Eksploitasi Blok Gas Natuna D-Alpha: Mencegah Ketundukan Pemerintah kepada Asing (1)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Latar Belakang

Selama beberapa tahun terakhir, kita dibuat was-was dan khawatir oleh pernyataan-pernyataan beberapa pejabat pemerintah, Pertamina, dan Exxon Mobil terkait status hukum Blok Natuna D-Alpha yang simpang siur dan bertolak belakang. Pemerintah menegaskan bahwa kontrak Exxon di Natuna telah berakhir sejak 2005. Sedangkan pihak Exxon hingga Januari 2009 terus membantah hal ini, dan menyatakan mereka masih memiliki hak atas Blok Natuna. Di sisi lain, Pertamina, yang sebenarnya telah ditunjuk pemerintah untuk mengelola Natuna, justru merasa ragu dengan legalitas penunjukan mereka, sehingga tak kunjung bertindak mengelola blok migas tersebut.

Sebagai reminder, berikut kutipan sejumlah sikap, kondisi, dan pernyataan yang kontradiktif dari berbagai pejabat dan kontraktor terkait kontrak Natuna D-Alpha yang menjadi sumber kekhawatiran itu.

­ ”Pemerintah telah menetapkan Blok Natuna D-Alpha sebagai wilayah kerja terbuka migas” (Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, 25 Januari 2007);

­ Sikap Exxon kontradiktif dengan pernyataan Menteri ESDM di atas, yaitu, ”Kalau ada pernyataan bahwa Blok Natuna menjadi wilayah kerja yang terbuka sehingga siapa pun bisa masuk, itu tidak pernah disampaikan secara resmi kepada ExxonMobil” (Vice President ExxonMobil Maman Budiman, 27 Januari 2007);

­ Pemerintah secara resmi menunjuk Pertamina dalam pengembangan Blok Natuna D-Alpha yang tertuang dalam Surat Menteri ESDM No 3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D-Alpha;

­ Pada tanggal 16 Juli 2008, Pertamina menetapkan Wood Mackenzie sebagai konsultan untuk memilih perusahaan migas yang akan menjadi patner Pertamina mengelola Blok Natuna D-Alpha;
­ Dirut Pertamina tidak percaya diri untuk menjadi operaotr, ”Kami minta kejelasan status Exxon Mobil kepada pemerintah, terutama menyangkut masalah hukumnya, sudah selesai apa belum, karena ada pihak yang mempermasalahkan itu” (Dirut Pertamina Arie Soemarno, 11 Desember 2008);

­ ”Apa yang perlu dipertanyakan lagi? Keputusan menyerahkan pengelolaan blok itu ke Pertamina sudah melalui sidang kabinet yang dipimpin Presiden, setelah itu juga ada surat dari Menteri ESDM” (Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, 27 Desember 2008);

­ Exxon Mobil menyampaikan rencana pengembangan (plan of development, PoD) Natuna kepada DESDM, Ditjen Migas, dan BP Migas pada tanggal 30 Desember 2008 atas dasar pertimbangan bahwa kontrak yang ditandatangani pada tahun 1995 masih berlaku. Exxon Mobil meyakini bahwa mereka masih berhak atas Natuna karena telah mengajukan perpanjangan kontrak pada tahun 2004;

­ “ExxonMobil masih berhak di Natuna. Sesuai kontrak dengan Natuna PSC, pengajuan PoD adalah langkah sebelum deadline pengembangan Natuna berakhir 9 Januari 2009 (Vice President Exxon Mobil Maman Budiman, 9 Januari 2009);

­ Atas sikap ”ngotot” ExxonMobil tersebut, Kepala BP Migas merespon, ”Secara legal sudah diterminasi tahun 2005. Jadi tidak perlu pakai surat-surat lagi. Natuna sudah jadi wilayah terbuka karena BP Migas berpatokan kontrak selesai di 2005, bukan 2009. Sudah di-terminate, karena mereka seharusnya melakukan pengembangan tahun 2005, bukan 2009.”

Berlarut-larutnya ketidakjelasan status Blok Natuna sendiri selama ini sangat mengherankan. Para pejabat negara tersebut, pada waktu berbeda di tahun 2007, 2008, dan 2009, sering mengatakan bahwa kontrak dengan Exxon Mobil telah diterminasi pada bulan Januari 2005. Namun, tak lama kemudian selalu muncul bantahan dari pihak Exxon. Sejalan dengan sikap Exxon, praktik yang terjadi di lapangan, oleh para pejabat, justru berbeda. Dikatakan pada 8 Desember 2006 kontrak telah diterminasi, namun pada bulan Januari 2007, Exxon masih mendapat kesempatan memperpanjang kontrak (Kepala BP Migas, pada RDP dengan Komisi VII DPR, 22 Januari 2009). Hal yang sama berulang di tahun berikutnya, 2008.

Ternyata selama lebih 3 tahun (2006-2008), Exxon Mobil telah diberi kesempatan untuk bernegosiasi tentang perbedaan persepsi atas ketentuan kontrak dan kesempatan untuk membuat kontrak baru. Tampaknya inilan alasan mengapa pemerintah tidak pernah secara resmi menyampaikan surat terminasi kontrak kepada Exxon Mobil. Penunjukkan Pertamina sebagai pengelola Natuna juga seolah dilakukan pemerintah dengan setengah hati. Buktinya, meski dinyatakan telah tertuang dalam surat Menteri ESDM bernomor 3588/11/MEM/2008 bertanggal 1 Juni 2008, pihak Pertamina justru meragukan kekuatan hukum surat tersebut sehingga membuat mereka memutuskan menunda proses seleksi mitra kerja sama pengelolaan Natuna.

Status terakhir tentang Blok Natuna D-Alpha saat buku ini ditulis (Agustus 2009) adalah bahwa pemerintah telah menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Natuna. Pertamina pun pada saat ini sedang dalam proses seleksi/tender terhadap kontraktor migas yang kelak akan menjadi patnernya dalam mengelola blok Natuna. Namun setelah sekian bulan menunggu, pemenang tender yang akan menjadi patner Pertamina tersebut tak kunjung diumumkan. Apakah terlambatnya pengumuman ini disebabkan oleh adanya intervensi dari luar Pertamina atau luar Indonesia, atau pengaruh Exxon Mobil kepada oknum-oknum pemerintah demikian kuat? Wallahu a’lam.

Yang jelas, kita sangat khawatir dengan sikap pemerintah yang tidak konsisten selama ini, termasuk melakukan sandiwara dan kebohongan publik. Bagi kita, jika ada kontraktor pada masa lalu terlibat mendapatkan kontrak bagi hasil yang sangat merugikan negara (kontraktor 100% : negara 0%), maka kontraktor tersebut seharusnya diusut, bukan malah diberi kesempatan ikut tender, apalagi diberi perpanjangan kontrak. Tulisan berikut akan mengulas sejarah kontrak, potensi gas dan upaya advokasi Blok Natuna, sekaligus warning kepada masyarakat untuk waspada agar Blok tetap dikelola oleh BUMN, Pertamina.

Sejarah Kontrak

Sedikit kilas balik, kontraktor yang memperoleh kesempatan mengelola Natuna selama ini adalah Exxon Mobil. Tercatat, sejak 28 tahun yang lalu, Esso, perusahaan cikal bakal Exxon, telah menguasai Natuna berdasarkan perjanjian kerja sama eksplorasi D-Alpha Natuna yang ditandatangani Esso dengan Pertamina pada tanggal 8 Januari 1980. Sekitar 5 tahun kemudian, Exxon juga memperoleh perpanjangan komitmen pengembangan struktur AL (salah satu area di Blok Natuna) dari batas waktu 8 Januari 1986 menjadi tanggal 9 Januari 2005.

Perpanjangan kontrak diajukan Exxon dengan alasan bahwa gas Natuna mengandung CO2 hingga 71%, sehingga sulit dikembangkan dan dipasarkan. Pada saat itu pemerintah menyetujui permintaan Exxon dan kontrak diperpanjang melalui “basic agreement” (sebagai amandemen PSC 1980). Dalam hal ini disepakati pula bahwa kontak akan berakhir pada 9 Januari 2005 kecuali kontraktor menyampaikan komitmennya untuk mengembangkan struktur AL di Blok Natuna.

Namun, setelah kontrak berhasil diperoleh, Exxon ternyata tidak kunjung menggarap Natuna secara serius. Selama lebih dari dua puluh tahun Natuna dibiarkan menganggur tak beroperasi, sehingga selama itu pula negara tak memperoleh pendapatan. Exxon bahkan tidak mengajukan program pengembangan lapangan (plan of development, POD) seperti yang diwajibkan dalam kontrak (PSC Section II pasal 2.2 B). Akibatnya, sesuai dengan ketentuan, kontrak Exxon di Natuna berakhir terhitung sejak 9 Januari 2005 (10 tahun setelah Basic Agreement versi amandemen).

Namun, Exxon menolak pemutusan kontrak ini dengan alasan mereka telah mengajukan selembar surat komitmen untuk pengembangan struktur AL. Dengan surat tersebut, ExxonMobil menganggap mereka telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan wilayah ini. Pada tanggal 17 Desemebr 2004, 4 minggu sebelum kontrak berakhir, Exxon memang pernah mendeklarasikan niatnya kepada BP Migas untuk mengembangkan struktur AL Blok Natuna. Exxon menganggap surat komitmen tersebut sudah cukup untuk menghindari berakhirnya kontra.
Memang sebelum surat permohonan perpanjangan oleh Exxon tanggal 17 Desember 2004, Pertmina mendukung ExxonMobil untuk mengembangkan Blok Natuna D Alpha, sesuai surat permohnan yang ditandatangani bersama CEO Pertamina, Presiden Esso Natuna Ltd. dan Presiden Mobil Natuna Inc. kepada Kepala BP Migas pada tanggal 3 Desember 2004. Namun, BP Migas menilai berdasarkan PSC, surat permohonan dan surat komitmen saja tidak cukup untuk menghindari berakhirnya kontrak. Exxon Mobil tetap dipersyaratkan untuk membuat dan mengajukan rencana pengembangan yang commercially viable. Padahal, evaluasi BP Migas menunjukkan pengembangan yang dilakukan Exxon pada saat ini maupun beberapa waktu mendatang akan sulit memenuhi kelayakan komersial, mengingat banyaknya kendala yang ditemui.

Meskipun secara resmi, menurut pemahaman publik, pemerintah telah menolak perpanjangan kontrak bagi Exxon Mobil, ternyata di belakang layar justru Exxon Mobil masih diberi kesempatan untuk memperpanjang kontrak. Hal ini dapat kita catat dari pernyataan Menteri DESDM yang mengatakan (Kompas 13 Januari 2009) bahwa ketika kontrak dinyatakan selesai pada tahun 2005, pemerintah dan Exxon sempat bernegosiasi pada tahun 2006-2007 untuk mendudukkan perbedaan persepsi. Namun, negosiasi menemui jalan buntu. Kemudian tahun 2007-2008, negosiasi dilanjutkan dengan tawaran Exxon membuat kontrak baru dengan pemerintah, yang hasilnya juga deadlock.

Adanya kesempatan perpanjangan kontrak “sembunyi-sembunyi” selama 4 tahun sejak januari 2005 hingga Januari 2009 yang berakhir gagal tersebut, memperpanjang sejarah pengelolaan Natuna di tangan Exxon menjadi 28 tahun. Kontrak bagi hasil dengan Exxon yang tidak adil tersebut memang sudah harus diakhiri sejak 2005 yang lalu. Hanya oknum-oknum yang berkolaborasi atau takut dengan Exxon-lah yang membuat terjadinya perpanjangan selama 4 tahun.

ExxonMobil konon disebut-sebut pernah mengancam akan membawa kasus kontrak Natuna kepada arbitase internasional. Namun dengan ketentuan kontrak yang ada dan fakta di lapangan yang dialami Indonesia, pemerintah seharusnya tidak takut dengan ancaman dan arogansi Exxon Mobil tersebut.

Kontrak Bagi Hasil yang Tidak Adil

Terlepas dari permasalahan kontrak yang ada, secara substansi isi kontrak (production split, kontrak bagi hasil/ KBH) Blok D-Alpha Natuna sudah sangat merugikan negara. Berdasarkan KBH, porsi bagi hasil Exxon dan pemerintah ditetapkan sebesar 100 : 0. Artinya, pemerintah sama sekali tidak memperoleh bagi hasil, karena seluruh keuntungan produksi gas yang dihasilkan Natuna merupakan hak milik Exxon selaku kontraktor. Alasannya, eksploitasi D-Alpha Natuna membutuhkan investasi biaya yang besar dan biaya pemisahan CO2 sangat tinggi. Sedangkan potensi penjualan gas saat itu masih rendah. Karena itu, bagian 100% keuntungan bagi kontraktor dianggap sebagai suatu hal yang wajar.

Bagian pemasukan yang diperoleh pemerintah dari kontrak ini hanyalah pajak dan sejumlah dana kecil diawal masa eksplorasi dan eksploitasi, yaitu:

• Income tax: 35%;
• Signature bonus: US$ 3 juta;
• Production bonus berupa: US$ 5 juta for first gas, US$ 15 juta jika produksi rata-rata harian mencapai 200 MMCFD untuk 120 hari, dan US$ 30 juta jika produksi rata-rata 400 MMCFD;
• First tranche sales (FTS): 100% FTS = US$ 100 juta x (ACQ/2000).

Adapun saham partisipasi (participating interest, PI) masing-masing perusahaan pada konsorsium pengelola Blok Natuna pada awal kontrak (1980) adalah Pertamina 50% dan Esso (sebagai Operator) 50%. Pada tahun 1996 PI Pertamina sebesar 26% “dialihkan” kepada Mobil Oil. Selanjutnya, pada tahun yang sama antara Exxon Corporation Internasional dan Mobil Oil Corporation terjadi merger menjadi Exxon Mobil. Dengan demikian, PI masing-masing perusahaan sejak tahun 1996 adalah Pertamina 24% dan ExxonMobil (sebagai Operator) 76%.

Disamping pajak, pemerintah memang memperoleh sejumlah dana di awal eksplorasi (signature bonus) dan pada awal produksi berupa production bonus dan FTS. Namun, jumlah bonus-bonus tersebut sangat kecil dibanding potensi dan keuntungan yang diperoleh kontraktor. Dengan demikian, secara awam dapat diketahui bahwa kontrak itu sangat aneh dan tidak adil. Tak ada kontrak migas di negara manapun yang tidak memberikan bagian bagi hasil kepada pemerintah di negaranya sendiri. Karena itu, KBH Blok D-Alpha Natuna dapat dianggap sebagai pembodohan dan pelecehan terhadap hak-hak negara atas kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya.

Karena itu pula, pemutusan kontrak Exxon di Natuna dapat dinyatakan wajar dan legal, baik karena alasan yuridis-formal maupun karena alasan strategis-ekonomis. Namun kita masih menunggu, apakah akhirnya Pertamina akan tetap beperan sebagai operator dan mampu segera menunjuk patnernya dari proses tender yang telah berlangsung sejak tahun 2008 yang lalu. Hal ini tergantung kepada Presiden SBY, apakah mampu bersikap independen, mandiri, berani, dan tegar terhadap intervensi asing, termasuk tidak lagi mempertimbangkan Exxon sebagai salah satu patner Pertamina. Exxon telah terlibat dalam kontrak Blok Natuna dengan pola bagi hasil yang sangat merugikan negara. (bersambung)

foto ilustrasi: jakartapress

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.