Membaca Jaring Nine Dash di Laut Cina

Eramuslim.com – Dalam geopolitik, negara itu diibaratkan organisme (politik) yang lahir, hidup, menyusut dan mati. Sebagai contoh Uni Soviet dahulu, ia merupakan adidaya pada masanya selevel Amerika, Inggris dan lain-lain tetapi kini bubar dan mati. Atau Sriwijaya, misalnya, kemudian Majapahit dan seterusnya mereka adidaya di masanya, kini sirna menjadi sejarah masa lalu. Itu contoh atas diksi “organisme” pada konteks geopolitik.

Inti geopolitik adalah ruang (hidup), atau lebensraum, atau living space. Ajaran ini beranjak dari pemikiran, bahwa manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup. Penjelasan teori ini, poin pokoknya bagaimana para bangsa di dunia mencoba tumbuh dan berkembang dalam upaya mempertahankan kehidupan agar tidak punah.

Geopolitik mengajarkan, bahwa batas-batas ruang hidup tidak tetap, dalam arti ia mengikuti kebutuhan bangsa yang memiliki ruang hidup. Bisa jadi, suatu saat ruangnya mengecil sebagaimana lepasnya Timor Timur, Sipadan Ligitan, dan seterusnya. Pun bisa bertambah karena aneksasi, akuisisi dan lain-lain.

Sebagai organisme politik, menurut Frederich Ratzel (1844-1904) bahwa hanya bangsa unggul yang dapat bertahan hidup dan langgeng, serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi. Adapun konsep penguasaan (dan perluasan) ruang sebagai konsekuensi hukum ekspansi, dapat dilakukan melalui penggunaan kekuatan (power concept) baik power militer maupun power nonmiliter seperti ekonomi, politik, dan sosial. Itulah sepintas inti geopolitik dari dimensi (teori) ruang atau lebensraum. Sebenarnya masih ada dimensi lain dalam geopolitik, seperti dimensi frontier misalnya, atau dimensi politik kekuatan, ataupun dimensi keamanan negara dan bangsa dan seterosnya, tetapi dalam tulisan ini, dimensi yang lain tidak dibahas kecuali sekilas untuk menyambung narasi.