"Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi?": Menyingkap Motif Politik Zionisme Dibalik Orientalisme (I)

Judul di atas penulis ambil dari buku karangan Abraham Geiger. Pendiri Yahudi Liberal dan Pelopor Studi Islam, dengan judul aseli, Was hat Mohammed aus dem Judenthue aufgenommen? pada tahun 1833.

Dalam buku tersebut, Geiger menunjukkan bahwa sebagian besar Al Quran diambil atau didasarkan pada literatur Keyahudian. Geiger merujuk pada kenyataan akan banyaknya kosa kata dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And (Eden), Jahannam (Gehinnom), Ahbar (habher), darasa, Rabbani, Sabt, Sakinat (Shekinah), Taghut, Furqan, Ma’un, Mathani (mishna), Malakut, dan lain sebagainya. Geiger juga mengecam penyimpangan dan rekayasa Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat Qur’an yang menyudutkan Yahudi.

Dan anda tahu berapa umur Geiger saat menulis buku tersebut? 23 tahun! Apa hasil dari ini semua? Geiger berhasil lolos seleksi ke Universitas Bonn dan kelak menjadi Doktor teologi terhebat abad 19, sekaligus ingin mengatakan pada dunia: siapakah Agama terhebat sesungguhnya selama ini?

Bayangkan dari umur tujuh belas tahun, ia sudah sudah konsisten mengkaji bahasa dan sastra Arab. Selama berjam-jam, Geiger tekun mengkaji Al Qur’an di dalam Universitas tua di Jerman tersebut. Kecintaan Geiger pada ilmu mengantarkannya menyelami tema-tema filologi, Syriac, Ibrani, namun sesekali ia juga menghadiri perkuliahan dalam bidang Perjanjian Lama dan arkeologi di Geidelberg.

Benih kritis Geiger, sudah tertangkap saat ia masih kecil. Kala itu Geiger sudah mulai meragukan pemahaman tradisional Yahudi ketika studinya dalam sejarah klasik menemukan bahwa ada pertentangan dalam klaim Alkitab tentang otoritas Tuhan. Selanjutnya, Geiger berhasil melakukan pembaharuan dalam agama Yahudi, dari agama doktriner, menuju dinamis dengan mengambil area sekularisme dan nilai-nilai budaya lokal (semacam kearifan lokal).

Tapi Geiger sendiri ternyata bukan seorang Rabbi tulen, ia politikus handal dengan menancapkan visi bagaimana Yahudi nanti mampu diterima di Eropa, dan klaim-klaim anti semitisme akan tersingkirkan dengan memasukkan sekulerisme ke wilayah Yahudi. Ia juga tidak murni saintis, sebab ia pernah memimpin gerakan Yahudi saat masih duduk di bangku perkuliahan pada Universitas Heidelberg.

Nah kerja-kerja yang dilakukan anak muda bernama Geiger itulah yang kini banyak diterjemahkan dan disebarkan orang modern dengan nama liberalisme. Banyak para mahasiswa muslim ikut-ikutan (kalau tidak mau disebut mem-plagiati) usaha Geiger untuk menelanjangi Agama. Ada yang menyatakan homoseksual halal, Al Qur’an tidak suci, budaya tidak boleh ditaklukan agama, bahkan mereka melakukan itu tanpa pernah bertemu muka dengan Geiger sekalipun.

Orientalisme dan Misi Politik
Menurut, Adnan M. Wizan, konstruksi studi orientalisme dalam Islam sekarang sudah semakin berkembang luas. Misi orientalisme tidak lagi berputar pada kajian-kajian Sitem Isra Mi’raj, juga bukan pula pada diskursus sistem waris (sekarang sudah mulai dilakukan oleh feminis muslim), tapi orientalisme sudah menjadi kajian ilmiah dan murni akademik, namun dengan tujuan perang wacana dan pemberangusan ideologi teologis.

Seterusnya, Wizan, dalam bukunya Akar Gerakan Orientalisme, menyatakan bahwa organisasi-organisasi politik semacam Departemen Pertahanan dan Departemen Luar negeri menjadi potret penyempurnaan yang membantu mendesain bagi peluang-peluang yang aman dan menjurus pada penghancuran Islam dan Masyarakatnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat dengan didirikannya Fakultas Studi Ketimuran di Universitas Indiana di wilayah Bloomington Amerika. Fakultas ini secara spesifik tidak lagi obyektif mengkaji dialektika Arab, namun perkuliahan semata-mata dilaksanakan demi memuluskan misi-misi pertempuran bangsa Amerika.

Hal ini pernah dialami cendekiawan muslim yang menetap di Makkah tersebut. Niatnya untuk mendapatkan siraman yang pure akademik tentang kajian orientalisme, ternyata mengalami ganjalan. Klaim sikap objektifitas dalam mengkaji sesuatu yang selama ini didengung-dengungkan oleh Barat ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Dengarlah curahan hatinya berikut ini:

“Kami berkeinginan mengikuti studi di Unversitas Indiana program linguistik ketika Universitas tersebut Populer pada zamannya. Kami telah mengajukan proposal pada pihak universitas, atas kehendak Allah, kami diterima dalam program studi magister. Tetapi kami keheranan karena diterima dengan bersyarat, harus mengikuti kuliah cabang-cabang linguistik dan studi ketimuran. Sudah tidak asing lagi, mayoritas mahasiswa yang mempelajari materi linguistik akan mempraktekkan perspektif lingustik, dalam bahasa induknya bukan dalam bahasa Inggris. Seseorang Arab harus mempraktekkan dalam bahasa Arab. Seorang Perancis dalam bahasa Perancis dan begitulah seterusnya. … (Pada akhirnya) Kami tidak berpartisipasi dengan hal-hal yang dapat membantu orientalisme yang wajib ditulis oleh mahasiswa untuk para dosen sebagaimana yang telah ditetapkan oleh mereka,maka kami pun enggan melakukan itu, karena kami tidak mau memerangi Islam dan Bahasa Qur’an”

Kegelisahan Wizan ini pula yang sempat melanda salah seorang mahasiswa di salah satu kampus Islam ternama di Jakarta baru-baru ini. Dalam pengakuannya kepada penulis, ia menuturkan keanehan pada ujian salah satu matakuliah S2-nya. Saat itu banyak para dosen meminta para mahasiswa menjunjung sikap obyektif dalam melihat Barat. Namun di sisi lain, sang dosen tidak memberlakukan hal sama pada materi-materi Keislaman. Mahasiswa tersebut diintruksikan untuk “menerima atau meninggalkan” fiqh klasik Imam syafi’i yang ditulis abad ke 9. Ia dituntut harus berani mengrkitik Imam Syafi’i terkait hukum-hukum fikihnya tersebut. Menariknya mahasiswa itu ternyata bukan kuliah di Fakultas Syariah, melainkan jurusan Studi Islam dan Perdamaian.

Lho apa hubungannya teks Imam Syafi’i dengan Perdamaian? Rupanya ada masalah terhadap teks selama ini yang menyebabkan persengkataan politik antara dunia Timur dan Barat tidak pernah berkesudahan. Pemahaman militansi beragama dituding banyak menghambat proses interaksi antara dunia Timur sebagai warna Islam, dengan representasi Barat yang dimainkan Yahudi.

Dosen tersebut, tidak beda dengan Montgomerry Watt, seorang pendeta sekaligus orientalis, ketika menyeru bahwa watak bangsa Arab adalah berperang dan menjadi semakin berkembang dan terorganisir ketika Nabi Muhammad SAW membawa risalahnya.
Muatan politik dalam orientalisme ternyata bukan thesis baru. Profesor H. Ismail Jakub, dalam bukunya Orientalisme dan Orientalisten (1970), menyatakan bahwa tujuan dari misi politik dalam orientalisme hanya satu, yakni:

”Melemahkan Djiwa Persaudaraan (uchuwah Islamiyyah) diantara sesama kaum muslim, baik jang sebangsa, atau dari berbagai angsa. Tjaranya diantara lain, ialah dihidupkan semangat golongan jang ada sebelum Islam. Dan mengorbankan perbedaan dan perpetjahan di antara golongan-golongan kaum muslimin”

Apa yang dikatakan Profesor Ismail, hampir mirip dengan maksud Geiger dengan menggunting orisnilitas Islam dengan sisipan hegemoni Barat. Bedanya, Guru Besar IAIN Sunan Ampel tersebut kemudian menyatakan bahwa sisipan nilai-nilai Romawi menjadi rujukan para orientalis untuk menjelaskn dari mana ajaran Islam berasal.

Geopolitik Islam dan Zionisme
Keniscayaan politis ini membuat gerakan konspirasi melibatkan beberepa elemen fital dari kajian ketimuran. Perangkat segala aspek dalam Islam, seperti sosial, budaya, dan sejarah menjadi satu paket dalam misi-misi Zionisme ketika menginflitrasi Islam.

Alhasil, selangkah lebih maju dari diskusi ini, Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) akhirnya menuding bukan saja bermuatan politik, tapi orientalisme sudah mengandung sisi geopolitik dengan melibatkan berbagai hal seperti, naskah-naskah estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan filologi untuk melihat seluruh lapisan Islam. Siapakah yang bermain dibalik ini semua? Said mengatakan saham paling besar ada di tridente, Inggris-Prancis-Amerika. Adnan Wizan melihat orientalisme Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, AS, Uni Soviet.

Tapi terlepas dari jumlah mereka, semuanya digerakkan oleh satu aktor sama: Yahudi. Dan disatukan oleh satu misi yang sama: menghancurkan Islam. Kenapa? Meminjam, narasi Said, karena sampai dengan abad 21 ini, bagi orang Eropa, Timur memang merupakan kawasan dengan sejarah kontinuitas demonansi Barat yang tak tertumbangkan.

Tak pelak lagi, dalam berbagai hal, Islam adalah provokasi nyata!
Oleh karena itu, nanti kita akan melihat mengapa para founding father Negara Israel, ternyata adalah para akademis. Mereka ternyata dosen sekaligus zionis. Mereka hafal dunia Arab dari mulai hal yang kecil sampai yang paling besar. Bahasa Arab mereka bahkan bisa lebih pandai dari kita. Bacaan Qur’an mereka fasih bagai imam shalat di Madinah.(pz/Bersambung)