Komunis Gaya Baru atau Kapitalis “Gaya” Baru? #Sami Mawon

Dengan maksud, agar pasar perdagangan ditentukan oleh prinsip-prinsip kebebasan. Artinya, siapa kuat modal maka dialah pemenangnya. Sebab sejak awal hadirnya, mereka udah punya modal duluan, maka dia mendorong berlakunya pasar bebas.

Mereka memandang prinsip kebebasan (liberalisme) harus dikawal oleh negara. Karenanya mereka mengusahakan berdirinya sistem demokrasi diatas negeri-negeri yang di hadirinya. Sedangkan orang-orang Sosialis memandang sumber kemakmuran itu adalah harta kekayaan.

Namun kenyataannya mereka mendapati kekayaan tersebut selalu di kuasai oleh para “Baron” pemilik kapital. Maka untuk mengusahakan kemakmuran, orang sosialis memandang perlu merebutnya dari tangan pemilik modal.

Diawal gerakannya tahun 1880-an, kaum sosialis memandang cara merebutnya dengan jalan revolusioner ala Komunisme. Namun cara ini banyak menemui kegagalan bukan hanya di negeri ini, tapi hampir di seluruh dunia.

Belajar dari kegagalan tersebut, maka memasuki era tahun 1970-an prinsip revolusi ala Komunis ini mulai banyak ditinggalkan. Lambat lain cara-cara ala revolusi Komunis dianggap basi. Terlebih pasca runtuhnya Uni Soviet, para penggagas Sosialis mulai memperjuangkan gerakannya dengan cara berfusi kedalam partai politik.

Artinya, mereka tak lagi memperjuangkan melalui cara-cara revolusioner, melainkan melalui mekanisme kepartaian untuk meraih dukungan suara mayoritas dengan basis rakyat kecil.

Keberhasilan Xin Jiping dengan dukungan Partai PKC-nya me-amandemen sejumlah pasal di dalam Negerinya, menandai era keberhasilan kaum Sosialis gaya baru dalam memperjuangkan misinya. Keberhasilan Xin Jiping ini membawa angin segar bagi para pejuang Sosialis agar dapat menduduki tahta suci yang selama ini hanya dikuasai oleh para pemilik modal.

Mereka memandang kekayaan yang selama ini dikuasai oleh para konglomerat yang telah sekian lama duduk di kursi basah harus digeser, kemudian diganti oleh orang-orang baru dari non pemilik modal. Sebab orang-orang lama telah menjadi raja-raja kecil di lokasi basah yang turun-temurun.

Namun apakah nantinya orang-orang baru ini akan menjalankan amanahnya? Ataukah justru akan menjadi calon-calon raja baru di lokasi yang baru?

Sedangkan sistem ekonomi yang dikelolanya tak jauh beda dengan pola yang lama. Sistem ekonomi yang dipakainya tetap saja memakai sistem Kapitalisme. Hanya orang-orangnya saja yang baru.

Simpelnya adalah calon Kapitalis baru dengan ‘gaya’. Gaya baru yang meminimalisir prinsip kebebasan. Sebab selama prinsip kebebasan itu leluasa, maka artinya memberi peluang kembali kepada para pemilik modal naik tahta kembali. Maka tak heran bila gaya sosialis adalah anti kritik dan mengurangi prinsip kebebasan. Sebab bagi mereka membuka peluang kebebasan pasar itu akan mempersempit ruang orang kecil yang tak memiliki modal.

Kesimpulannya, baik sistem Kapitalis maupun sistem Sosialis keduanya adalah produk Belanda yang ternyata hingga hari ini masih banyak diperjuangkan oleh anak-anak negeri ini.

Lalu siapa yang diuntungkan dari kedua sistem ini? Tentunya VOC Gaya Baru yang meraup untung besar dari sistem ini, sebab sistem Kapitalisme itu sendiri sejak awalnya dibuat atas lisensi mereka.

Mereka sih tak peduli siapapun yang duduk di kursi itu, selama sistem Kapitalis masih digunakan, selama itu pula pundi-pundi VOC “gaya baru” terus mengalir ke kantongnya, eh ke kantornya.

Wassalam.. (end/GRI)

Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)