Agenda Selamatkan Indonesia (Bag.10)

Hari-hari ini kita semua tengah menyaksikan satu episode ambruknya sistem kapitalisme yang dipromosikan AS dan dianut oleh banyak negara di dunia ini, termasuk Indonesia. Dan satu hal yang patut dicatat: Tidak ada satu partai politik pun yang berani angkat bicara menyodorkan solusi jitu agar Indonesia tidak ikut-ikutan terseret dalam pusaran krisis yang bermula dari AS ini.

Semua tokoh parpol diam, tutup mulut. Bisa jadi karena mereka memang tidak pernah berpikir akan hal demikian, bisa jadi mereka memang tidak tahu apa solusinya, dan bisa jadi mereka memang terlalu khusyuk memikirkan cara memperoleh sebanyak-banyaknya suara rakyat sehingga lupa apa agendanya sendiri jika sudah berkuasa.

Rakyat banyak perlu memiliki panduan dalam memilih sikap menghadapi Pemilu 2009, termasuk Pemilu memilih capres dan wakilnya. Adakah mereka memenuhi kriteria di bawah ini atau tidak. Jika ada silakan tentukan pilihan, dan jika semua parpol atau semua capres tidak memenuhi kriteria di bawah ini, silakan juga untuk memikirkan apakah akan tetap ikut memilih atau bahkan memilih untuk tidak memilih. Ini semua berpulang pada masing-masing individu.

Islam telah menggariskan dengan catatan tebal-tebal bahwa seorang pemimpin atau pun sebuah lembaga yang akan memimpin (parpol, misalkan) wajib memiliki kriteria kenabian seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Ada empat persyaratan utama untuk calon pemimpin yakni: Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.

Siddiq berarti jujur. Amanah berarti bisa dipercaya. Tabligh berarti memiliki transparansi atau berani menyerukan kebenaran tanpa takut resiko apa pun, karena kebenaran tetaplah suatu kebenaran walau terasa pahit. Dan Fathonah berarti profesional.

Kriteria Pemimpin 

Seorang pemimpin wajib memenuhi empat kriteria di atas. Dia harus jujur, amanah, memiliki transparansi, dan berani memperjuangkan kebenaran tanpa takut sedikit pun akan resikonya.

Kejujuran seorang pemimpin merupakan modal utama. Jujur dalam bersikap, jujur dalam berbicara, dan jujur dalam bekerja. Seorang pemimpin yang jujur tidak akan membohongi umatnya. Jika dia mengarahkan umatnya untuk memilih seorang calon pemimpin (qiyadah) untuk suatu daerah atau wilayah, misal dalam pilkada, maka pemimpin itu harus jujur apakah orang yang diusung itu memang bersih, bukan dipoles atau dibersihkan oleh iklan politik, apakah orang itu memang layak dijadikan imam, bukan koruptor atau penjudi yang dikesankan sudah tobat, dan sebagainya.

Kejujuran seorang pemimpin tidak akan menjadikannya tokoh elitis yang sulit digapai umatnya. Dia haruslah egaliter, dekat dengan tetangganya, dan tidak membangun istana bagi diri dan keluarganya, sehingga sulit atau membuat enggan orang banyak untuk mendatanginya. Rumah seorang pemimpin yang jujur dan egaliter haruslah senantiasa terbuka. Dia tidaklah membangun tembok pagar tinggi-tinggi yang akan  memisahkan dirinya dengan para tetangganya.

Rasululah SAW dan para sahabat tidak pernah membangun rumahnya bagaikan istana atau memiliki pagar tinggi-tinggi. Orang-orang mulia ini bahkan kehidupan pribadi dan keluarganya amat sederhana. Bahkan banyak sirah menyebutkan jika Rasulullah seringkali kelaparan sehingga harus berpuasa atau menambal perutnya dengan batu untuk bisa menahan lapar.  Padahal, jika Rasulullah mau, maka kehidupannya dan kehidupan keluarganya pasti bisa kaya raya seperti penguasa-penguasa Quraisy dan juga seperti Kaisar-Kaisar Imperium Roma dan juga Persia yang hidup dalam kelimpahan segala kelezatan duniawi. Namun Rasulullah dan para sahabatnya tidak mau tertipu dengan dunia.

Dengan kehidupannya sendiri mereka mencontohkan betapa dunia hanyalah sesaat dan negeri akheratlah yang kekal. Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah menghimbau umatnya untuk berlomba-lomba menghimpun kekayaan duniawi, bahkan dengan alasan modal dakwah sekali pun. Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah menyerukan umatnya untuk memiliki kecenderungan terhadap kehidupan dan kelezatan duniawi. Bahkan untuk masuk ke pasar, Rasulullah SAW memberikan nasihatnya pada kita semua untuk mengucap, “Naudzubillahiminasyaitonirajim.” Meminta perlindungan dan pertolongan Allah SWT dari segala godaan setan yang ada di pasar tersebut. Pasar memang tempat mangkalnya banyak setan yang kerjanya menggoda manusia untuk lalai mengingat Allah SWT. Adalah aneh jika ada pemimpin yang menyeru kepada umatnya agar banyak-banyak ke mall. Ini memperlihatkan kepada kita orientasi dan kualitas sesungguhnya dari sang pemimpin itu.

Dengan kejujurannya, seorang pemimpin bisa dipercaya. Jika dia jujur dalam bekerja, mengemban amanah umat, apalagi dalam keadaan sulit seperti Indonesia sekarang ini, maka mustahil kekayaan pribadi dan keluarganya akan bisa bertambah banyak setelah dia menjabat. Rasulullah dan para sahabatnya membuktikan jika menjadi pemimpin itu berarti berani hidup dalam keserba-terbatasan.

Abu Bakar adalah sosok yang paling dermawan dalam membelanjakan harta bendanya di jalan Allah SWT. Dalam satu riwayat, Umar bin Khathab pernah bercerita, ”Suatu saat kami pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk mendermakan harta kami. Kebetulan aku memiliki harta, dan aku bertekad untuk bisa melampaui kedermawanan Abu Bakar.”

Umar langsung membawa harta miliknya ke hadapan Rasulullah SAW. Melihat kedatangan Umar, beliau bertanya, ”Apakah engkau menyisakan hartamu untuk keluargamu, ya Umar?” Umar dengan cepat menjawab, ”Ya, wahai Nabi Allah.”

Tidak berselang lama, Abu Bakar datang juga dengan hartanya. Rasulullah SAW juga bertanya, ”Apakah engkau juga menyisakan harta untuk keluargamu, ya Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, ”Aku hanya sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.” Mendengar hal itu, Umar berkata, ”Demi Allah, saya benar-benar tidak mampu menyaingi kedermawanan Abu Bakar seumur hidupku.” (HRTirmidzi dari Umar bin Khattab).

Bagaimana dengan para pemimpin sekarang? Bukankah faktanya, kebanyakan dari mereka sekarang malah mengambil banyak untuk keluarganya dan menyisakan sedikit untuk umatnya?  Sebab itu, adalah kenyataan jika sekarang banyak tokoh umat yang kehidupannya kaya raya  setelah menjadi pejabat, sedangkan umatnya tetap hidup miskin papa dan kian hari kian melarat. (bersambung/rd)