katanya. Partai Front Demokratik dan partai Ghad adalah satu-satunya kelompok yang telah menindaklanjuti di boikot.

Tapi Front Demokrat adalah partai baru dan tidak memiliki kursi satu pun di parlemen, dan kelompok oposisi lainnya, seperti Asosiasi Nasional untuk Perubahan-nya Baradei dan Gerakan 6 April, bukanlah partai politik, dan tidak akan merasa rugi dalam hal apapun jika mereka melakukan boikot, ujar Dunne.

Shadi Hamid, direktur penelitian di cabang Brookings Institution di Qatar dan seorang pengamat Ikhwan, mengatakan ia mengerti alasan Ikhwanul tapi masih tidak setuju dengan keputusan mereka.

"Ini adalah waktu yang tepat untuk memboikot sebenarnya," katanya. "Oposisi benar-benar telah kehilangan kesempatan."

Hamid, yang menilai pemilu bebas di Arab namun sama sekali tak berarti, melihat sedikit kemajuan nyata pada kelompok oposisi ketika rezim menemukan cara untuk mengecualikan calon dalam hal teknis dan menjaga rumah-rumah parlemen mereka dengan hak veto.

Dalam pemilu Juni, Dewan Syura Ikhwan menyebutkan adanya pembelian suara, gangguan polisi dan bentrokan kekerasan, dan Ikhwan tidak memenangkan satu pun kursi, sedangkan National Democrat Party memenangkan 80 dari 88 kursi yang tersedia.

Menurut Hamis, rezim seperti Mesir bergantung pada fasad kebebasan demokratis untuk menenangkan sekutu mereka, dan boikot oposisi penuh akan merongrong klaim ini.

Tetapi Ikhwan terus berkhotbah tentang kesabaran, menganjurkan kepada semua pihak untuk melihat dekade kerja mereka dan melihat sejarah di pihak mereka. Tapi, "Apa yang masuk akal untuk Ikhwan mungkin tidak masuk akal bagi masa depan demokrasi Mesir," kata Hamid. Dan begitu pula sebaliknya.
(sa/ikhwanweb/Aljazeera)
Bersambung