Generasi Kedua Setelah Ulil: Sejarah JIL Merusak Akidah Islam di Indonesia (4)

Setelah generasi pertama Jaringan Islam Liberal naik daun. Era berfikir liberal mulai beralih ke genrasi yang lebih muda. Nama-nama pengusung pemikiran liberal tidak lagi hanya menjadi domain Ulil Abshar Abdalla, Nong Darol Mahmada, ataupun Ahmad Sahal.

Budhy Munawar Rahman menyebut minimal ada lima orang yang menjadi kiblat generasi kedua JIL, yakni Abdul Moqsith Ghazali, Guntur Romli, Novriantoni, Anick Hamin Tohari, dan Burhanuddin Muhtadi. [1]

Tak jauh berbeda dari pendahulunya, mereka-mereka generasi penerus pun tampak lebih berani dan semakin gigih melontarkan ucapan-ucapan menyeleh. Dari menganggap murtad perkara biasa sampai menyatakan KH. Kholil Ridwan bid’ah karena mengharamkan film ? Hanung Mari kita kupas satu persatu.

Abdul Moqsith Ghazali: Ketika Murtad Menjadi Hal Biasa

Nama ini sudah tidak asing bagi pengkaji pemikiran Islam. Ia adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia dilahirkan di Situbondo pada 7 Juni 1971. Kini ia telah menamatkan program S-3 di almamater yang sama.

Nama Moqsith mulai mencuat ketika menjadi konsultan dan pengasuh rubrik fiqh majalah Syir’ah Jakarta bersama fatwa-fatwanya yang dinilai kontroversial. Salah satunya menimpa salah seorang ibu ketika berkonsultasi tentang masalah fiqh. Singkatnya sang ibu memiliki anak yang berencana pindah agama meninggalkan Islam.

Sang anak yang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah berada dalam agama suci ini karena termakan isu terorisme. Ibu tersebut lalu bertanya kepada Moqsith, “Bagaimana pandangan fikh Islam menyangkut perpindahan agama?”

Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Moqsith mengemukakan tiga ayat Qur’an yaitu “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS Al Kafirun: 6), “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah dan barangsiapa ingin kafir maka kafirlah (Al Kahfi 29). “dan tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (Al Baqarah: 256).

Setelah mengutip ketiga ayat tersebut Moqsith menjelaskan, “Ayat-ayat diatas cukup jelas bahwa manusia itu tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh keapda manusia untuk beriman dan tidak beriman, beragama Islam ataupun tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hambanya untuk beriman kepadaNya, maka lebih-lebih orangtua terhadap anaknya.

Setelah itu Moqsith menyimpukan, “Namun sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah agama ke agama lain maka tidak ada pilihan kecuali bahwa ibu mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain. Sesuai dengan perintah Al Qur’an di atas, tidak boleh ada pemaksanaan menyangkut perkara agama" (Majalah Syir’ah No 39 hal 84-85) [2]

Disertasi Moqsith pun sempat menuai kontroversi kala itu di UIN Syarih Hidayatulah Jakarta. Ia menulis peneltian untuk gelar doctor itu dengan judul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis. [3]

Dalam disertasi itu, untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith sampai-sampai menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin Abi Waqash.

Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran Islam. Moqsith menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya itu, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48. [4]

Sayang dari delapan penguji, hanya satu yang menolak meluluskan disertasi nyeleneh ini yakni Profesor Salman Harun. Beliau mencap Moqsith telah melakukan pemurtadan dan menyembunyikan tafsir-tafsir ulama klasik yang menolak pluralisme. “Disertasi kayak begini kok lulus?” geram Prof Salman. [5]

Sekalipun berpemikrian liberal, Moqsith tercatat sebagai dewan pengasuh pondok pesantern Zainul Huda, Arjasa, Sumenep Madura. Ia juga menulis di pebagai jurnal seperti Tashwirul Afkara (Lakpesdam NU), Jurnal Dialog Litbang Depag RI serta aktif menjadi editor buku-buku Islam. Terakhir ia pun menulis buku berjudul Metodologi Studi Al Qur’an (2010), sekalipun judul buku itu terlihat Islam, di dalamnya justru meragukan kesucian Al Qur’an.

Guntur Romli: Kerap Berbohong dan Melecehkan

Untuk kita ketahui saja, Guntur Romli telah menikah dengan sesama aktivis JIL lainnya, yakni Nong Darol Mahmada. Entah apa yang menyatukan kedua insan ini. Mungkin memang karena Nong dan Guntur memiliki kesamaan pemikiran dalam memandang Islam liberal, atau mungkin juga ingin membentuk contoh keluarga liberal? Wallahua’lam.

Guntur lahir di Situbondo, Jawa Timur. Ia berhasul lulus dari Pesantren Al Amien Madura lalu melanjutkan belajar di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2004.

Sekalipun ia jebolan Universitas Al Azhar, tak menutup dirinya untuk berfikiran liberal. Dalam tulisannya yang sempat dimuat di sebuah jurnal feminisme radikal, Guntur Romli menyatakan bahwa Umar bin Khathab pernah melakukan anal seks. T

Tuduhan tersebut diklaimnya bersumber dari tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Suyuthi. Hal itu diungkap Munarman pada kasus persidangannya terkait Insiden Monas, senin 8 september tahun 2009. Kita tahu kasus itu sangat santer.

Namun, Guntur tidak mengakui soal tulisannya tersebut. Ia beralasan apa yang dia tulis tidak persis seperti itu. Munarman pun menunjukkan tulisan Guntur yang lain. Salah satunya berjudul “Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007.

Dalam tulisan itu, Guntur menyebut Al Qur’an merupakan rumusan gotong royong antara Allah SWT, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. Guntur juga menuding Al Qur’an adalah kitab saduran yang menyuting (mengedit) keyakinan dari kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya.

Salah satu kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:

“Bukti lain bahwa Al Qur’an tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al Qur’an berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al Qur’an, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.

"Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati di salib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bi’dah…

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al Qur’an lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bid’ah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain."

Artikel ini lah yang dibawa Munarman dipersidangan. Hal itu dilakukan karena Munarman ragu saat Guntur dijadikan saksi atas kasus AKKBB saat tragedi Monas karena kerap menulis hal yang nyeleneh.

Namun anehnya, Guntur menolak jika dikatakan tulisan tersebut merupakan hasil karyanya sendiri. “Saya menolak karena itu bukan tulisan saya,” bantah Guntur.

Padahal, setelah mendapatkan izin majelis hakim, Munarman menunjukkan berkas tulisan-tulisan tersebut pada Guntur, jaksa dan pengacaranya. Dan jika anda tidak percaya, anda bisa menelusuri sendiri bahwa tulisan itu benar adanya dari Guntur. Silahkan dicek pada situs tempo (http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2007/05/04/Opini/krn.20070504.100548.id.html)

Dalam kesaksiannya di persidangan, Guntur Romli juga sempat memberikan keterangan yang berbeda terkait dengan posisinya saat kejadian insiden Monas.
“Dalam jangka waktu 2 menit, ada 4 keterangannya yang berbeda,” ujar Munarman saat rehat sidang untuk buka puasa dan sholat maghrib. [6]

Selain gemar berbohong, Guntur juga kerap melecehkan. Baru-baru ini Guntur melecehkan KH. Kholil Ridwan yang mengharamkan film ? milik Hanung. Guntur mengatakan apakah menonton film itu bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi. “Maaf, Cholil Ridwan juga bid’ah karena muka dia juga tidak ada di zaman Nabi,” terangnya. Sekali lagi dengan gaya melecehkan. [7] (pz/bersambung)

Catatan Kaki

[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 32

[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). h. 179-181

[3] Disertasi ini kini telah menjadi buku dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: KataKita, 2009, 401 halaman)

[4] Erdy Nasrul, Demi Pluralisme Sirah Nabi Diplintir, Liputan Majalah Sabili

[5] http://www.wahidinstitute.org/, Moqsith Raih Gelar Doktor"Disertasi Begini kok Lulus", Rabu, 19 Desember 2007

[6] http://suara-islam.com, Sebut Sahabat Umar ra Pelaku Anal Seks, Munarman Ragukan Kredibilitas Guntur Romli. Senin, 8 September 2009

[7] http://pedomannews.com, Guntur Romli: Cholil Juga Bid’ah, Mukanya Nggak Ada di Zaman Nabi . Ahad, 17 April 2011