Laporan: Islamisasi di Papua Semakin Mengkhawatirkan

Sementara itu, tokoh perempuan Papua, penerima penghargaan Yap Thiam Hien 1999 dan penerima Anugerah Goldman (Goldman Environmental Prize) 2001, Mama Yosepa Alomang, dalam laporan yang diserahkan kepada Kardinal Papua Nugini, John Ribat MSC dan Kardinal Tonga, Saone Patita Paini Mafi, pada 17 April lalu di Port Moresby, mengungkapkan kekhawatiran yang sama.

Dalam laporan yang diberikan sehari setelah pertemuan Federasi Konferensi Waligereja Pasifik atau The Federation of Catholic Bishop Conference of Oceania (FCBCO) dikatakan bahwa disamping pelanggaran HAM, diskriminasi dan peminggirian Orang Asli Papua (OAP), Islamisasi di Papua dipandang semakin mencemaskan dan dapat memperparah eksistensi rumpun Melanesia di Papua.

Mama Yosepa bersama Kardinal Keuskupan Agung Papua Nugini, Kardinal John Ribat, didampingi oleh intelektual muda Papua, Markus Haluk (paling kanan) (Foto:Ist)

“Dalam 17 Tahun (2001-2018) terakhir ini terjadi marjinalisasi dan diskriminasi yang sistematis, masif dan terstruktur pada penduduk asli Papua (mayoritas Kristen). Migrasi setiap saat terus membanjiri Papua,” demikian surat Mama Yosepa Alomang sebagai pengantar bagi laporan yang diberi judul Humanity Disaster on Melanesia in West Papua, Between Reality and Hope, (Overview of Melanesian Catholic Life In West Papua). Laporan ini disusun bersama intelektual muda Papua, Markus Haluk.

Mengutip data Kementerian Agama, dikatakan penduduk di Papua hingga 2016, berjumlah 5.524.033 jiwa. Dilihat dari persentase penduduk migran Indonesia di Papua saat ini mencapai 55% dan orang Papua 45%. Fakta ini, menurut Mama Yosepa, merupakan lonceng kematian bagi orang Melanesia di Papua.

“Dilihat dari penyebaran orang Kristen, dari waktu ke waktu kualitas layanan pengembangan iman terus menurun. Sebaliknya, penyebaran umat Islam terus meningkat secara signifikan. Saat ini jumlah Muslim di Papua Barat adalah 1.029.785 sementara Kristen (Kristen Protestan dan Katolik) 4.476.266 jiwa sementara agama Hindu, Budha dan Konghucu lainnya adalah 17.962 jiwa,” demikian isi surat Mama Yosepa Alomang.

Dikatakan, orang Papua melihat program transmigrasi di masa lalu, yang mengalirkan migrasi ke Papua, sebagai proyek Islamisasi Papua.

Di bagian lain di Indonesia, demikian laporan itu, orang Kristen (Katolik) yang ingin membangun gereja mengalami berbagai tantangan, penolakan tetapi fakta-fakta hari ini di Papua berbeda. Meskipun 90% orang Papua adalah Kristen dan Katolik, pembangunan masjid di kota-kota hingga pinggiran, terutama daerah transmigrasi dibangun bebas tanpa hambatan dan protes oleh warga termasuk pemerintah setempat.

Dikatakan pula bahwa peserta migrasi spontan saat ini di Papua dapat dipastikan hampir semua merupakan Muslim. Dari kenyataan itu, demikian Mama Yosepa dalam laporannya, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2050 penduduk asli Papua yang beragama Kristen dan Katolik akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.

Atas kenyataan mengkhawatirkan ini, Mama Yosepa Alomang meminta para uskup di Tanah Papua untuk mengambil langkah konkret untuk mencegah laju peningkatan populasi imigran non-Katolik dan upaya Islamisasi yang akan berlanjut,seperti yang terjadi di Distrik Keerom, Wamena, Asmat dan sekitar wilayah Kamoro.