Ketika Indonesia Diperintah Badut (Tamat)

Banyak anggota DPR (dan juga DPRD) kita yang ‘lucu-lucu’ dan ‘norak’. Bisa jadi karena mereka mantan pengangguran, atau dulu tidak pernah punya pekerjaan tetap, tidak memiliki keterampilan, tapi jadi aktivis parpol, jadinya ya begitu. “Jadi anggota DPR sudah menjadi mata pencaharian, ” demikian Syafii Ma’arif pernah berkata.

Jika di Amerika dan banyak negara Eropa orang harus kaya dulu, dan cerdas, baru jadi anggota parlemen, maka di Indonesia, jadi anggota parlemen dulu baru jadi kaya. Sudah bukan rahasia umum, sebelum jadi anggota DPR (atau DPRD), jangankan mobil, rumah pun masih kontrak, tetapi setelah jadi “anggota dewan yang terhormat”, mereka bisa ke mana-mana bersama keluarga dengan mobil (dinas) dan juga membangun rumah sendiri (pakai uang anggaran yang dikorup).

Selain anggota DPR (dan DPRD), yang tidak kalah konyol adalah para pejabat tinggi negara lainnya. Ada kakek-kakek yang tidak mau pensiun dari jabatannya di satu lembaga hukum tertinggi di negeri ini (sebab itu disebut sebagai …. Agung), dan dia memperpanjang masa jabatannya sendiri.

Ada anggota penyelenggara pemilu yang sudah masuk penjara tapi bisa kembali lagi ke institusinya. Ada menteri yang pekerjaannya sangat buruk sehingga menghilangkan ratusan nyawa rakyat ini tapi masih saja menjabat (di Jepang menteri yang seperti ini sudah mundur atau bahkan melakukan Harakiri).

Dan yang lucu (dan menyebalkan) lagi adalah dua penguasa tertinggi kita. Yang satu, walau berbadan besar, jenderal pula, tapi nyalinya sangat kecil sehingga harus sangat amat repot mengerahkan seluruh kekuatan militer dan polisi demi menjaga keamanan Kaisar Bush di Bogor beberapa waktu lalu.

Yang di sampingnya, seorang pengusaha berkumis tipis yang suka ngomong seenak perutnya. Yang terbaru, pimpinan sebuah partai Orde Baru yang harusnya sudah menjadi partai terlarang dan dibubarkan ini karena telah menjerumuskan bangsa dan negara ini ke dalam jurang kebinasaan selama 32 tahun (ingat nasib Partai NAZI, Partai Fasis Itali, atau pun PKI?), berkomentar soal sulitnya warga membeli gas karena tidak punya uang (kalau minah atau minyak tanah kan bisa diketeng, seliter atau dua liter saja, sedangkan gas tidak).

Dalam sebuah acara di Jakarta (28/8), orang ini mengomentari kesulitan warga tersebut, “Tidak ada alasan tidak punya uang. Karena awalnmya sudah dikasih gratis 3 kilo yang sudah ketengan. Itu awalnya tabung 12 kilogram, ” ujarnya. Menurutnya, dengan adanya tabung 3 kilogram, maka warga bisa menabung. “Sebenarnya yang perlu diubah itu sistem hidupnya saja. Itu sudah dipikirkan, ” tukasnya. Badut yang satu ini juga mengatakan jika bangsa ini memang sudah salah sejak zaman dulu.

Edan beneerr! Orang ini seenaknya menyalahkan rakyat yang memang tidak punya uang. Andai saja dia bisa merasakan denyut kehidupan rakyat Indonesia yang serasa telah hidup di neraka selama puluhan tahun ini, sudah kerja keras memeras keringat dan bahkan darah tapi hidupnya terus menderita tanpa perubahan, andai dia punya sedikit saja empati, pasti dia akan bisa menahan mulutnya berkata demikian.

Orang ini harus tahu dan benar-benar paham bahwa rakyat sudah terlalu lama menderita. Jangankan untuk menabung, untuk bisa makan hari ini saja sangat sulit, bahkan banyak para orangtua di republik ini yang harus berpuasa makan hanya agar anak-anaknya bisa makan. Bahkan di Jatiasih-Pondok Gede beberapa hari lalu ada seorang ibu—pengemis—yang pingsan di jalan gara-gara belum makan setelah berjalan puluhan kilometer. Pengemis itu sengaja tidak makan dan memberi jatah makannya kepada sang anak, bocah perempuan berusia empat tahun, agar bisa menemaninya jalan.

Andai saja pengusaha-pejabat ini mau melakukan incognito (kunjungan diam-diam dan tidak sebagai pejabat negara, seperti yang sering dilakukan Khalifah Umar bin Khattab), maka dia pasti tahu bahwa rakyatnya terlalu banyak menderita. Banyak yang mati gantung diri malah.

Inilah republik badut. Di mana rakyatnya dianggap sebagai komoditas bagi segelintir orang yang punya nafsu besar untuk berkuasa dan mengeruk kekayaan dari jabatannya. Lima tahun sekali, jika lagi perlu, maka rakyat dibuai oleh janji-janji kosong untuk mencoblos gambar ini dan itu, namun setelah itu rakyat dilupakan, bahkan sering diinjak-injak. Inilah realita yang ada.

Mudah-mudahan hal ini tidak menimpa partai-partai Islam. Karena dalam Islam, jika ada seorang Muslim yang diserahi amanah besar, maka segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Mudah-mudahan orang-orang yang duduk di partai Islam tidak ada yang jadi badut, yang meributkan fasilitas ini dan itu sementara umatnya dibiarkan susah. Mudah-mudahan orang-orang yang duduk di partai-partai Islam bisa sungguh-sungguh menghidupi Islam, bukan sebaliknya: Hidup dari Islam (baca: hidup dari berdagang Islam dan umat-Nya). Semoga.(Rizki)