Kisah Tentang Resolusi Jihad Umat Islam, 22 Oktober 1945 (Bag.1)

Rlaskar_Rakyat-01b1Eramuslim.com – Hari ini, tepat 70 tahun silam, para santri, kiai, dan ulama Surabaya dan Madura berkumpul di Surabaya, di rumah Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary. Hari ini, 70 tahun silam, di rumah itu dicanangkan sebuah keputusan jika jihad fi sabilillah adalah jalan satu-satunya bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru berusia dua bulan lebih lima hari. Keputusan ini kelak dikenang dalam sejarah sebagai Resolusi Jihad NU, yang meletuskan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 di mana laskar Indonesia berhasil memporak-porandakan pasukan pemenang Perang Dunia II yang begitu angkuh dan sombong.

Resolusi Jihad NU merupakan satu tonggak dari mata rantai perjuangan panjang umat Islam Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Inilah sebagian kecil cuplikan kejadiannya:

Laman Kompasiana (25/6/2015) menurunkan satu artikel sejarah berjudul “Rahasia di Balik Perang Surabaya”, ditulis oleh Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, yang disebut sebagai Direktur Pemberitaan Kluget.com. Artikelnya dibuka dengan kalimat: “Perang Surabaya November 1945, bisa dikatakan merupakan pertemuan antara : Keberanian rakyat Indonesia, kegagalan Intel Inggris, cerobohnya Belanda dan naifnya pemimpin Republik di Jakarta dalam memahami keadaan.”

Perang ini amat massif sifatnya dan merupakan perang pertama di dunia setelah Hitler dikalahkan pada Mei 1945. Perang ini juga merupakan sebuah kejutan besar bagi Inggris dan menjadi inspirasi bagi negara Asia lainnya untuk mengobarkan perlawanan anti kolonial. Bisa dikatakan “Perang Surabaya adalah titik balik terpenting bagi negara-negara jajahan di Asia untuk memulai revolusinya”.

Di tahun 1942, ketika Jepang berhasil menginvasi Jawa dan mendaratkan banyak pasukan di Pulau paling kaya di Asia, pasukan Belanda mundur ke belakang. Beberapa pasukan Belanda di garis terdepan ditangkap dan diinternir, namun para penggede militer Belanda terutama bagian intelnya berhasil mengungsi ke tepi-tepi pantai atau di bandara kecil kota diterbangkan ke Australia dengan terburu-buru. Disana para penggede militer Belanda terus menjalin hubungan dengan Inggris, dan memeloti setiap berita yang masuk tentang Hindia Belanda.

Dikabarkan pula Belanda telah menanam ribuan senjata ringan dan beberapa senjata berat yang siap digunakan sebagai perlawanan bawah tanah terhadap Jepang bila kemudian hari Jepang sudah melemah daya tempurnya,  maka pasukan bawah tanah bersenjata siap mengepung Jepang. Sampai detik ini belum bisa dibuktikan adanya penemuan senjata-senjata baru, tapi dari banyak kesaksian di masa perang Revolusi 1945 banyak dari pasukan laskar bersenjata memiliki alat persenjataan yang amat baik dan bukan peninggalan Jepang.

Sementara di Eropa, Churchill dan Franklin Delano Roosevelt terus melakukan koordinasi, mereka berdua memanfaatkan Stalin untuk menghadapi Hitler di front timur dan juga memutuskan sebuah persetujuan baru untuk bersiap bila sekutu kalah oleh Hitler di Eropa maka pertempuran akan dilanjutkan di Asia. Churchill dan Roosevelt pun menuliskan perjanjian Atlantic Charter 1940 yang isinya antara lain : “Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri” isi perjanjian ini jika dilihat kemudian waktu adalah hanya sebagai bom waktu agar bangsa Asia bisa dimanfaatkan oleh Inggris dan Amerika Serikat dalam melawan Hitler.

Bukti bahwa Inggris-Amerika akan menjadikan semua dunia adalah wilayah jajahan mereka terjadi tahun 1945, dalam perjanjian Yalta, Inggris-Amerika Serikat dan Sovjet Uni sepakat bahwa geopolitik akan dibelah menjadi blok barat dan blok timur. Setelah Stalin tertawa-tawa menandatangani perjanjian ini di depan Roosevelt dan Churchill, lalu Roosevelt dan Churchill bertemu di ruangan lain dan membicarakan tentang nasib jajahan Asia.

Churchill bersikeras, “Biarlah jajahan di Asia akan tetap seperti masa sebelum Jepang mengobrak-abrik Asia” ini artinya : Inggris, Perancis dan Belanda akan menerima keuntungan besar. Roosevelt diam saja karena mau-nya Churchill ini jelas merugikan Amerika Serikat. Roosevelt melihat keadaan dan kemudian pelan-pelan menarik diri dari agresifitas Inggris di Asia. Bagi Roosevelt belum waktunya Amerika masuk ke Asia, sebuah wilayah yang belum begitu dikenalnya kecuali Filipina.

Ketika kemenangan sekutu mulai terasa di Asia, setelah MacArthur secara lompat kodok berhasil satu persatu mencaplok pulau-pulau di Asia, berawal dari kemenangannya menguasai pulau-pulau kecil di Pasifik selatan, kemudian menguasai Biak dan membunuhi ribuan serdadu Jepang. Lalu menerbangkan pesawat-pesawatnya ke Filipina, disana MacArthur memenuhi janjinya kepada rakyat Filipina “I shall return”. Sampai pada titik ini, MacArthur dan Amerika Serikat masih bercitra menjadi pembebas negeri, apalagi di Asia, Jepang amat kalap demi kemenangan perang ia memperbudak penduduk negeri-negeri jajahan.

Namun dibalik kemenangan MacArthur ini, Belanda dengan licik memanfaatkan Amerika Serikat, seperti kebiasaan orang Belanda yang selalu ambil manfaat sebanyak-banyaknya dan berjuang sekecil-kecilnya, maka Belanda mulai mendompleng kemenangan MacArthur demi menguasai kepulauan paling kaya di dunia : Hindia Belanda.

Pada tahun 1943, ketika Filipina sudah dikuasai MacArthur, Belanda langsung menerbangkan Van Mook dari Australia untuk ikut menandatangani perjanjian di Tacloban, Filipina tentang wilayah perang. Saat itu wilayah perang dibagi dua : Wilayah Tenggara (South East) dan South West (Pasifik Barat Daya) kebanyakan wilayah Indonesia masuk ke dalam South West. Baik wilayah perang Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya semuanya dibawah komando MacArthur sebagai Supreme Commander.

Setelah Jepang menyerah kalah, dengan gentleman Amerika Serikat menyerahkan wilayah perang itu kepada Inggris. Inggris saat itu menunjuk Lord Louis Mountbatten, Raja Muda India untuk menjadi penguasa di Asia eks jajahan Jepang. Mountbatten sendiri berkedudukan di Saigon.

Van Mook, Van Der Plas dan Spoor adalah tiga serangkai dari Belanda yang paling banyak melobi pihak Inggris untuk mengembalikan Hindia Belanda ke tangan Belanda. Van Der Plas menganggap remeh situasi di Hindia Belanda. Inilah kesalahan terpenting intel-intel Belanda di Indonesia yang masih melihat pergerakan pemuda di Jawa atau Sumatera adalah pergerakan anak bawang. Karena sikap meremehkan Van Der Plas ini membuat Van Mook bersama Spoor hanya merekrut 5.000 serdadu Belanda dari Suriname dan Curicao untuk disiapkan mengamankan kedatangan mereka di Jawa.

Saat sarapan pagi di markasnya Australia, Van Mook kaget mendengar berita Proklamasi dari Jakarta. Van Mook mulai memiliki insting akan menghadapi situasi berat, tapi ketika Van Mook menyampaikan ini ke Van Der Plas, Van Der Plas hanya tersenyum kecil dan berkata singkat “Apa bisa sekelompok manusia penakut melawan Brigade tempur veteran perang dunia?”

Van Der Plas ternyata salah besar. Sekelompok orang yang dianggapnya pengecut ternyata sudah berubah. Van Mook mati-matian mempertahankan pendapat bahwa Belanda harus mengirimkan banyak pasukan. Van Der Plas menolak, karena dengan mengirimkan banyak pasukan akan membuat kecurigaan Inggris tentang begitu menggebunya Belanda mencaplok Hindia Belanda “Santai saja jangan membuat Inggris atau Amerika memperhatikan kita”.

Gagal meyakinkan Van Der Plas, akhirnya Van Mook menghubungi jaringannya di London agar segera melobi Perdana Menteri Inggris. Utusan Van Mook mengejar PM Inggris ke Downing Street, tapi ternyata Churchill sedang beristirahat di Chequers, pinggiran kota London. Di sini diadakan pertemuan dadakan. Churchill akhirnya menyarankan agar dibentuk sebuah tentara pengambil alihan sipil, pihak Belanda setuju. Dibentuklah  NICA (Nederlaands India Civil Affair), ini akan jadi semacam pengawal pemerintahan peralihan untuk kemudian menegakkan kekuasaan Belanda di Inggris, dalam nota Chequers yang tertanggal 24 Agustus 1945 ini pula termuat komitmen Inggris untuk siap membantu apabila NICA mengalami kesulitan dalam menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia.

Nota Chequers ini amat rahasia, bahkan Van Mook sendiri sampai beberapa saat merahasiakannya di depan teman-temannya, karena apabila ini bocor maka pendaratan Inggris sebagai pasukan pembuka akan gagal. Inggris kemudian membentuk RAPWI, sebuah organ pembebasan tawanan perang sekutu oleh Jepang dan pasukan Inggris mendarat di Jawa atas nama AFNEI. Barulah beberapa hari kemudian setelah berpikir panjang Van Mook menunjukkan surat nota Chequers ke Van Der Plas, sambil marah-marah Van der Plas bilang ke Van Mook, kenapa tidak langsung diberikan kepada dirinya info itu, karena Van Der Plas bisa tahu posisi Inggris saat ini. Van Der Plas langsung memutuskan untuk membawa Van Mook ke Kandy, Srilanka, untuk menemui Lord Louis Mountbatten.

Disini kemudian Van Mook dan Van Der Plas ditemui di teras belakang dengan santai di rumah dinas Mountbatten. “Kita akan melanjutkan hasil pertemuan di Yalta 1945 dan melanjutkan keputusan tuan Perdana Menteri tentang ini” kata Van Mook sambil menyerahkan surat nota Chequers kepada Mountbatten. Raja Muda India itu membaca dengan seksama surat itu, lalu mengonfirmasi dengan ajudannya atas keabsahan surat itu lewat jalur rahasia, setengah jam kemudian ada pesan dari London bahwa surat itu absah. Tanpa pikir panjang Mountbatten berkata “Akan saya perintah ke seluruh divisi pasukan saya untuk membantu pasukan Belanda. Tapi ini jangan terlalu berlebihan biarlah Inggris membereskan seluruh persoalan sipil dengan baik.”

“Kami tak ingin kedahuluan Komunis” kata Van Mook menakut-nakuti Inggris. Mountbatten tersenyum “Saya tau watak Stalin, ia sudah terikat dengan perjanjian Yalta 1945. Stalin tidak akan masuk ke wilayah yang dikuasai sekutu, asal kita jangan pancing dia”. Mountbatten langsung melanjutkan “Saya punya intelijen disana namanya Kolonel Van Der Post, biarlah dia jadi perwira penghubung nanti kita akan terima banyak laporan dari dia”.

Van Mook setuju, begitu juga dengan Van Der Plas mereka bersalaman dengan Mountbatten lalu balik ke Australia dan menyiapkan pasukan serta para perwira stafnya.

Di Australia pemimpin pasukan diputuskan perwira KNIL orang Jawa bernama Abdulkadir Wijoyoatmodjo dan Mayor KNIL Santoso. Abdulkadir dan Santoso, dua orang Jawa yang dalam kacamata perjuangan kemerdekaan bisa dianggap sebagai pengkhianat bangsanya ini,  diperintahkan Van Mook untuk ke Djakarta untuk mengadakan pengembangan kontak-kontak jaringan dengan eks perwira KNIL yang masih memiliki pasukan. Abdulkadir dan Santoso langsung berangkat ke Jakarta dan menemui beberapa perwira KNIL di Jakarta untuk bersiap melakukan perang menghadapi pihak Republik Indonesia apabila pasukan NICA nanti mendarat dan menerima perlawanan.

Setelah Abdulkadir bertemu dengan pasukannya, lalu Van Mook dan Van Der Plas datang ke Jakarta disana ia berjumpa dengan Kolonel Van Der Post, kontak terpenting Van Der Post dengan banyak pemimpin-pemimpin baru Republik. Van Mook agak tidak suka dengan Van Der Post yang secara eksplisit mendukung kemerdekaan Indonesia. Van Der Post sempat menertawai Belanda ketika pasukan Belanda akan datang kembali. “Kamu akan berhadapan dengan banyak orang nekat” kata Van Der Post di satu sore depan stadion Vios, Menteng.

Karena sudah memegang Nota Chequers itu Van Mook amat yakin bisa menguasai kembali Republik.

Sementara di Djakarta sendiri, kedatangan sekutu disambut baik. Sukarno amat takut apabila dirinya akan ditangkap Sekutu karena tuduhan kolaborator Nippon, sementara Hatta dan Sjahrir sudah berhitung untuk menghindari perang terhadap sekutu. Kelemahan Sukarno yang kadang-kadang menyebalkan adalah “Ia tidak memperhitungkan dan tidak yakin dengan kekuatan bangsanya sendiri” padahal seluruh bangsa ini mau merdeka secara sukarela karena mereka melihat figur Sukarno.

Hatta dan Sjahrir amat bergantung dengan figur Sukarno. Sementara kekuatan lain belum bermunculan, Tan Malaka masih bersembunyi di rumah Achmad Subardjo dan masih bingung harus kontak siapa lagi yang bisa dipercaya, karena Sukarni menghilang setelah Tan Malaka bertemu dengan Sukarni di rumahnya. Sukarni, Maruto Nitimihardjo, Chaerul Saleh, dan banyak tokoh pemuda berkali-kali meyakinkan Sukarno akan perang total dengan sekutu. Sukarno marah-marah karena perbuatan amat gila berperang dengan pasukan sekutu.

Para pemuda tidak tahu akan nota Chequers 24 Agustus 1945, tapi para pemuda liwat insting politiknya yakin Belanda bermain di belakang sekutu, kejadian ini seperti 120 tahun yang lampau saat pasukan Inggris menyerahkan Jawa ke tangan Belanda setelah kekalahan Napoleon.

Sukarno, Hatta dan Sjahrir tidak mau berspekulasi dan memutuskan untuk menganut garis “menghindarkan perang dan menyelamatkan nyawa orang banyak dari peperangan”.

Lalu sekutu datang ke Tanjung Priok. Kedatangan sekutu disana mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang Priok termasuk Hadji Tjitra (mertuanya Lagoa, jagoan Priok) dan Hadji Tjitra melaporkan kedatangan sekutu yang bersenjata lengkap juga beberapa orang berbicara bahasa Belanda kepada pemimpin pemuda Maruto Nitimihardjo. Kedatangan orang Belanda ini menjadi alasan bagi Pemuda untuk menembaki sekutu di Jalan-Jalan Djakarta, lalu Sukarno marah-marah dan membentak Maruto juga Pandu Kartawiguna “Hentikan Perang, Tolol!!”…………

Maruto marah begitu juga dengan Pandu. Tapi di tempat lain sudah mulai muncul tokoh baru Tan Malaka, yang ternyata mereka kenal sebagai Ilyas Hussein seorang utusan pemuda dari Bayah, Banten.

Di Tanjung Mas, Surabaya Pasukan sekutu mendarat dan membebaskan banyak interniran perang Belanda. Banyak eks orang kaya Belanda langsung lupa diri, mereka kemudian berpesta. Di Hotel Yamato, para orang kaya Belanda menyiapkan pesta untuk mengganti nama Hotel Yamato ke nama semula yaitu : Hotel Oranje. Proses penggantian nama ini kemudian diikuti oleh pengerekan Bendera Belanda di atas hotal Yamato. Perintah pengerekan ini dilakukan oleh Ploegman salah seorang advokat Surabaya di jaman sebelum Jepang. Pengibaran itu dilakukan jam 9 malam pada tanggal 19 September 1945. (rd/bersambung)