Menguak Tiga Aktor Kunci Di Balik Politik Devide et Impera Inggris di Palestina

Kenyataannya, meski otak pas-pasan, saat usianya menjelang menginjak 35 tahun, Sykes sudah sempat menulis tiga buku:Through Five Turkish Province, Dar-Ul-Islam, dan The Caliph’s Last Heritage. Tak pelak lagi, terkesan Sykes berarti nggak kalah hebat pamornya dengan seorang orietntalis lainnya, Thomas Edward Lawrence. Padahal hingga akhir hayatnya, Lawrence cuma nulis satu buah buku bertajuk: The Seven Pillar of Wisdom, itupun hanya semacam memoar pengalamannya menggalang persekutuan dengan kabilah2 Arab membantu Inggris mengalahkan Turki.

Bedanya, kalau Sykes berperan sebagai penasehat strategis pemerintah Inggris lewat jalur penyusunan kebijakan strategis, Lawrence lebih banyak berperan di lapangan menggalang kekuatan negara-negara Arab untuk menaklukkan Turki Ustmani.

Namun ada satu kelemahan Sykes. Dan ini bakal fatal akibatnya di kelak kemudian hari. Sykes tidak bisa bahasa Arab maupun Turki. Beda sama Lawrence yang selain menguasa bahasa Arab sama bagusnya seperti orang Arab tulen, malah sampai tidur pun yang jadi impiannya adalah soal Arab. Maklum, beda sama Sykes yang nggak lulus kuliah, Lawrence bergelar Doktor Purbakala Arab.

Dari gambaran sekilas perbandingan dengan Lawrence, nampak jelas Sykes sama sekali tidak menghayati budaya dan kehidupan sosial masyarakat Arab di Timur Tengah. Saya yakin mustahil Inggris tidak tahu kalau Sykes sebagai pakar cuma pas-pasan dalam segala segi. Namun buat jadi alat kepentingan penjajahan atau kolonialisme, boleh jadi latarbelakang Sykes yang pas-pasan ini malah jadi sosok yang sempurna sebagai katalisator Inggris menjalankan skenario globalnya yang kala itu masih bersifat rahasia.

From left, Lords Edmund Allenby, Arthur Balfour and Sir Herbert Samuel, at Hebrew University in 1925. (Library of Congress)

Menariknya, pemerintah Inggris nampaknya sudah bisa meramalkan bahwa akhirnya Jerman dan Turki bakal kalah, padahal perang baru selesai dua tahun kemudian pada 1917, dan Inggris bersama Prancis bakal muncul sebagai negara pemenang perang.

Maka rapat kabinet pada Desember 1915 mengajukan pertanyaan kunci pada Sykes: bagaimana membagi wilayah kekuasaan antara Inggris dan Prancis untuk menghindari konflik di antara keduanya di Timur Tengah saat kelak Perang Dunia I usai? Kalau kita baca sekarang, usulan Sykes ini sangat menggelikan kayak memindah-mindahkan biji catur saja layaknya.