Kesedihan Mustofa

Sore itu Mustofa, staf rumah sakit yang selalu menyertai kami, yang biasanya ceria terlihat lebih pendiam. Kebiasaannya menggoda Abu Abdurrahman, perawat Tim HASI, lenyap. Di depan pemanas ruangan berbahan bakar solar ia termenung.

Ketika saya bertanya, “Ada apa Mustofa? Kenapa terlihat sedih?” Ia menjawab, “Ayah saya ditangkap.” Kami sontak kaget dan turut bersedih. Kekejaman aparat rezim Asad dan milisi Nushairinya sudah jadi rahasia umum. Mereka yang ditawan pasti disiksa dan bahkan bisa tak kembali.

Mustofa adalah salah satu muhajir atau pengungsi dari Kota Latakia yang masih dikuasai rejim Basyar Asad. Ia dan saudaranya hijrah dari kota ke pegunungan. Tak sekedar mengungsi, ia turut membantu di rumah sakit. Agaknya Dr Romi, bosnya, menugasi dia untuk menjadi semacam “ajudan” bagi tim kami.

Dari mengambil air, solar untuk pemanas, hingga menemani kunjungan kami ke desa-desa di sekitar Salma dilakukan Mustofa. Ia paling akhir tidur setelah kami lelap dalam hangatnya sleeping bag. Ia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu hanya berbalut selimut di tengah dingin yang menyengat.

Mustofa juga menjadi semacam pengawal bagi kami. Dalam kunjungan-kunjungan keluar ia selalu mengambil posisi dekat pintu keluar mobil, sepucuk AK-47 selalu ia pegang dalam tugas.

Senjata small arm memang dibenarkan dalam Konvensi Jenewa dipegang petugas medis untuk melindungi diri. Maklum, meski tugas sipil dan kemanusiaan, kami masih menghadapi resiko bahaya. Baik diserang rezim maupun dibegal di tengah perjalanan.

“Kenapa rezim menangkap ayahmu?” tanya kami lagi. Jawaban Mustofa cukup mengejutkan, “Sebagai sandera agar aku dan saudaraku menyerah dan kembali ke kota.”

Masya Allah. Inilah resiko bagi Muslim Suriah yang tak mau tunduk pada rezim Syiah Nushairi. Tak hanya dirinya, keluarganya menanggung resiko ditangkap dan disiksa atau bahkan dibunuh.

“Lalu apa solusinya?” tanya kami lagi. Siapa tahu ayah Mustofa bisa ditebus atau dibebaskan dengan jaminan. “Tidak ada. Ayahku mungkin dibebaskan kalau aku dan saudaraku menyerah. Tapi kami pasti dibunuh,” jawabnya getir.

“Natawakkal ‘alallah (kami hanya berserah diri pada Allah),” lanjut Mustofa kemudian. Ia seperti tak mau kami larut dalam kesedihannya. Kami pun mendoakan ia dan ayahnya. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kemudahan bagi mereka.[AZ]

 

Catatan Relawan HASI dari Suriah