“Interfaith” , Cara Toleransi yang Mengikis Akidah Islam

Eramuslim.com – Di awal tahun 2013, sebuah lembaga bernama Committee for Interfaith Tolerance Indonesia (CINTA) Indonesia berencana mengadakan roadshow dialog antar agama (interfaith dialogue) di lima kota di Indonesia. Di antaranya, di Lombok (12-13 Januari), Malang (19-20 Januari), Palembang (26-27 Januari), Manado (12 Februari) dan Jakarta (23-24 Februari).

Dalam rilis yang beredar di media, dialog antar agama yang disponsori oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dan UNESCO ini akan diisi dengan kegiatan mengunjungi tempat-tempat ibadah dan pengamatan mengenai konsep sebenarnya dari agama yang bersangkutan dan mentoring cara berdialog antar agama.

Dialog, sesungguhnya adalah baik. Terutama untuk menghilangkan kesalahpahaman. Namun, jika dialog dibumbui dengan praktik sinkritisme (ikut ritual agama lain), tidaklah membawa manfaat apap-apa untuk toleransi. Kecuali hanya akan melahirkan pemahaman relativisme berkeyakinan.

Mentoring dengan tutor orang Barat apakah itu jaminan kita menjadi Muslim toleran? Kita umat Muslim mungkin saja bisa menjamin, jika Negara-negara asal tutor itu telah mempraktikkan toleransi dengan baik. Tapi kenyataanya, Muslim di Barat masih tidak bebas menjalankan kewajiban-kewajibannya. Jilbab Muslimah masih ditakuti. Adzan dilarang. Menara masjid juga tidak boleh.

Sejak abad ke 20, Barat (Kristen) sangat bersemangat mengajari Muslim di Dunia toleransi, dan dialog lintas iman. Barat tidak pernah mengajari Yahudi, ataupun sangat jarang mengkampanyekan di masyarakat Hindu atau Budha. Padahal, sampai pada abad ke-19 perseteruan hebat antara Kristen dan Yahudi terjadi. Mungkin cara pandang Kristen Barat terhadap Muslim yang masih salah.

Islam dilihat sebagai ancaman besar. Dendam perang Salib belum hilang. Padahal yang memulai perang Salib adalah Barat. Pasca kemenangan perang Salib, Muslim dunia tidak mengancam-ancam Barat (menginvasi). Yang terjadi kemudian fitnah, bahwa Muslim pelaku utama intoleransi, kekerasan dan peperangan (jihad).

Maka, dialog antar agama tersebut bertujuan mengajarkan toleransi beragama. Tapi masalahnya, cara yang ditempuh mengharuskan eliminasi ajaran dasar (akidah). Mengikuti ritual agama lain, dengan dalih apapun, tidak perlu. Nabi Muhammad saw memberi contoh cerdas. Beliau menolak mengikuti misa orang Nasrani (QS al-Kafirun 1-5). Tapi beliau menjadi contoh paling baik pemimpin yang bertoleransi.

Gagasan interfaith dialogue sejak awal bermasalah. Pertama-tama diadakan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1964. Ia mendirikan lembaga the Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Dialog dibangun dengan semangat  teologi inklusivisme Kristen. Konon, Kristen pada 1965 membuka teologinya bahwa kaum di luar Gereja juga selamat. DisebutAnonymous Christian atau Kristen tanpa nama. Tapi sejatinya, Gereja Vatikan tetap bertahan bahwa Kristenlah yang selamat.

John Hick, dari Universitas Brimingham Inggris, mengatakan dialog antar agama harus menghasilkan cara pandang pluralis terhadap agama. John Hick adalah professor teologi dari Inggris yang terkenal dengan gagasannya yang pluralis, yaitu global theology.

Hick mengatakan bahwa Kristen sama sekali tidak menganggap orang di luar Kristen sebagai non-Kristen akan tetapi, mereka perlu dipertimbangkan sebagai Kristen ‘anonim’. Untuk itu, lanjut Hick, harus ada dialog untuk mencapai tujuan teologis tersebut.

Bagi Hick, interfaith dialogue adalah sarana. Produknya adalah pluralisme. Bagi Paus Pulus VI, interfaith dialogue merupakan alat mengkristenkan cara pandang Muslim. Kristenisasi modern bukan dengan konversi, tapi seperti diumumkan oleh Samuel Zwemmer pada konferensi Misionaris di Yerussalem dengan cara destruksi pemikiran. Keduanya bermasalah, sama-sama mereduksi keimanan Muslim. Tidak ada pula jaminan, toleransi berjalan penuh kedamaian. Di kota tempat konferensi Zwemmer, hak-hak Muslim dipangkas.

Dialog lintas iman model Paus Paulus VI dan John Hick mengajarkan relativisme beragama. Doktrin relativisme menepikan agama. Ia mengajarkan, agama tidak boleh lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut.

Cara beragama seseorang itu hanyalah penafsiran orang terhadap agama. Karena dianggap penafsiran, maka itu relatif. Yang absolut hanya Tuhan. Syariah itu relatif. Maka ritual ibadah Muslim tidaklah ada jaminan itu satu-satunya jalan menuju sorga. Inilah letak arogansinya relativisme.

Ia menjadi ‘jantung’ paham pluralisme agama. Target akhirnya adalah umat Islam tidak lagi masalah jika mengikuti cara berfikir Barat yang sekuler liberal. Sebab, dianggap cara berfikir Islami, sekularis, dan liberalis semuanya tidak absolut. Semuanya hasil tafsiran manusia.

Jadi, relativisme dan sekularisme sejatinya tidak toleran. Melarang Muslim memakai jilbab di tempat publik. Memakai jilbab dikhawatirkan menabur benih-benih fundamentalisme. Seperti kejadian di Prancis, Jerman dan Negara-negara Barat lainnya. Suara adzan di larang di Swiss. Padahal di Indonesia, suara lonceng gereja tiap minggu tidak dimasalahkan. Di Bali, masyarakat Hindu bebas memakai pakaian adat Hindunya.

Sebenarnya, interfaith dialogue tidak sekedar mengajarkan toleransi, tapi mendidik untuk mencurigai doktrin-doktrin agama yang fundamental. Jika ada cara pandang yang curiga, bagaimana akan terbentuk toleransi yang damai? Kecurigaan hanya akan melahirkan kesalahpahaman. Kata Diana L. Ec toleransi dalam pluralisme itu merupakan ‘kebaikan’ yang menipu (Diana L. Eck, From Diversity to Pluralism).

Rasulullah saw pernah berdialog dengan kaum Yahudi dan Kristen. Tapi Rasulullah saw tidak memakai logika relativisme, dan menolak mengikuti ritual mereka dengan dalih untuk mengenal. Rasulullah saw berdialog untuk membuktikan bahwa Islam adalah yang benar.

Suatu hari Rasulullah saw berdialog dengan kaum Nasrani Najran. Keterangan-keterangan Rasulullah mengenai ketauhidan Allah swt tidak diterima oleh orang Nasrani Najran. Rasulullah mengajak mubahalah untuk membuktikan mana yang benar. Akan tetapi, kaum Nasrani menolak. Mereka khawatir jika mereka benar-benar bersumpah akan binasa.

Rasulullah saw sebenarnya sangat menginginkan kaum Nasrani Najran tersebut memeluk Islam. Rasulullah saw berkenan berdialog karena beliau ingin mereka masuk Islam. Namun turunlah ayat, Surat Ali Imran : 64. Dalam keterangan Syekh Nawawi al-Bantani, kandungan ayat itu melarang menggunakan metode jidal, sebab jidal ternyata tidak mengubah pendirian mereka (Syekh Nawawi al-Bantani, Maroh Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid I/131).

Ketika Yahudi dan Nasrani berdebat tentang status agama mereka, Rasulullah saw bersabda: “Masing-masing golongan (Yahudi dan Nasrani) berlepas dari Nabi Ibrahim as. Akan tetapi Nabi Ibrahim adalah seorang Muslim yang hanif dan aku setiap pada ajarannya, maka ikutilah agamanya, yaitu Islam” (al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an 4/127).

Nabi saw pernah dialog. Tapi dialog itu bertujuan dakwah. Yakni mengajak mereka meyakini bahwa Islam agama yang diridhai Allah. Dakwah mengajak selamat yaitu dengan kembali kepada tuhid. Dengan semangat ini justru Nabi menjadi contoh terbaik di dunia dalam toleransi.

Interfaith dialogue yang diadakan Barat juga bertujuan ‘da’wah’, tapi bukan dakwah mengajak tauhid. Justru mengajak untuk meyakini bahwa semua agama sama baik dan benarnya. Sementara toleransi di Barat terhadap Muslim masih diragukan.

Anehnya, Muslim liberal tidak meniru Nabi yang toleransinya teruji. Namun justru mengikuti Kristen Barat untuk belajar toleransi. Padahal mereka tidak mengajarkan toleransi tapi mengajarkan relativisme beragama.

Kholili Hasib

(Dz/hidayatullah)