Catatan Muhibah dari Turki: Belajar dari Sosok Bahadir Bargin (Bag.2)

Kota Istanbul terletak di 42 derajat lintang utara. Pada bulan November, daerah ini memang cukup sejuk, sedikit lebih dingin dibanding berada di kawasan Puncak-Bogor saat malam. Terlebih lagi pada hari itu, Kamis (15/11), hujan rintik-tintik turun membasuh jalan kecil yang banyak terdapat di daerah Taksim, Istanbul. Walau cuaca sedikit kurang bersahabat, Bahadir Bargin ternyata tetap datang tepat pada waktunya. Pemuda pendiam dengan tinggi sekitar 175 centimeter tampak mengenakan baju hangat dan topi kupluk berwarna hitam, sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.

Dengan senyum yang penuh keikhlasan, Bargin menyambut kami di depan hotel tempat kami menginap. Tadinya kami ingin menumpang taksi untuk menjelajahi kota Istanbul, tapi pemuda itu dengan halus menolaknya. “Lebih baik kita berjalan kaki saja, ” ujarnya. Jadilah kami berjalan bersamanya di menyusuri jalan-jalan kecil yang disusun dari con-block selebar lebih kurang lima meter yang tersusun dengan rapi.

Sepanjang perjalanan, sambil menerangkan hal-hal yang menarik di Istanbul, seorang Bargin selalu saja menyempatkan diri untuk memungut apa saja yang bisa mengganggu pejalan kaki seperti kami ini dari jalan, seperti paku dan kerikil tajam, dan membuangnya ke tempat yang aman. Dia melakukannya dengan sangat ringan, sesuatu hal yang sudah sangat biasa dikerjakannya. Kami teringat salah satu hadits Rasulullah yang kalau tidak salah menerangkan bahwa menyingkirkan duri dari jalan sudah termasuk perbuatan ibadah yang akan mendapatkan pahala.

Dalam perjalanan Kami juga menanyakan sejumlah hal tentang dirinya. Salah satunya adalah mengapa di usianya yang sudah cukup matang untuk berumah tangga, dia masih saja betah untuk melajang, padahal muslimah Turki terkenal kecantikannya. Dengan tersenyum simpul Bargin menjawab, “Untuk hal itu, biarlah Allah yang akan memilihkannya untukku…” Subhanallah…

Bargin ternyata cukup hafal dengan kota ini. Dalam perjalanan, dia selalu membawa Kami ke masjid terdekat pada jam-jam sholat, tepat pada waktunya. Tanpa sepengetahuan kami, ternyata Bargin juga selalu menjaga wudhunya. Dan yang membuat Kami miris, mungkin juga malu, bahwa ‘pemandu’ Kami itu ternyata juga tengah berpuasa, puasa Daud. Setahu Kami, di negeri Kami saja tidak banyak aktivis Islam yang melakukan puasa jenis ini, satu hari puasa, satu hari tidak, berselang-seling. Namun di negeri yang mendewakan prinsip sekularisme seperti di Turki ini, di mana sekulerisme menjadi prinsip utama Konstitusi Negara, seorang pemuda masih setia menjalankan puasa Daud. Kami lagi-lagi takjub.

Saat Kami sudah kepayahan berjalan kaki menyusuri jalan demi jalan di kota bersejarah ini, Kami mengajak pulang dan hendak memanggil taksi. Namun lagi-lagi Bargin menolaknya, “Naik bus jauh lebih baik. ” Salah satu alasannya, naik taksi di Turki sangat mahal ongkosnya, untuk balik ke hotel yang kira-kira sejauh lima kilometer saja penumpang harus merogoh uang sekitar US$200! (setara dengan Rp 1. 800. 000, – dengan kurs dollar Rp 9. 000, -). Namun dengan bus, kita hanya diminta membayar 5 sen untuk tiap penumpang. Jadilah kami naik bus.

Bus yang kami tumpangi melewati daerah tempat tinggal Bargin. Agar tidak terlalu merepotkannya, Kami mempersilakannya untuk turun meninggalkan Kami. Toh, Kami sudah tahu jalan pulang. Tapi lagi-lagi seorang Bargin bukan seorang pemuda Turki yang Kami kira. Dengan masih tersenyum dia menjawab, “Saya menjemput Anda di depan hotel, maka saya akan mengembalikan Anda di tempat kita bertemu tadi pagi. ” Ya Allah, Kami sungguh-sungguh surprise padanya. Betapa di usia yang masih muda tersebut Bargin mampu menjadi seorang tuan rumah yang amat sangat baik terhadap tamunya, sesuai dengan akhlak yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Ketika Kami ingin memberinya uang sebagai bentuk penghargaan Kami atas jerih payahnya, yang rela menjadi pemandu dadakan Kami dengan berjalan kaki, padahal dirinya tengah berpuasa, lagi-lagi Bargin menolaknya.

“Saudaraku, ” ujarnya halus. “Saya tidak pernah sedikit pun mengharapkan uang Anda. Saya hanya ingin Anda mendoakan saya. Saya hanya berharap pada Allah semata. ”

Terus terang, jika tidak malu, saat itu Kami ingin menangis. Kami sungguh-sungguh bangga dengan pemuda shalih yang satu ini. Kami tersentuh dengan keikhlasan yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam, yang hanya bisa dimiliki oleh seorang manusia yang lurus keimanan dan ketauhidannya. Ahh, di Indonesia saja yang bangga dengan sebutan negeri Muslim terbesar dunia, mungkin mustahil bisa menjumpai orang seikhlas dan sesholih dirinya. Mungkin Kami salah, tapi sungguh Kami belum pernah menemui hal yang sama di tanah air Kami sendiri.

Ketakjuban Kami kepada pemuda tersebut ternyata belumlah usai. Kami tidak enak hati jika tidak memberikan apa pun terhadap pemandu Kami ini. Kami merasa sangat berhutang budi padanya. Diam-diam, kami memasukkan sejumlah uang ke dalam saku baju hangatnya.

Namun tindakan yang menurut Kami dilakukan dengan sangat hati-hati ternyata diketahuinya. Sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan, Bargin berkata, “Saudaraku, jangan melakukan hal itu padaku. Ambillah kembali uang itu dari saku bajuku. Aku tidak ingin mengetahui jumlahnya, karena hal itu bisa jadi akan mengotori hatiku. Aku sama sekali tidak mengharapkan itu dari kalian, saya hanya berharap doa kalian, saya hanya berharap pada Allah. Ambillah kembali uang itu atau saya akan tetap berdiri di sini sebelum uang itu kalian ambil. ”

Kami awalnya tidak mau mengambil kembali uang yang sudah berada di dalam saku baju hangat Bargin. Kami ikhlas. Kami berjalan menjauhi dirinya yang masih saja berdiri dengan mata ditutup. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ternyata Bargin tetap berdiri dengan posisi semula. Kami akhirnya tahu bahwa pemuda itu tidak sedang main-main. Kami akhirnya kembali mendekatinya dan mengambil uang itu. Barulah Bargin membuka kedua matanya. Dengan senyum tulus dan mata yang teduh yang memancar dari wajahnya yang bersih, Bargin mengucapkan syukur dan berterimakasih.

“Saudaraku, doakanlah aku. Hanya kepada Allah aku mengharapkan sesuatu. Doakanlah agar kami di Turki ini bisa tetap menjaga agama Allah ini dengan baik. Hanya itu yang kami harapkan. ” Kami benar-benar menangis di dalam hati. Kedua mata Kami basah. Begitu haru mendengar penuturan pemuda yang satu ini.

Ya Allah, berikanlah perlindungan dan keselamatan bagi pemuda ini dan saudara-saudara kami yang dengan hati yang bersih, iman yang lurus, senantiasa menjaga agama-Mu di negeri yang terang-terangan memusuhi-Mu. Jadikanlah Kami semua sebagai saudara di dalam agama-Mu, agar dapat senantiasa tolong-menolong di dalam kebaikan dan keimanan. Kabulkanlah Ya Rabbi….(m/bersambung)