Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (1)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Latar Belakang

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.

Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.

Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.

Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha.

Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel.

Permasalahan

Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula. Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal.

Pemberian ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.

Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara. Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun.

Kerugian Negara Akibat Penyelundupan Timah

Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar.

Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas.

Pemda Bangka Belitung kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah.

Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha. Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar.

Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton.

Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal. Pembeli-pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker. Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kualalumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market.

Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian, kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.

Pendapatan PT Timah

Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun, pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliyun atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4, 076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun meningkat.

Tabel 1. Produksi Timah Indonesia

Sumber: PT Timah Tbk.

Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun. Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat.

Namun di sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela.

Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat.

Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional

Berdasarkan informasi dari US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000 ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu bertahan sekitar 10 – 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190 triliun. Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.

Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti bertambah. Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah.

Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah

Sumber: PT Timah Tbk.

Pada Tabel 2 kita melihat bahwa cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri.

Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional.

Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekpor ke manca negara. Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik. Perbandingan produksi timah Indonesia dengan negara lain dapat dilihat di Grafik 1.

Grafik 1. Produksi Timah Indonesia, China dan Negara-negara lain.

Sumber: www.bhaktisecurities.com

Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan. (bersambung)

foto ilustrasi: metro bangka belitung

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.