Akar-akar Penghinaan terhadap Islam dalam Pemikiran Barat (6) Anti Islamofasisme, Nama Baru untuk Ide Lama

Anti Islamofasisme, Nama Baru untuk Ide Lama

Barang kali kita telah mendengar tuduhan pada seseorang, organisasi atau negara dengan teroris, fundamentalis, ekstrim, fanatik atau radikal. Namun teriakan terbaru di dunia penggilan pelecehan pada masa tata dunia baru ini adalah “Islamofasisme”. Apabila anda adalah seorang Muslim yang istiqomah atau seorang Muslimah yang komitmen dengan hijab dan moralitasnya, atau anda pendukung partai Islam atau anggota organisasi sosial Islam, atau anda aktif dalam berbagai demonstrasi menentang pelecehan Nabi Islam Muhammad SAW, atau sibuk dalam berbagai diskusi penyuluhan dan penyadaran di internet yang menjelaskan hakikat sikap kaum muslimin terhadap pelecehan Nabinya, maka anda adalah kandidat yang akan mendapatkan sifat atau gelar “Islamofasis”.

Ini adalah gelar terkini bagi umat Islam yang datang dari pihak yang menyatakan perang terhadap terorisme di Amerika Serikat. Dan gelas fasis untuk umat Islam akan menyebar dengan cepat dan menjadi bahasa semua orang seperti panggilan Islam sebagai teroris yang sulit dipisahkan baik di media-media informasi dan pidato politik. (Jihad al-Khazin di dalam artikel harian al-hayah London, 7/02/2006).

Pada hakikatnya, istilah tersebut adalah hanya panggilan yang berbeda-beda untuk satu pihak yang sama yaitu Islam. Panggilan dan penamaan dari orang yang melihat Islam sebagai musuh yang mengancam. Pandangan negatif terhadap dunia Islam semacam ini sangat berbahaya karena itu refleksi atas pembuat keputusan yang menggelisahkan saya, anda dan seluruh penduduk bumi. Jadi persoalannya bukan sekadar pelecehan Nabi SAW yang terlepas dari realitas pembuat, pemikiran dan sejarah negara mereka tetapi itu merupakan refleksi dari dalam pemikiran para pembuat kebijakan (politik) di ibukota-ibukota Barat dan sudah merupakan persepsi yang tertata dalam logika pemikiran intelektual mereka.

Untuk menegaskan bahwa Islamophobia adalah sebab yang mengakibatkan munculnya pelecehan terhadap Islam dan serangan terhadap pemeluknya dan untuk membuktikan bahwa ada kesalahan Barat di dalam memahami idiolagi orang lain, di sini kami nukilkan pendapat orientalis terkenal John L. Esposito, professor agama dan hubungan internasional serta kajian Islam di Georgetown University Amerika, sekaligus sebagai penasehat departemen luar Negeri Amerika. Dan sekarang dia sedang berencana menerbitkan sebuah buku dengan tema: “Apakah kamu mendengarkan saya sekarang; apa yang diusahakan oleh semilyar muslim kepada kami”

Dia mengatakan tentang karikatur pelecehan Nabi bahwa peristiwa itu telah menyingkap berbagai preseden buruk dan berbahaya yang bersifat internasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dan pelecehan itu sama sekali tidak ada kaitanya dan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi Barat.

Media barat hari ini mencerminkan masyarakat yang terkena penyakit Islamophobia (Islamaphobic), kebencian yang tidak rasional terhadap semua hal yang berbau Islam, dan penyakit xenophobic (kebencian terhadap semua yang berbau asing). Karikatur pelecehan itu tidak lain adalah bukti terbesar atas kesenangan untuk memprovokasi dan itu tidak sekadar meremehkan “Usamah bin Laden” atau “Abu Mush’ab al-Zarqawi” namun itu salah satu pelecehan yang sangat berlebihan terhadap sesuatu yang sakral di dalam kehidupan kaum muslimin. Anehnya, semua pelecehan itu terjadi di tengah-tengah legenda kebebasan berekspresi.”

John L. Esposito menambahkan, “Sudah pasti karikatur (pelecehan) tersebut telah mendapatkan keuntungan yang besar, yang mengalir masuk ke kantong-kantong pemilik media dan koran-koran Eropa. Judul-judul bombastis tentang Nabi Islam dan pemuatan ulang terhadap karikatur Denmark telah mengalirkan liur-liur para pembaca Eropa. Koran-koran Eropa “yang terhormat” tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, segera saja gelombang informasi itu diambil kesempatannya oleh media-media lain. Maka berubahlah dari media-media “terhormat” ke media-media emperan dan murahan.

Amerika Serikat saat ini tengah mencurahkan segenap upaya untuk memasukan Rropa ke di bawah sayapnya dan memasukannya di dalam lingkup rencana hegemoninya atas dunia Islam. Nampaknya Eropa telah siap untuk menerima peran tersebut. Di tengah-tengah saling menguatkan antara Amerika dan Eropa, maka Amerika akan mengunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya guna mendukung dan mengokohkan teorinya yang mengatakan bahwa di sana ada benturan peradaban. Bahwa di sana ada perang salib terhadap Islam yang dipimpin oleh Barat yang phobi terhadap Islam.

Sesungguhnya peristiwa-peristiwa terakhir terkait dengan pelecehan al-Qur’an oleh orang-orang Amerika dan penjara teluk Guantanamo, kemudian serangkaian solidaritas pandir yang ditunjukan oleh Uni Eropa terhadap Denmark terkait dengan karikatur pelecehan terakhir, tidak lain adalah bukti nyata dan sebagai tambahan bahwa di sana ada perang antar peradaban yang ditukangi dan dikobarkan oleh Amerika Serikat, masih menurut John L. Esposito;

Bahwa kebebasan keyakinan di dalam masyarakat yang plural harus melindungi wujud sebagian kesakralan-kesakralan yang harus diperlakukan sebagaimana layaknya. Bahwa islmophobia – penyakit ayan yang menyusup sebagai kanker sosial – merupakan bahaya dan ancaman abadi dasar-dasar kehidupan kita yang memiliki ciri pluralitas demokratis. Oleh karena itu kita wajib menolaknya, sebagaimana penolakan kita terhadap gerakan anti semit. Berdasarkan hal itu, maka kepada seluruh pemimpin kita, baik politik maupun agama, dan kepada seluruh ahli dan pengamat – sudah barang tentu juga kepada seluruh media massa – untuk mengusung konvoi (protes) guna melindungi etika kita yang mulia.

John L. Esposito menutup perkataannya dengan mengatakan bahwa “para pemimpin kaum mulimin bertanggung jawab membela agama dan keyakinan umatnya. Mereka juga bertanggung jawab mendukung kebebasan berekspresi namun tanpa memanfaatkan kebebasan tersebut. Harus dibuat garis pemisah antara bentuk-bentuk sah untuk menolak dan demonstrasi sengit yang menyertai serangan terhadap kedubes-kedubes, agar masalahnya tidak tambah menyulut dan mendukung potret tidak fair yang diambil secara aneh tentang kaum muslimin. Dari situ maka para pemimpin kaum muslimin mendapatkan beban berat, ketika mereka tidak bisa memberikan arahan kepada kaum muslimin untuk tidak melakukan tindakan anarkis dalam menentang pelecehan karena bagaimanapun hal tersebut tidak akan membawa kebaikan dan maslahat.”

Sands of Empire

Pada kesempatan kali ini, tidak ada salahnya kita mengkaji sebuah buku yang menjelaskan pandangan terhadap Islam, yang barangkali membawa nafas khas kakek George Wolker Bush yaitu Prof. George Bush yang ia tulis dalam bahasa modern. Yaitu buku Sands Of Empire yang diterbitkan pada tahun 2005 dalam 320 halanan yang ditulis oleh Robert W Merry, mantan wartawan di harian The Wall Street Journal, salah satu harian beraliran kanan Amerika yang memiliki banyak pengaruh. Harian ini juga memiliki cetakan Asia dan saya membacanya hampir setiap hari. Robert W Merry sendiri adalah Pemimpin Redaksi Congressional Quarterly, yang konsen mengikuti berita-berita Konggres. Hal inilah yang menjadikan terkumpul pada dirinya semangat seorang jurnalis yang sentiasa mengamati dan sangat tahu atas apa yang terjadi di lembaran-lembaran para pembuat keputusan di Konggres Amerika.

Buku ini berisi pandangan kelompok kanan klasik yang dihiasi banyak kontradiksi yang mengganggu terkait dengan serangan arus Amerika terhadap apa saja yang bertentangan dengan mereka, khususnya Arab dan kaum muslimin. Pada pasal-pasal terakhir dari buku ini penulis menegaskan bahwa di sana ada perbedaan yang muncul antara peradaban Barat dengan peradaban Islam dan budayanya yang menyebar di negeri-negeri Timur. Penulis membangun konklusinya ini pada gambaran-gambaran stereotype sangat negatif tentang Islam.

Dia menegaskan bahwa Amerika saat ini dalam perang peradaban dengan dunia Islam. Dia mengatakan, “Kita orang-orang Amerika kini dalam perang melawan Islam. Melalui perang ini kaum muslimin terpaksa harus memilih antara budaya mereka atau barat, bahwa minoritas akan memilih Barat.”

Pada intinya, ini adalah pemikiran yang menolak berbicara tentang kesempatan kerjasama damai yang telah dibuktikan kaum muslimin dalam banyak perjalanan sejarah dan kita menginginkan hal itu direalisasikan bertolak dari agama Islam kita yang toleran dan menyerukan penerimaan keragaman agama dan pengakuan eksistensi orang lain serta membangun pembatan kerjasama dan dialog.

Di akhir buku ini penulis menyerukan Amerika agar semakin dekat dengan negara-negara Eropa untuk berdiri satu barisan bersama dengan Barat serta berkoalisi dengan Rusia untuk menghadapi negara-negara muslim di Asia tengah. Bahkan Robert W Merry menyerukan pemerintah Amerika untuk berkoalisi baik secara terang-terangan maupun rahasia dengan para diktator di negara-negara Arab dan dunia Islam yang dipimpin oleh pemerintahan yang sudah barang tentu tidak dipilih secara demokratis namun mereka memiliki keinginanan dalam kerjasama dengan Washington melawan “kelompok-kelompok teroris”.

Mungkin kita bisa mengaitkan perkataan Robert W Merry dengan kajian-kajian yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyerukan pemerintah Amerika untuk melihat kembali dalam upaya-upaya Washington menyebarkan demokrasi di dunia Arab dan Islam setelah masyarakat muslim memilih partai-partai Islam di sebaga an negara Arab dan dunia Islam.

Ada konsep pemikiran penting yang diisyaratkan oleh Robert W Merry dengan mengatakan, “Setiap kali penduduk Muslim banyak di dalam Amerika, maka semakin besar pula ancaman internal.” Untuk itulah dia mengusulkan pembatasan pertumbuhan kaum muslimin. Mungkin pemikiran ini diusung oleh sebagian orang-orang Eropa yang ketakutan terhadap pertumbuhan demografi muslim di Eropa yang dianggap mengancam sebagian tanah airnya dengan pertambahan jumlah kaum muslimin yang terus meningkat sementara orang-orang penduduk asli yang tersisa tinggal orang-orang tua. Hal inilah yang menjadikan sebagian suara Barat bertekat melakukan pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak mau meminta maaf meskipun hasilnya adalah penyusutan wujud Islam di Eropa sebagai respon terhadap kemarahan kaum muslimin atas pelecehan agama mereka tanpa ada isyarat yang menenangkan, bahwa hal itu akan dihentikan di masa mendatang dalam waktu dekat. Mereka juga tidak memberikan ketenangan resmi dengan melarang munculnya kembali pelecehan semacam ini.

Kembali ke pasal-pasal awal dari buku Robert W Merry, meski dia bertujuan untuk membaca secara kritis latarbelakang filosofis dan historis yang menggerakan kebijakan luar negeri Amerika, namun dia memberi kita gambaran (persepsi) dari jendela lain mengenai rasio (akal) orang yang melecehkan Islam dalam karikatur atau buku mereka. Robert W Merry membagi filsafat dan pemikiran ini menjadi dua ide utama:

Pertama: Ide (pemikiran) kemajuan historis. Ide ini merujuk kepada para pemikir revolusi Perancis yang meyakini kemampuan ilmu dan teknologi untuk membawa kepada kemajuan dengan kelanjutan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Masalah dalam pemikiran ini adalah keyakinan bahwa yang memimpin kemajuan manusia baik secara ilmu maupun sosial ini adalah peradaban Barat Eropa. Dari sisi pribadi, maka siapapun orang Barat yang meyakini ide (pemikiran) semacam ini maka dia akan menganggap mudah melakukan pelecehan terhadap nabi-nabi orang lain. Karena peradaban mereka (Barat) lah yang memimpin orang lain dan bukan agama orang lain yang mereka yakini. Orang Barat yang meyakini ide semacam ini merasa memiliki hak untuk berkomentar dengan segala olok-olokan dan pelecehan terhadap setiap agama dan budaya lain. Dari sisi politik dan pemikiran, maka ide (pemikiran) semacam ini berarti bahwa Barat akan menang, tidak bisa tidak. Bahwa Barat mampu mengembalikan format orang lain dengan gambaran yang diingikan orang-orang Barat baik secara politik maupun peradaban.

Hal inilah yang mendorong para pejabat Amerika, seperti diungkapkan Robert W Merry, melakukan petualangan politik luar negeri yang bisa jadi hasilnya negatif bagi orang Amerika. Inilah yang bisa kita rasakan dari pernyataan-pernyataan Presiden Amerika George. Bush Yunior dan PM Inggris Tony Blair saat membicarakan tentang penyebaran demokrasi di Irak. Mereka lupa diri bahwa mereka telah melakukan banyak kejahatan terhadap bangsa Irak melanjutkan kejahatan diktator berdarah dan dzalim Sadan Husain. Mereka melupakan bahwa bangsa-bangsa Arab dan Islam haus dengan kebebasan namun bangsa-bangsa ini tidak akan mampu mendirikan demokrasi yang matang dan hakiki di tengah-tengah penjajahan.

Bertolak dari kemenangan Bush Senior dalam mengusir Sadam Husain dari Kuwait, Presiden George Bush Yunior dalam pembicaraannya yang penuh obsesi bertekad menyebarkan demokrasi di Irak. Kemenangan Bush Senior telah memberi tambahan kepercayaan dan dorongan kepada Gedung Putih dan para tokohnya untuk merealisasikan impian supremasi Amerika atas dunia.

Dari ide (pemikiran) “kemajuan historis” ini, Francis Fukuyama di dalam bukunya “akhir sejarah” bertolak dari pendangannya mengatakan bahwa kapitalisme Barat telah mengalahkan ideologi dan peradaban lain, maka dengan begiru berakhirlah roda sejarah. Sementara itu di atas ide ini Tomas Fridman membangun perbincangannya tentang globalisasi dan penghapusan batas-batas budaya antara bangsa-bangsa yang dalam pandangannya akan berupaya mengambil faedah ekonomi dari keistimewaan-keistimewaanya.

Kedua: Ide (pemikiran) kebulatan sejarah. Ide ini dalam perinciannya, berbeda antara kaum Muslimin dan orang Barat pada zaman modern ini. Kita meyakini tentang sunnah kauniyah yang tidak mengecualikan seuatu peradaban tertentu bahwa dia bisa mencapai puncak atau turun hingga ke dasar dikarekanan faktor-faktor internal dan eksternal yang telah disaksikan kejadiannya oleh sejarah manusia. Namun refleksi ide ini dalam teori-teori Barat pada masa-masa pertenganan dan klasik di Eropa memiliki makna lain. Yaitu bahwa keburukan ada dalam semua zaman dan tidak mungkin dihindari.

Dalam ide (pemikiran) ini ada poin positif bahwa siapa yang meyakininya akan fokus pada kondisi internal guna melindungi negaranya dari faktor-faktor kehancuran yang menjadi akhir peradaban dari negara-negara sebelumnya dan tidak akan terdorong kepada pembangunan pangkalan militer di lebih 60 negara serta melakukan intervensi dalam urusan bangsa-bangsa lain untuk memprovokasi. Kemudian sebagian pihak bertanya-tanya: mengatakan sebagian manusia membenci Amerika Serikat, setelah berbagai perilaku militer internasional yang dibuat Imperium Amerika dan tidak satu negarapun menentangnya hingga detik ini, sebagian ahli hubungan publik mengajukan pertanyaan tentang manfaat ofensi propaganda yang diupayakan Washington, peluncurannya di media-media informasi dan lembaga-lembaga pendidikan sebagian negara Barat dan Islam.

Kita katakan terhadap ofensi propaganda tersebut: bahwa telinga kita terbuka mendengar pesan-pesan propaganda untuk mempercantik wajah Amerika tersebut, namun mata kita juga terbuka dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh para serdadu Amerika.

Bertolak dari ide kebulatan sejarah, di dalam bukunya tentang “Clash of Civilizations” Huntington memprediksi terjadinya benturan antar peradaban dan bahwa dunia akan tetap terbagi atas dasar batas-batas budaya yang akan mengobarkan benturan antar peradaban utama di dunia ini. Kita tidak akan memperpanjang pembicaraan dalam mendiskusikan ide benturan peradaban yang telah memenuhi diskusi di kalangan para ahli dan intelektual. Namun yang terpenting adalah bahwa pendukung ide “kemajuan historis” atau “akhir sejarah” barangkali telah mengalahkan para pendukung “kebulatan sejarah” dan “clash of civilizations”, sehingga melekatlah pengaruh ide akhir sejarah dan kemestian supremasi Amerika terhadap dunia bangsa-bangsa. Orang-orang liberal yang barang kali sebagian mereka menolak agresi ke Irak, namun mereka menerima intervensi dengan dalih kemanusiaan sebagaimana yang terjadi di Somalia dan Bosnia.

Namun masalahnya tidak berhenti pada batas ini, Amerika Serikat terseret untuk menerima pelucutan kaum imperialis dari kaum neo-konservatif yang dilihat oleh Robert W Merry, bahwa dengan agresi mereka ke Irak mungkin mereka akan menghidupkan ide “clash of civilizations” daripada merealisasikan impian supremasi Amerika berdasarkan pada teori “akhir sejarah”, yang dengan dasar teori ini kaum neo-konsevatif ingin merekontruksi dunia di atas dasar demokrasi yang sesuai dengan mereka. Sudah barang tentu bukan demokrasi yang memungkinkan kaum Islamiyin dari Hamas di Palestina atau al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir menuju pemerintahan. Demokrasi yang semacam ini jelas tertolak bagi mereka. Siapapun dari partai-partai Islam yang menang mereka harus menyesuaikan dengan iklim tuntutan-tuntutan pihak yang mereka sebut “masyarakat internasional” seraya melupakan program-program pemilu yang mewakili Islam politik, sebagaimana penamaan oleh Barat, yang pada dasarnya mereka terpilih “secara demokratis”.

Yang juga mengejutkan saya dari ucapan Robert W Merry, dia mengingatkan adanya bencana pemikiran imperialisme dari sisi kemungkinan provokasi oleh kekuatan besar dan menengah dunia atas Amerika serta penyedotan penghasilan Amerika Serikat. Pada akhirnya, dunia akan tetap terbagi dan tidak akan melebur dalam satu peradaban dan sistem politik tunggal. (bersambung)