Ketika Indonesia Diperintah Badut (Bag.1)

Seorang teman pernah iseng melakukan survei, secara sendirian, ingin tahu apa pendapat rakyat kecil tentang anggota DPR. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta bergengsi di Indonesia ini sengaja pergi ke kuburan Karet, Jakarta, menemui banyak orang.

Tentang mengapa lokasi kuburan yang dipilih, dengan cengar-cengir dia bilang, “Sebentar lagi negeri kita pun akan dikubur…” Anak ini memang isengnya tujuh turunan, tapi walau begitu dia juga pintar dan kritis.

Beberapa belas meter dari pintu masuk kuburan, dia menghampiri tukang kembang. “Pak, saya mau tanya, tapi jawabnya jangan lama-lama. Apa yang ada di pikiran Bapak, katakan saja, ” ujarnya. Sang bapak tukang kembang mengangguk. “Pendapat bapak soal anggota DPR?” Dengan lugas, seperti di kuis-kuis teve, Bapak itu langsung menyahut, “Mau enaknya sendiri!”

Sang mahasiswa masuk ke dalam. Tidak lama ia berpapasan dengan tukang sabit. Dia melontarkan pertanyaan yang sama. Tukang sabit menjawab, “Amit-amit!” Teman saya ini terdiam. Dia heran dengan tukang sabit itu. Lho pak, bukankah banyak orang yang mau jadi anggota DPR? Tukang sabit menggeleng, ” Saya ogah. Anak-anak saya juga jangan. Walau saya begini, saya merasa lebih terhormat ketimbang anggota DPR. ”

Teman saya ini bertanya lagi, ”Kenapa?” Tukang sabit yang umurnya sudah kepala lima itu menjawab tangkas, “Saya kerja gini halal, gak nyusahin orang. Kalau anggota DPR, kerjanya kan ngerampok duit rakyat. ” Teman saya itu sedikit surprise. Kok bisa-bisanya tukang sabit yang kayaknya tidak terpelajar bicara begitu.

Bapak dulu pernah kuliah? Tukang sabit menggeleng. Kok Bapak bisa bicara begitu? Bapak itu terkekeh, “Makanya dik, jangan terlalu menganggap rendah orang kecil. Biar begini-begini bapak ikut menurunkan Suharto. Mei 1998 dulu Bapak ikut demo ke Senayan. Jadinya gak buta-buta amat sama politik. ” Sang mahasiswa, teman saya ini, sedikit merah wajahnya menahan malu.

Terus? “Ya dik, anak saya ada empat. Saya bolehkan mereka jadi apa saja, kecuali jadi Satpol PP, Polisi, sama anggota DPR…” Belum teman saya bertanya, Bapak itu nyerocos lagi. “Satpol PP itu orang kecil, tapi kerjanya nindas orang kecil demi gaji yang nggak seberapa. Polisi… ya adik tahu sendirilah… dan anggota DPR, yah itu sama saja… Amit-amit!. ” Ketika mengucap kata ‘polisi’ dia menurunkan sedikit volume suaranya. Maklum, di depan Kuburan Karet berdiri Markas Kepolisian Resort 715 Tanah Abang.

Walau tidak setuju seratus persen dengan pendapat si Tukang Sabit, teman saya diam saja dan mencatatnya baik-baik. Namanya saja survei iseng.

Setelah seharian bertanya pada orang-orang di kuburan, suatu hari saat bertemu saya, dia menceritakan semuanya. “Mau tahu kosakata yang bisa menggambarkan anggota DPR?” Saya mengangguk. “Mau enaknya sendiri, egois, amit-amit, rampok berjas, gak tahu diri, dan sebagainya. Tapi ada lagi yang sungguh-sungguh lucu: Badut. ” Teman saya ketawa lepas.

Saya mengingatkan, “Ya itu kan gambaran umum, tapi gak semuanya lah. ” Saya sendiri punya banyak teman yang sekarang lagi duduk di Senayan. Teman saya itu menjawab, “Badut he he he… Badut TK!”

Mendengar istilah “Badut TK” saya ingat pernyataan Abdurrahman Wahid beberapa waktu lalu yang menyebut anggota DPR sebagai “Anak TK”. Bisa jadi, inilah satu-satunya sikap Gus Dur yang saya amini. Anggota DPR kita kebanyakan memang keterlaluan menyebalkan.

Saya sendiri pernah bertanya pada sahabat saya yang lain. Dia ini seorang public relation yang handal dan jago ngelobi, “Mau gak jadi anggota DPR?” Dia menggeleng. “Kalau saya jadi anggota, saya takut serakahnya melebihi mereka. Saya ini pintar ngelobi dan pintar lihat celah untuk usaha. Nanti saya jadi kaya melebihi mereka semua. ” Kami tertawa.

Ribut Hak Pensiun

Peringatan HUT RI yang ke-62 belum lewat sepekan, anggota DPR sudah ribut-ribut soal hak pensiun seumur hidupnya. Awalnya ada pihak yang ‘mengusik’ anggota DPR ini soal hak pensiun seumur hidup yang telah diatur UU, padahal masa kerja mereka hanya lima tahun.

Enak banget jadi anggota DPR, kerja cuma lima tahun, digaji besar dengan fasilitas super, tanpa prestasi yang bisa dibanggakan, eeh dapat pensiun seumur hidup lagi… Mungkin demikian pikiran orang yang pertama kali mengusulkan dicabutnya hak pensiun seumur hidup ini.

Karena wacana ini langsung menonjok isi dompet mereka, maka para anggota DPR ini pun dengan semangat 45 meresponnya (lupa dengan nasib ribuan rakyat miskin yang terlantar gara-gara Lapindo de el el).

Ada anggota yang mau-malu menolak wacana ini dengan berkilah, “Jika hak pensiun DPR dicabut, itu tidak fair, cabut juga hak pensiun pejabat negara lainnya…” atau berkata “Hak pensiun seumur hidup anggota DPR sudah diatur UU, jadi ubah dulu UU-nya” (seolah-olah tidak tahu jika yang bisa mengubah UU itu anggota DPR sendiri, sama saja bunuh diri). Ada yang ngomong, “Saya setuju dicabut, asalkan uangnya untuk rakyat!” Dia bicara tanpa menjelaskan maksudnya, lapisan rakyat yang mana.(Bersambung/rizki)