13 Tahun Tsunami Aceh: “Abi Kami Tunggu di Surga…”

Saya melihat mamak mertua saya dengan tergesa-gesa lari ke dalam mobil, dan memanggi saya (nama panggilan saya Ayi).  “Ayi…Ayi, sudahlah nak….cepat naik mobil,” saya pun membuka pintu belakang mobil.

Mamak menekan pedal gas dalam-dalam, sementara di jalanan lorong yang sempit saya melihat saudara-saudara saya sekampung yang serumah dengan bapak berhamburan dengan warga sambil berlari.

Pada saat tiba di bagian ujung lorong terjadi kemacetan. Tiba-tiba terdengar gemuruh dari arah depan, tembok pembatas kawasan perumahan Brimob setinggi tiga meter roboh, dan muncullah aliran air kedua dari arah timur, sementara sedan kami belum keluar dari jalur lorong dua. Belum habis rasa terkejut kami, aliran air ketiga dari arah Laut Alue Naga (aliran air utama) datang dari utara.

Air yang berwarna hitam pekat ini membawa material bangunan dan kendaraan yang berada di jalan. Saya lihat tiga mobil bertumpukan diseret arus kearah selatan, sementara dari arah depan mobil kami arus dari barat membawa rongsokan bangunan dan papan. Bodi mobil kami terhantam, mamak terus mencoba mengendalikan mobil, tapi desakan arus semakin deras. Kami menghantam pagar sebelah kanan, dan mobil semakin mundur. Bersamaan dengan itu arus air dari belakang datang, mobil kami terhantam dengan seekor ternak lembu dan rongsokan berat lainnya.

Ayiiii…Ayi…uroe nyoe hana leu tanyo neuk, ya Allah nepeurempok kamo lam iman, ya Allah ….Lailahaillallah”, saat itu saya juga mulai mengucapkan kalimat thoyibah, kami terus beristighfar sementara mobil terus berputar.

Syukurlah putaran arus menyeret mobil ke dalam halaman rumah disamping rumah kepala lorong dua, dan bertepatan dengan itu mobil membentur dinding rumah kepala lorong yang belum diplester. Air mulai memasuki mobil sampai selutut.

Tergesa-gesa saya buka jendela mobil, lalu keluar dan menginjakkan kaki di tonjolan tembok pembatas. “Mak, cepat keluar lewat jendela.” Dengan susah payah saya menggapai balkon lantai kedua. Begitu sampai di atas saya mulai menarik mamak mertua, saat itu gelombang semakin deras dan mencapai ketinggian tiga meter.

“Sudah nak, lepaskan saja saya…,” ujar Mamak. Saat itu pegangan mamak makin lemah. Beliau nampaknya tidak bersemangat lagi. Saya berteriak minta tolong pada kepala lorong dua yang juga sudah berada di lantai dua. Berdua kami mencoba menarik mamak agar melewati pagar balkon.