Membongkar Industri Ketakutan di Balik Pandemi Covid-19

Pada 6 Februari 2021 telah tercatat 106,132,300 kasus di 219 negara, sejak organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 menyatakan wabah virus corona baru (COVID-19) sebagai pandemi global. Kala itu, direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, mencatat bahwa dalam kurun waktu selama 2 minggu terakhir pada bulan Februari 2020, jumlah kasus di luar China telah meningkat 13 kali lipat dan jumlah negara dengan kasus covid-19 meningkat tiga kali lipat.

Figur angka kasus yang terus naik makin menguatkan justifikasi dan legitimasi dari WHO dan badan-badan dunia lain terhadap pandemi Covid-19 sebagai musuh dunia dengan risiko sangat tinggi mengancam umat manusia. Salah satu dampak berantainya tentu menimbulkan kerusakan sistemik ekonomi global dengan runtuhnya rantai pasokan dunia.

Saat ini, issue pembangunan apa saja tidak ada yang tidak bias persoalan pandemi Covid-19. Akhirnya banyak pihak membonceng untuk menitipkan isu dan kepentingannya lewat persoalan Pandemi Covid-19.

Protokol CHS (Cleanliness, Healthy, and Safety) yang kemudian ada penambahan E (sustainable Environment) adalah sebagian strategi memutus mata rantai penularan covid-19, terasa naif tanpa disertai pendidikan kritis terhadap fakta dibalik pandemi.

Apapun bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan politik sekaligus ekonomi untuk bermain dalam tarian penanganan Pandemi Covid-19 ini.

Kompleksitas persoalan penanganan Pandemi Covid-19 semakin hari semakin rumit, karena di dalamnya ada konstruksi kepentingan ekonomi yang sangat kuat berskala global dari sebuah industri imajiner yaitu industri ketakutan.

Pandemi Covid-19 ini akhirnya lebih banyak nuansa persoalan politik ekonominya daripada masalah gangguan kesehatan global yang sebenarnya.

Ada permainan “mafia” dalam industri ketakutan dibalik rumor dan skandal politik kepentingan bisnis pandemi.
Treatment (pengobatan) pasien covid-19 menggunakan komposisi obat yang tidak tepat dan digeneralisir. Infeksi covid-19 bukan disebabkan oleh bakteri tetapi oleh virus. Kondisi pasien tidak semua memiliki risiko ancaman infeksi sekunder yang sama.

Faktor komorbid yang bisa menambah risiko komplikasi Covid-19 pasti tidak sama. Aneh maka jika misalnya obat Azithromycin yang sudah diperingatkan secara keras oleh FDA (Food & Drug Administration) sejak 2014 untuk penggunaannya sebagai obat jenis antibiotik, justru sering digunakan sebagai pengobatan Covid-19.

Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah memperingatkan masyarakat bahwa azitromisin (Zithromax atau Zmax) berisiko menyebabkan perubahan abnormal pada aktivitas listrik jantung yang dapat mengakibatkan irama jantung tidak teratur dan berpotensi fatal.

Pasien dengan risiko tertentu pada kondisi ini diantaranya adalah mereka yang diketahui memiliki faktor risiko seperti kadar kalium atau magnesium dalam darah yang rendah, detak jantung yang lebih lambat dari biasanya, atau penggunaan obat tertentu yang digunakan untuk mengobati irama jantung yang tidak normal, atau aritmia.

Minggu lalu kami berdiskusi dengan drh. Indro Cahyono tentang berbagai persoalan dan alternatif solusinya. Banyak persoalan pandemi ini bisa dikurangi dengan edukasi kritis kepada masyarakat untuk bergerak memperkecil kesalahan pada area Testing, Tracing, dan Treatment.