Kotak Pandora Bernama BLBI (3)

Atas permintaan IMF, pemerintah Suharto menyelamatkan kroni-kroninya, para taipan pemilik bank swasta yang kolaps di tahun 1997, dengan menggunakan uang rakyat yang dihimpun di dalam APBN. UUD 45 Pasal 33 yang secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam beserta isinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, oleh Suharto malah digunakan untuk mempertahankan kesejahteraan para konglomerat yang tengah diambang kebangkrutan dan kroni-kroninya. Semua kewajiban para konglomerat yang harus membayar utang terhadap kreditor dan para nasabahnya, oleh Suharto, diambil-alih pemerintah dengan memakai uang negara yang harusnya disalurkan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Bukannya berterima kasih, para konglomerat ini malah banyak yang kabur ke luar negeri, terutama Singapura, dengan membawa triliunan rupiah uang rakyat yang diberikan Suharto kepadanya. Suharto sendiri sudah tumbang. Namun aneh bin nyata, para pengganti Suharto—Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono—tidak ada yang berani dan serius mengusut kasus ini.

Kenyataan itulah yang membuat banyak orang yakin jika kasus BLBI bukanlah kasus kriminal biasa, namun kasus kriminal yang sangat kompleks menyangkut kolusi antara pengusaha dan pejabat pemerintahan. Diyakini ada puluhan bahkan ratusan pengusaha dan pejabat pemerintah yang terlibat. Sebab itulah, sampai sekarang tidak ada penguasa di negeri ini yang berani membuka kasus ini dengan bersungguh-sungguh karena bisa jadi dirinya, anggota keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang di sekelilingnya selama ini akan terjerat hukum dan masuk penjara. BLBI bagaikan kotak pandora, yang jika dibuka dengan benar maka akan tampak siapa saja yang perampok, preman, dan para sekutunya.

“Siapa yang harus bertanggungjawab?” demikian judul salah satu esai Marwan Batubara di dalam buku “Skandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara” (2008). Dalam esai tersebut Marwan secara detil dan lugas menyebut satu-persatu orang yang harus diminta pertanggungjawabannya di muka hukum karena terlibat dalam kasus mega-kriminal bernama BLBI, sebuah kasus yang menghancurkan bangsa besar ini. Siapa saja mereka?

Pertama, tentu saja para obligor BLBI, para konglomerat perampok tersebut yang nama-namanya tidak perlu lagi dipaparkan di sini karena sudah begitu terang dan jelas.

Kedua, selain para obligor BLBI, Presiden Suharto, sejumlah menteri ekonomi dan Direksi Bank Indonesia yang terlibat dalam pengucuran BLBI juga harus bertanggungjawab. Demikian pula para pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bekerja secara tidak profesional dan menguntungkan para kriminal BLBI.

Ketiga, jika Suharto adalah presiden yang mengucurkan BLBI, maka Megawati merupakan presiden yang mengeluarkan kebijakan sangat kontroversial dan menyakiti rasa keadilan rakyat terkait penyelesaian kasus BLBI, dengan mengeluarkan kebijakan Release and Dischard (R&D). Kebijakan Megawati ini mengakibatkan terhentinya proses penyidikan terhadap sedikitnya 10 tersangka koruptor BLBI pada tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung.

“Pembebasan para obligor pelaku pidana ini oleh Presiden Megawati melalui Inpres No.8/2002 merupakan perbuatan melawan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.. Megawati harus bertanggungjawab atas kebijakan yang telah dibuatnya tersebut!” tegas Marwan. Selain Megawati, para menteri di kabinetnya yang terkait bidang ekonomi juga harus bertanggungjawab.

Ketiga, adalah International Monetery Fund alias IMF. Hal ini sudah jelas dan menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah kita masih saja tunduk pada institusi dunia yang jahat ini dan mengapa sampai detik ini kacung-kacung IMF berwajah melayu masih saja dipercaya untuk mengurus perekonomian negara ini, padahal mereka telah sukses menghancurkan negara dan bangsa ini sekarang.

Walau Marwan hanya menyebut dua presiden, yakni Suharto dan Megawati, yang harus bertanggungjawab terhadap kejahatan BLBI, namun sesungguhnya semua presiden harus bertanggungjawab karena masing-masing dari mereka mempunyai andil besar dalam memperparah perekonomian dan pembiaran mega-skandal kasus ini.  Dan jangan lupa, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkait bidang ekonomi sejak zaman Suharto sampai sekarang juga harus dimintai pertanggungjawabannya karena membiarkan bahkan ikut menghalangi diusutnya kasus BLBI secara tuntas. Padahal, kejahatan para obligor BLBI ini telah merugikan bangsa dan negara ini sebesar Rp. 630 triliun yang terdiri dari kasus BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun, tambahan BLBI Rp. 14,47 triliun, program penjaminan Rp. 39,3 triliun, dan obligasi negara Rp. 431,6 triliun (Marwan Batubara dkk; Sandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara; 2008).

Dalam tulisan keempat akan dipaparkan sumbangsing mantan presiden lainnya yang ikut-ikutan mempurukkan bangsa ini ke lembah kehancuran terkait kasus BLBI dan dunia perbankan di negeri ini.(bersambung/rd)