Menggugat Penunggakan Pembayaran Royalti Tambang Batubara (2)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Dasar Hukum DHPB

Penunggakan pembayaran dana hasil produksi batu bara (DHPB) merupakan tindak pidana, berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagai berikut.

1. Ketentuan tentang Kewajiban Pembayaran DHPB

– Pasal 28 Ayat 1 UU No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum

“Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan.”

– Pasal 3 Ayat 1 Keputusan Presiden No. 75 tahun 1996

“Perusahaan kontraktor swasta wajib menyerahkan sebesar 13,5% (tiga belas dan lima puluh perseratus) hasil produksi batu bara kepada pemerintah secara tunai atas harga pada saat berada di atas kapal (free on board) atau harga setempat (at sale point).”

2. Ketentuan tentang Pertanggungjawaban Pemegang Saham

Pasal 3 Ayat 2 butir b, c, dan d UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:

a. pemegang saham yang bersangkutan langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;

b. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan; atau

c. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan tidak menjadi cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Selain itu, kasus penunggakan pembayaran DHPB oleh 6 perusahaan batu bara di atas telah berlangsung secara berlarut-larut selama 7 tahun. Hal ini menunjukkan pula adanya indikasi tindak pidana sebagaimana dinyatakan oleh ketentuan perundang-undangan.

3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 34, Ayat 1

“Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja, dan kekayaan negara/ daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/ daerah diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.”

4. UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 6 Ayat 1 s.d. 3

1. Menteri dapat menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang.

2. Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyetor langsung Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diterima ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

3. Tidak dipenuhinya kewajiban Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan menyetor sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam bagian penjelasan atas ayat ini, disebutkan:

“Dalam hal ini sanksi dikenakan terhadap pejabat Instansi Pemerintah yang bersangkutan selaku pejabat pelaksana tugas.”

“Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, PP No. 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Kerugian Negara Akibat Penunggakan PDHB

Dana hasil produksi batu bara (DHPB) terdiri dari royalti dan penjualan hasil tambang yang wajib disetorkan perusahaan kepada pemerintah. Menurut Ditjen Kekayaan Negara besarnya DHPB yang ditahan adalah sebesar Rp 7 triliun dari tahun 2001 sampai 2007. Para pengusaha tidak membayar DHPB karena merasa dirugikan akibat dikeluarkannya PP Nomor 144 tahun 2000, yang menyatakan batu bara tidak lagi masuk kategori barang kena pajak pertambahan nilai (PPN).

Seperti diuraikan di atas pemerintah dan pengusaha berbeda sikap yang menyebabkan terjadinya berbagai langkah hukum. Yang jelas akibat tindakan pengusaha tersebut adalah tidak terpenuhinya target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di dalam APBN periode 2001 – 2007. Karena tidak mencapai target di dalam pos PNBP maka pemerintah terpaksa menutup kekurangan belanja negara dari penerbitan surat utang yang mengakibatkan munculnya biaya bunga. Dengan kondisi seperti ini sangat jelas bahwa negara dirugikan akibat penahanan DHPB.

Berdasarkan informasi dari Ditjen Perbendaharaan, besaran dana hasil produksi batu bara 2001-2007, total kewajiban DHPB sekitar Rp 17 triliun. Kemudian yang ditahan kontraktor adalah Rp 7 triliun. Dari Rp 7 triliun ini yang diserahkan kepada PUPN adalah Rp 3,8 triliun. Sisanya masih ada di Departemen ESDM. Penahanan DHPB berimplikasi pada APBN, terutama tak terpenuhinya sisi penerimaan dari hasil penjualan batu bara (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Dana Hasil Produksi Batu bara (DHPB) 2001-2007

Sumber: Ditjen Kekayaan Negara, Departemen Keuangan RI

Kondisi ini membuat pemerintah harus membayar biaya yang menjadi beban APBN. Ini dipenuhi melalui pencarian sumber dana alternatif termasuk mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN). Implikasi lainnya adalah pada citra penerapan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pengusaha batu bara diharapkan dapat segera menyelesaikan kewajibannya.

Pejabat pemerintah dalam hal ini pejabat di Departemen ESDM dan Departemen Keuangan yang tidak melakukan penagihan, memungut, dan menyetor dana DHPB sejak tahun 2001 – 2007 bisa dikenakan sanksi sesuai dengan UU No.20/1997. Di sisi lain, pemerintah perlu segera menyiapkan mekanisme reimbursement PPN yang telah dibayar oleh para kontraktor, sesuai dengan klausul PKP2B yang telah ditandatangani.

Temuan ICW Tentang Adanya Selisih Penerimaan Negara dari DHPB

Berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), pada periode 2001-2007 tunggakan DHPB yang seharusnya dibayarkan bahkan jumlahnya jauh lebih besar dari yang disampaikan Ditjen Kekayaan Negara. Tunggakan tersebut mencapai Rp 14,922 triliun (lihat Lampiran 1).

Oleh sebab itu jika dihitung sejak 1994, maka nilai tunggakan royalty DHPB lebih besar lagi, yaitu Rp 6,262 triliun (tunggakan royalti tahun 1994-200) + Rp 14,922 triliun (tunggakan royalty tahun 2001-2007) = Rp 21,184 triliun. Artinya menurut ICW, potensi tunggakan royalty tahun 1994-2007 mencapai Rp 21,184 triliun. Selisih angka tunggakan DHPB ini didapat dari perhitungan penerimaan negara yang seharusnya diperoleh berdasarkan harga FOB-BI dengan realisasi yang diperoleh sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Lebih lanjut ICW menemukan, jika produksi batu bara menggunakan harga internasional untuk ekspor maka potensi tunggakan royalty tahun 1994-2007 menjadi lebih besar lagi, yakni sejumlah Rp 29,037 triliun. Berdasarkan kesepakatan kontrak, dasar dalam melakukan kontrak adalah itikad baik. Jika salah satu tidak melaksanakan kewajibannya maka dia telah melakukan wanprestasi, karena dia telah merugikan pihak lainnya.

Kita patut menghargai temuan ICW ini, bahwa kewajiban royalty yang diselewengkan tidak sekedar Rp 7 triliun, tetapi jauh lebih besar dari itu. Negara dirugikan puluhan triliun! Temuan ICW ini dapat kita percayai karena praktik-praktik penggelapan pajak tampaknya lumrah terjadi dalam bisnis batu bara. Yang jelas kita mencatat ada sejumlah kontraktor PKP2B melakukan praktik transfer pricing dalam penjualan batu bara. Dalam hal ini PKP2B menjual batu bara kepada subsidiary-nya (dimiliki 100%) di luar negeri, dengan harga jauh lebih murah dibanding harga yang dilaporkan secara resmi kepada pemerintah, dalam rangka mengurangi beban pajak.

Dalam konteks ini, penahanan dana DHPB oleh kontraktor batu bara dapat dinilai sebagai kesengajaan atau wanprestasi dan merupakan indikasi tindak pidana. Sehingga semua pihak yang terlibat dalam penahanan dana DHPB harus bertanggung jawab, baik itu komisaris dan direksi perusahaan tambang batu bara, maupun pejabat pemerintah yang lalai menjalankan tugas sesuai peraturan. Kita menuntut pemerintah, DPR dan seluruh aparat terkait untuk menuntaskan masalah royalti ini, termasuk potensi penggelapan pajak yang ditemukan ICW

Menanti Penyelesaian Permasalahan Penahanan DHPB

Negara harus segera menyelesaikan kasus penahanan DHPB batu bara ini, tentu dilakukan departemen terkait yaitu Departemen ESDM. Menurut anggota Komisi Anggaran DPR, Dradjad Wibowo, negara bisa mengambil tindakan hukum sesuai UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 34, yang memerintahkan setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan wajib mengusahakan agar setiap piutang negara diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.

Menkeu juga bisa dianggap melalaikan UU ini jika tidak melakukan penagihan, apalagi realisasi royalti yang ditahan oleh perusahaan batu bara nilainya mencapai Rp 7 triliun. Kedudukan UU lebih tinggi dari kontrak. Semua kontrak harus dibuat sesuai peraturan perundangan. Penahanan DHPB ini telah menimbulkan kerugian besar bagi negara.

Masalah kerugian negara yang ditimbulkan dari penahanan DHPB ini harus dikaji lagi. Apakah kerugian tersebut melibatkan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 UU No.30/2002 tentang KPK, yaitu penyelenggara negara, kemudian penegak hukum dan pihak lainnya. Juga dalam UU No.20/1997 pada pasal 46 ayat 3, tentang tidak dipenuhinya kewajiban instansi pemerintah untuk menagih atau memungut dan menyetor maka dikenakan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku.

Penjelasan dari pasal 6 ayat 3 ini adalah mengenai sanksi. Dalam hal ini, sanksi dikenakan terhadap pejabat instansi pemerintah yang bersangkutan selaku pejabat pelaksana tugas, pelaksana yang memungut, jadi dalam hal ini adalah Departemen ESDM. Jadi, seharusnya Departemen ESDM tidak membiarkan penunggakan pungutan dari tahun 2001 sampai 2007. Tapi tidak dilakukan pemungutan oleh pejabat yang ada di ESDM.

Hal ini menggambarkan adanya pengabaian UU No.20/1997, dalam pasal 6 ayat 3 itu. Sanksi bisa dijatuhkan pada pejabat instansi pemerintah yang bersangkutan selaku pelaksana tugas yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Antara lain sanksinya adalah PP 30 tahun 1980 tentang disiplin pegawai. Dan juga UU No.3 tahun 1971, yaitu tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jadi apabila pelanggaran penyimpangan berindikasi pada tindak pidana korupsi bisa menyangkut ke UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini berkaitan dengan UU No.20 tahun 1997, dengan penahanan DHPB dari tahun 2001 sampai 2007. Penahanan DHPB berkaitan dengan UU No.31 tahun 1999, jadi tidak lagi UU No.3 tahun 1971.

Hutang DHPB berdampak langsung pada penerimaan negara. Kekurangan penerimaan tersebut pada gilirannya memaksa pemerintah untuk mencari dana pembiayaan tambahan untuk mengurangi/menutup defisit APBN. Pemerintah seyogyanya mengambil tindakan tegas dan bijaksana dalam penyelesaian kewajiban terutang DHPB. Pemerintah dapat segera menindaklanjuti penyelesaian kewajiban terutang DHPB pasca pencekalan terhadap para pengusaha batu bara (Agustus 2008 hingga Januari 2009).

Berdasarkan informasi dari Ditjen Kekayaan Negara, diungkapkan bahwa untuk mengantisipasi kontraktor yang belum menyelesaikan kewajiban terutang DHPB, pemerintah menyiapkan mekanisme reimbursement PPN yang telah dibayar para kontraktor sesuai klausul dalam PKP2B yang telah ditandatangani. Informasi mengenai penyelesaian kasus ini tidak banyak di-release ke media. Namun, setelah habis periode pencekalan (Januari 2009) disinyalir pemerintah dan para pengusaha telah mencapai kesepakatan atas penyelesaian kasus ini.

Penegakkan hukum kasus penahanan DHPB memerlukan pengkajian yang lebih dalam, menyangkut juga sektor swasta. Kemudian mengkaji, apakah hanya pejabat yang seharusnya berkewajiban untuk memungut yang ditugaskan sesuai dengan UU No. 20 tahun 1997, dalam hal ini dilakukan oleh Menteri Keuangan, kepada lembaga yang memungut itu yaitu Departemen ESDM. Jadi Menteri Keuangan juga menunjuk kepada ESDM untuk memungut DHPB.

Sementara itu, dalam penyelesaian penahan DHPB tersebut diperlukan pula peranan KPK dari sisi penindakannya. Selain itu, KPK juga mempunyai tugas lain, seperti disebutkan dalam pasa 13 yaitu pada aspek pencegahannya. Jika peranan penindakan, maka menunggu adanya pengaduan masyarakat. Hal ini telah bergulir di beberapa work shop dan laporan real tentang adanya indikasi tindak pidana korupsi. Hal ini telah beberapa kali dipertanyakan kepada deputi PSDM maupun direktur pengaduan masyarakat.

Proses audit dari BPK dan KPK pun diperlukan untuk penyelesaian aspek hukum masalah ini. KPK harus berupaya keras menyelesaikan kasus ini jika terdapat indikasi penyimpangan yang menimbulkan berkurangnya penerimaan negara. Dari sisi pencegahan, KPK harus menjawab hal-hal yang menyangkut tentang pencegahan. Diantaranya adalah meningkatkan integritas penyelenggara negara dan pelaku ekonomi di sektor batu bara. Langkah peningkatan integritas itu penting dilakukan, mengingat batu bara merupakan sumber daya alam yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Kesimpulan

Berdasarkan fakta hukum sebagaimana diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tindak pidana berupa penahanan pembayaran DHPB secara sengaja oleh 6 perusahaan batu bara yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 7 triliun. Di sisi lain, pemerintah, khususnya Departemen ESDM, membiarkan terjadinya pelanggaran ini, dengan tidak melakukan penagihan dan upaya pemungutan, sehingga penahanan pembayaran DHPB berlangsung selama 7 tahun berturut-turut.

Selanjutnya, sebagaimana ditemukan ICW, telah terjadi selisih penerimaan negara sebesar Rp 21,184 triliun dari pembayaran DHPB periode 1994-2001 berdasarkan perhitungan harga menggunakan FOB-BI dibandingkan dengan realisasi penerimaan negara sesuai LKPP. Kerugian lebih besar lagi, menjadi sekitar Rp 29 triliun, jika menggunakan harga internasional.

Atas dasar berbagai fakta di atas, maka seharusnya pemerintah, DPR dan aparat penegak hukum terkait, termasuk KPK, dapat mengambil tindakan sebagai berikut.

1. Mengusut tindak pidana yang dilakukan perusahaan batu bara yang telah menahan dan menunggak pembayaran DHPB kepada negara sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 triliun.

2. Menyelidiki lebih lanjut keterlibatan pejabat pemerintah atas berlangsungnya penunggakan pembayaran DHPB oleh 6 perusahaan batu bara kepada negara secara berlarut-larut selama 7 tahun.

3. Menyelidiki indikasi manipulasi dan penggelapan dalam pembayaran DHPB kepada negara, seperti ditemukan ICW, yang menyebabkan terjadinya selisih antara DHPB yang seharusnya diterima negara (berdasarkan harga FOB-BI) dengan realisasi penerimaannya sesuai LKPP.

Kita belum memperoleh informasi yang lengkap tentang penyelesaian kasus ini, terutama apakah dana tunggakan royalty/DHPB sebesar Rp 7 triliun telah diterima negara sebagai PNBP. Kita menganggap, kerugian negara tidak sekedar Rp 7 triliun, karena maraknya praktik transfer pricing oleh para kontraktor. Kita juga tidak mengetahui apakah pejabat-pejabat negara di lingkungan DESDM telah diberi sanksi atas kelalaian menjalankan tugas yang berdampak pada penerimaan APBN tersebut. Yang jelas kita menginginkan adanya penyelesaian yang tuntas, transparan dan adil sesuai peraturan yang berlaku, terutama kepada pemerinrtahan SBY. []

Lampiran 1

Perkembangan Angka Produksi Batu bara Nasional 1990-2007

Selisih Penerimaan Negara Berdasarkan Harga Internasional dan FOB-BI dibandingkan dengan Realisasi Penerimaan Negara menurut LKPP

foto ilustrasi: indofamily

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.