Journey to Uighur: Mengalahkan Ketakutan Di Urumqi

Merasa tidak tenang, saya membatalkan shalat dan bergeser ke pilar berikutnya yang lebih tersembunyi. Baru dapat setengah rekaat, tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara, “What are you doing?”

Rupanya Mr Chang menyusul ke toilet. Mungkin ia menyangka saya kebingungan arah untuk kembali ke restoran. Akhirnya saya batalkan shalat dan mengikutinya kembali ke restoran.

Dengan isyarat, saya minta Lambang mengajaknya bicara dan menonton video-video yang kita buat selama saya gantian shalat.
Allahu akbar…

Selesai salam, saya tundukkan kepala dalam-dalam. Saya deraskan istighfar sebanyak-banyaknya. Betapa selama ini kita tidak menyadari nikmatnya bisa melaksanakan shalat tanpa tekanan dan rasa takut sama sekali.

Masjid-masjid di Indonesia banyak yang sepi jamaah. Sementara di belahan dunia lain, orang harus sembunyi-sembunyi untuk membenamkan sujudnya.
Bahkan di negeri ini, orang sudah takut untuk menjawab salam. Padahal itu adalah doa keselamatan dan keberkahan.

Begitupun saat beberapa kali saya menyebut nama Allah dengan suara agak keras. Seperti, sewaktu tersandung spontan berucap, “Innalillah.” Orang-orang di sekeliling langsung menatap saya dengan pandangan yang membuat saya bertanya dalam hati, “Saya salah apa?”

photo

Keterangan: Penjual Kismis dan Kurma di Urumqi.

Beberapa kali saya menuliskan, apa yang terjadi di tanah Uighur ini serupa dengan yang terjadi di Palestina. Ketakutan coba diciptakan melalui perang opini. Hal yang seharusnya tak masalah, menjadi salah akibat ketakutan yang diciptakan.