Ibnu Khaldun, Asal Kehancuran Negara dan Peradaban

Menurut Tarif Khalidi dalam buku Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age “Ilmu umran” (peradaban dan masyarakat) dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun bisa dikatakan sebuah science of social biology atau biology of civilization.

Ibnu Khaldun sendiri jelas menyatakan di bukunya bahwa peradaban umat manusia adalah sesuatu yang bergerak dan berproses layaknya makhluk hidup. Dalam kehidupan biologis adafase-fase kehidupan yang harus dilaui, dari mulai lahir, tumbuh berkembang menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa, kemudian mengalami proses penuaan dan akhirnya meninggal dunia. Masa kejayaan dan keruntuhan suatu peradaban berada dalam proses dialektis, berbenturan antar suatu peradaban menetap yang disebut hadharah dan peradaban yang nomaden atau ‘bar-bar’ yan disebut badawah.

Peradaban yang dikenal dalam pemahaman modern adalah hadharah, namun menurut Ibnu Khaldun peradaban semacam ini memiliki kelemahan yang pasti, yaitu selalu berproses dan berubah ke arah keruntuhan ketika sudah mencapai fase tenang, bermegah-megahan serta bermewah-mewahan.

Fase di mana sebuah peradaban telah memuncak, materi berkelimpahan di mana-mana, baik dari penarikan pajak, hasil bumi negara dan lain-lainnya. Selain merusak jiwa manusia, kemewahan dan kemegahan merusak pula ashabiyah, ikatan fanatisme antar sesama manusia di dalam sebuah peradaban, padahal ikatan fanatisme peradaban adalah penopang peradaban itu sendiri. Kultur hadharah pasti bergerak dan berubah ke arah kemewahan dan kemegahan.

Kehidupan bermewah-mewahan serta bermegahan pasti membawa kehancuran, begitulah satu dari logika Ibnu Khaldun yang terkenal. Ia sendiri mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an “Bilamana Kami berkehendak menghancurkan sebuah kota (peradaban), Kami suruh (jadikan) orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan dan melampaui batas, tetapi mereka durhaka, maka pantaslah mereka menerima adzab kemudian Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.”(QS 17:16)

Rupa-rupanya Ibnu Khaldun meyakini bahwa sumber kerusakan moral serta kehancuran peradaban berawal dari kesombongan, bermewah-mewahan dan bermegah-megahan. Tidak ada satupun peradaban yang selamat dari ‘penyakit’ semacam ini, tak terkecuali peradaban Islam di masa belakangan. Dari sinilah nampak solusi dari Ibnu Khaldun, peradaban ‘hadharah’ dengan segala kekuasaan dan kejayaannya wajib diatur dan dilandasi syariah Allah, terus-menerus. Kerangka sisi “dalam” sejarah Ibnu Khaldun berujung kepada keharusannya bermoral (beradab) dan menegakan syariah.

Oleh sebab itu jika ada suara-suara dari sebagian intelektual yang menganggap Ibnu Khaldun adalah sejarawan “sekular” Muslim, maka hal tersebut keliru. Dalam perjalanan sejarah berbagai peradaban besar, pendapat Ibnu Khaldun sulit untuk dibantah karena peradaban-peradaban besar merosot dan jatuh utamanya karena kecongkakan, bermegah-megahan dan bermewahan. Sebagian sejarawan dan pakar dunia Barat seperti Spengler dan Huntington sendiri mempercayai bahwa peradaban yang meyakini ia berada di puncak kejayaan dan kedigdayaan sesungguhnya telah berada dalam kemerosotan dan kejatuhannya.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Jika kalian telah sibuk dengan dirham dan dinar, berjual beli ‘inah (mengandung riba), mengikut ekor sapi (sibuk bertani), dan meninggalkan jihad, Allah akan memasukan kalian ke dalam kehinaan, Dia tak akan memperdulikan kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sabda lain beliau SAW “kalian dihinggapi penyakit Al-Wahn, yaitu kecintaan pada dunia dan takut mati (dalam memperjuangkan Islam)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Nampaknya hadits ini membuat kita percaya bahwa teori perihal kemerosotan dan kejatuhan sebuah peradaban (termasuk peradaban Islam) dari Ibnu Khaldun adalah benar.(kk/republikaonline)