Anas Urbaningrum dan Ziarah Kubur Politis

ZIARAH KUBUR selain ada yang syar’iyah dan syirkiyah, ternyata ada juga yang politis-bid’ah sebagaimana dilakoni Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat) baru-baru ini.

Ziarah kubur yang sesuai syari’at Islam ada beberapa persyaratan. Pertama, kuburan yang diziarahi adalah kuburan manusia. Kedua, tujuan menziarahi kuburan untuk mengingat akherat dan menjauhkan diri dari kecintaan kepada dunia, sekaligus untuk mengingatkan diri sendiri bahwa kelak kita pun akan menjadi penghuni kubur. Ketiga, ketika memasuki areal pemakaman, mengucapkan salam kepada ahli kubur. Keempat, setelah berada di areal pemakaman, memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memberi maghfirah kepada ahli kubur yang muslim. Kelima, untuk mengambil pelajaran (i’tibar).

Mengambil pelajaran (i’tibar) saat menziarahi kuburan orang Islam, maksudnya untuk mengingatkan diri kita sendiri, bahwa seseorang yang dimakamkan itu, semasa hidupnya boleh jadi adalah orang yang saleh, orang yang kuat, orang yang kaya, orang yang banyak pengikut. Namun, itu semua tidak dapat melebihi kekuatan dan kekuasaan Allah. Mereka semua akan mati, dikubur dan tidak berdaya apa-apa, kecuali amal saleh yang pernah dibuatnya selama hidup. (Untuk lebih jelasnya masalah ziarah kubur dan rangkaiannya, dapat dibaca buku Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2011).

Kenyataannya, dalam i’tibar ini seringkali dimaknai dan dipraktekkan secara keliru. Sosok yang sudah dikubur justru dianggap punya kelebihan, punya kekuatan, dan bahkan dijadikan tempat meminta pertolongan. Tidak hanya itu, perilaku menyimpang itu masih pula ditingkahi dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an seperti Al-Fatihah, Yaasiin, dan sebagainya. Juga, menaburi bunga-bunga, air mawar, dan bahkan sesaji.

Dalam perspektif politisi, menjadikan kuburan sebagai tempat ‘meminta’ dan ‘memohon pertolongan’ diwujudkan dengan ziarah ke makam-makam tokoh yang semasa hidupnya punya banyak pengikut fanatis, siapa tahu pengikutnya yang fanatis tadi bisa memberi suara tambahan kepada partai yang dipimpinnya, pada musim pemilihan umum kelak.

Tanpa harus berfikir keras, kita sudah bisa memaknai motif yang melatari sepak terjang Anas Urbaningrum melakoni ziarah kubur ke makam Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada hari Rabu tanggal 08 Juni 2011 lalu. Yaitu, melalui ziarah kubur, Anas seperti sedang meminta dan memohon pertolongan.

Dalam perpektif kebebasan, boleh jadi sepak terjang Anas itu dikatakan sah-sah saja. Dengan alasan, hal itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Bagi mereka yang berpaham bebas, boleh jadi tindakan Anas bisa dimengerti, dengan alasan Anas adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang punya kewajiban meraih suara sebanyak-banyaknya pada musim pemilihan umum kelak.

Namun, dari perspektif lain, sepak terjang Anas Urbaningrum sangat memprihatinkan. Karena, ia adalah lapis kedua komunitas politisi Indonesia. Anas Urbaningrum adalah generasi lebih muda yang berhasil memimpin partai politik, ketika sejumlah parpol justru masih digenggam generasi tua (Golkar, PDIP dan sebagainya). Tentu masyarakat mengharapkan, Anas bisa tampil otentik. Kenyataannya, Anas justru hanya mencontoh dan mengikuti sepak terjang politisi seniornya. Antara lain, menjadikan agama atau sesuatu yang berbau agama sebagai kosmetik politik untuk mempercantik penampilannya. Khususnya menjelang musim pemilihan umum kelak.

Yang lebih memprihatinkan, Anas Urbaningrum adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 1997-1999. Tujuan terbentuknya HMI adalah “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wata’ala.”

Melalui sosok Anas Urbaningrum, dan sosok-sosok lainnya ‘lulusan’ HMI, masyarakat sudah bisa menilai, sejauhmana tujuan HMI bisa diwujudkan?

Sebelumnya, media massa juga pernah memberitakan sepak terjang Anas Urbaningrum sebagai politisi yang melakukan kunjungan silaturrahim ke Ma’had Al-Zaytun (Kamis 17 Maret 2011). Ketika itu, Anas ditemani Edhie Baskoro Yudhoyono sambil membawa “uang silaturrahim” sebesar US$ 10 ribu. (http://www.nahimunkar.com/inaa-lillaahi%E2%80%A6menteri-agama-jadi-jubir-presiden-aliran-sesat-nii-kw9/#more-5124)

Silaturrahim adalah ajaran Islam. Ketika silaturrahim dimanfaatkan politisi, maka silaturrahim yang semula bernilai mulia, menjadi sekedar kuda tunggangan, menjadi semacam kosmetik untuk mempercantik diri. Dan hal ini juga dipraktekkan Anas meniru-niru politisi seniornya.

Kalau masyarakat mengharapkan lahir sosok politisi muda yang otentik, dan harapan itu tertuju kepada Anas, memang wajar. Karena, masyarakat tidak bisa mengarahkan harapan seperti itu kepada Ibas alias Edhie Baskoro Yudhoyono, yang bisa menjadi elite politik nasional karena adanya sistem ‘monarki’ di kesultanan NKRI ini. Ibas bukan satu-satunya. Sebelumnya ada Megawati, ada Tutut, dan sebagainya.

Sebelum manakhodai Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pernah menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) periode 2000-2007, di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, M.A. Pada awal 2005, KPU digoyang dengan tuduhan korupsi yang diduga melibatkan Nazaruddin Sjamsuddin dan Chusnul Mar’iyah. Konon, Anas Urbaningrum lolos berkat kelincahannya berlindung di balik ketiak partai penguasa.

Kini, ketika skandal korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang yang menyangkut Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), nama Anas Urbaningrum juga disebut-sebut. Akankah kali ini Anas kembali lolos dari lubang jarum?

Yang jelas, harapan masyarakat akan lahirnya sosok politisi muda yang otentik sama sekali tidak bisa digantungkan kepada Anas. Ternyata, Anas sama saja dengan seniornya: menjadikan bau agama dan simbol agama sebagai kosmetik politik, dan tidak lekang dari kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan yang sedang digenggamnya. Begitu juga dengan politisi muda seperti Andi Mallarangeng bersaudara. Mereka diduga terlibat penyalahgunaan wewenang yang melibatkan Nazaruddin.

Anas mengenal Nazaruddin pada 2004, saat ia menjadi anggota KPU, dan Nazaruddin mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari PPP, namun gagal. Hubungan mereka terus berlanjut, bahkan di tahun 2007, Anas duduk sebagai komisaris di PT Panahatan dan PT Anugerah Nusantara, milik Nazaruddin.

PT Panahatan yang didirikan tanggal 9 September 1997, bergerak di bidang perkebunan, kontraktor, pertambangan, hingga real estate. Berdasarkan SK Nomor AHU-22783.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008, susunan pemegang saham PT Panahatan adalah: Anas Urbaningrum (35.000 lembar saham, sebagai komisaris), Muhammad Nazaruddin (35.000 lembar saham, sebagai komisaris utama), dan M. Nasir (30.000 lembar saham, sebagai direktur). Setiap lembar saham bernilai Rp 1 juta.

Meski saham Anas bernilai Rp 35 milyar, namun menurut pengakuan Anas, ia tidak pernah menyetorkan dana sebanyak itu, bahkan sama sekali tidak keluar tenaga dan biaya dalam proses pendirian atau opersional perusahaan. Anas langsung ditunjuk sebagai komisaris. Namun tak lama. Pada tahun 2009, Anas mengaku mundur dari jabatannya di dua perusahaan milik Nazaruddin tersebut.

Namun demikian, kedekatan Anas-Nazar tak lekang. Terbukti, Nazaruddin menjadi sosok penting sebagai tim sukses kubu Anas, sehingga pada Kongres Partai Demokrat yang berlangsung pada Mei 2010 di Bandung, Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, mengalahkan Andi Mallarangeng. Pada Juli 2010, Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menunjuk Nazaruddin sebagai Bendahara Umum.

Sebagai Bendahara Umum, Nazaruddin benar-benar bisa diandalkan dalam hal membiayai kegiatan sang Ketua Umum. Setiap kegiatan yang dilakukan Anas, Nazar selalu memberikan dukungan dana. Termasuk biaya penyewaan pesawat yang menelan biaya miliaran rupiah per tahunnya. Konon, Nazaruddin menganggarkan Rp 10 milyar per tahun untuk mendukung kegiatan Anas (Ketua Umum PD) dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas (Sekjen PD).

Dari mana sumber dana Nazaruddin? Dari proyek-proyek pemerintah. Partai demokrat sebagai partai penguasa, tentu punya peluang yang lebih besar dibanding parpol lain di dalam mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Konon, dalam setahun, Nazaruddin bisa menghimpun proyek-proyek pemerintah senilai Rp 42 triliun. Jika sepuluh persennya disalurkan untuk membiayai partai, maka setidaknya tersedia dana sekitar Rp 4 triliun lebih setiap tahunnya.

Bagaimana cara menghimpun? Sebagai Ketua Umum partai penguasa, Anas selalu mengajak Nazaruddin setiap bertemu dengan menteri atau pejabat pemerintahan. Setelah dikenalkan, Nazar kemudian menindaklanjuti. Hasilnya, dengan mudah Nazaruddin mendapatkan proyek-proyek di pemerintahan. Begitulah modus operandi yang biasa dilakukan petinggi parpol. Inilah bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terus berlangsung hingga kini.

Ketika jadi mahasiswa dulu, Anas dan Andi Mallarengeng, boleh jadi ikut menyuarakan dihapuskannya KKN. Namun ketika mereka sudah berada di ranah politik, mereka tidak berdaya. Bahkan larut.

Fenomena Anas Urbaningrum, boleh jadi bagai puncak gunung es: masih banyak kasus serupa yang lebih dahsyat namun tidak terungkap media massa. Yang pasti, sistem yang korup, sampai kapan pun akan menumbuh-suburkan korupsi dalam berbagai bentuk. Tidak hanya sistemnya yang perlu diperbaiki, tetapi juga manusianya.

Bila sosok manusianya masih doyan kemusyrikan, bid’ah dan sebagainya, boleh jadi ia tidak bisa membebaskan diri dari kecenderungan untuk korupsi dan menyalahgunakan wewenang. Kalau aturan Allah saja bisa dilanggar atau diabaikan, apalagi aturan manusia? (haji/tede/nahimunkar.com)

foto: jakartacitynews