Apakah ‘Kejahatan Demokrasi’ Pilpres Bisa Dibawa ke Mahkamah Internasional?

Rakyat telah memotret keenam variable tersebut di atas dalam Pemilu 2019 dan terlukis dalam berbagai luapan kecemasan publik sehingga akuntabilitas dan kredibilitas presiden terpilih menjadi “soal krusial” khususnya di hadapan rakyat maupun dunia internasional. Meskipun demikian langkah-langkah yang diambil baik oleh petahana (Joko Widodo) maupun penantang (Prabowo Subianto) mesti profesional dan terukur. Keinginan beberapa pihak yang ingin membawa kecurangan pemilu ke pengadilan internasional dapat dimaklumi dan dihargai karena dianggap pengadilan domestik belum tentu mendapat keadilan substansial. Namun, apakah pengadilan internasional (International Tribunal Court) berbasis di Den Haag, Belanda akan memproses proposal terkait penyelesaian sengketa pemilu juga harus dijadikan pertimbangan.

Saya tidak ingin membatasi atau bahkan mengurasi daya juang dan militansi pihak-pihak yang menginginkan proses hukum yang adil atas kejahatan demokrasi Indonesia ke dunia internasional. Oleh karena itu saya hanya memberi gambaran untuk melihat otoritas Pengadilan Kriminal Internasional untuk mengadili kejahatan demokrasi sebagaimana kecurangan pilres di Indonesia 2019.

Unsur-Unsur Kejahatan Dalam Juridiksi Internasional Tribunal

Sehubungan dengan hal tersebut, di bawah ini diuraikan kerangka hukum normatif yang berkenaan dengan unsur-unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat (elements of crimes), khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa diadili di pengadilan internasional.

Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma menyatakan “untuk tujuan Statuta ini ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ adalah perbuatan berikut mana pun yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap populasi sipil apapun, dengan pengetahuan mengenai serangan tersebut.

a) Salah satu perbuatan yakni Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal 9 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan (misalnya : pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari tindak pidana-tindak pidana itu.

b) Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan. Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan. Misalnya, pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk sipil dapat dianggap sebagai serangan terhadap seluruh populasi sipil. Sedangkan unsur-unsur dari “serangan” adalah: Tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda (multiplicity commission of acts) yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi.