Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (3)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Rekomendasi Pengelolaan Pertambangan di Bangka Belitung

Penambangan timah di Bangka Belitung telah dimulai sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, namun belum juga membuat masyarakat di sana menikmati kesejahteraan. Kenyataanya, pertambangan timah belum mampu mensejahterakan Bangka Belitung, yang dihuni oleh lebih dari 16% penduduk miskin dan terbelakang. Ini disebabkan oleh sejumlah masalah yang melekat sehingga pendapatan dari pertambangan belum mampu membawa kesejahteraan rakyat. Masalah-masalah yang dimaksud antara lain adalah belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan, dan ketertinggalan masyarakat. Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat.

Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Hal ini telah memberikan peluang bisnis yang sangat besar bagi para investor asing dan domestik. Tindak KKN yang dilakukan oleh oknum-oknum pajabat pusat dan daerah serta investor masih marak terjadi. Tercatat bahwa sejumlah cukong di Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui suatu konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.

Penyeludupan pasir timah masih sering terjadi, terutama ke Malaysia, Singapura dan Thailand. Hal ini mudah dibuktikan mengingat bahwa meskipun tidak punya tambang, Singapura adalah salah satu negara produsen timah. Malaysia dan Thailand mampu memproduksi/mengekepor timah jauh di atas cadangannya. Sejak jaman VOC hingga era Orde Baru (Orba), pemegang kekuasaan bekerjasama dengan pengusaha atau cukong, sangat dominan menguasai bisnis pertambangan timah sehingga kepentingan daerah dan kesejahteraan masyarakat selalu terabaikan.

Selama era reformasi, kebijakan otonomi daerah diharapkan memberi kesempatan kepada pemda Bangka Belitung untuk memperoleh keuntungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ternyata kebijakan tersebut menimbulkan berbagai masalah baru seperti penambangan ilegal, perusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, sungai dan laut, dan berkurangnya peneriamaan royalti oleh negara. Para pengusaha umumnya berpikir pendek, menguras dengan cepat dan buas, dan hanya berorientasi keuntungan.

Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, kita mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah-langkah dan kebijkakan yang tegas. Terutama agar pendapatan negara dan daerah dapat meningkat, serta berbagai permasalahan di atas dapat diatasi, diantaranya adalah

1) Mengeluarkan kebijakan sebagai pedoman jangka panjang pengelolaan industri timah nasional, yang disusun atas dasar prinsip-pripsip keseimbangan aspek-aspek ekonomi, ekologi, sosial, politik, lingkungan, dan kesinambungan pasokan.

2) Mengeluarkan berbagai peraturan baru yang lebih meningkatkan peran BUMN dan BUMD dan partisipasi rakyat daerah, serta memudahkan pelaksanaan pengawasan, sejalan dengan ditetapkannya UU Minerba No.4/2009 dan seluruh PP turunan dari UU tersebut.

3) Mendukung berdiri dan berperannya BUMD milik Pemda Babel yang secara khusus mengelola dan menjalankan bisnis industri timah untuk menjamin penerimaan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

4) Menetapkan timah sebagai produk strategis nasional yang dikelola secara terintegrasi dan sistematis oleh pemerintah pusat, pemda, BUMN dan BUMD, serta didukung oleh seluruh lembaga negara terkait.

5) Memberlakukan kuota produksi timah (misalnya 50.000 ton/tahun), terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri.

6) Mengurangi ekspor batangan timah secara bertahap, sejalan dengan membangun pabrik tin chemical di Babel demi peningkatan value added dan efektifitas, serta efisiensi industri, sekaligus untuk peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

7) Melarang ekspor biji timah dan menghukum berat para penambang ilegal dan penyeludup, terutama cukong-cukongnya, dan mewajibkan seluruh smelter yang ada di Bangka Belitung untuk menjual produknya hanya kepada PT Timah.

8) Mengumpulkan dan mengelola ”dana abadi” (yang berasal dari sebagian pendapatan industri timah) untuk kesejahteraan rakyat di masa mendatang dan pengembangan jangka panjang kegiatan ekonomi masyarakat, terutama untuk mengantisipasi habisnya cadangan tambang timah.

9) Mempersiapkan langkah-langkah untuk menguasai saham Koba Tin, yang masa kontraknya akan berakhir tahun 2011, oleh BUMN dan BUMD.

10) Mendirikan lembaga Pasar Lelang Timah, misalnya Jakarta Tin Market, sebagai pengalihan pusat perdagangan timah yang selama ini berada di Kuala Lumpur, mengingat Indonesia merupakan ekportir terbesar pertama dan produsen terbesar kedua timah dunia, yang sewajarnya juga berperan untuk mengendalikan harga timah dunia. Hal ini perlu juga didukung dengan kerjasama yang erat antar negara-negara produesen timah, sebagaimana OPEC pada sektor migas.

Penutup

Kita boleh berbangga menjadi salah satu negara di dunia yang mempunyai cadangan beragam sumber daya alam yang melimpah, seperti migas, emas, perak, tembaga, batubara, timah, dan sebagainya. Namun, potensi sumber daya alam yang sangat besar itu belum dikelola dengan baik sesuai dengan amanat konstitusi atau bahkah sekedar mengikuti prisnsip-prinsip good governance, yang berlaku secara universal. Kandungan timah di bumi Indonesia misalnya, mencapai 900.000 ton. Pada harga rata-rata US$ 14.000/ton, sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi sekitar US$ 12,60 miliar atau sekitar Rp 130 triliun. Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.

Sangat disayangkan bahwa berbagai masalah dan penyelewengan, termasuk kerakusan, terus melingkupi industri timah kita. Sehingga potensi ekonomi yang demikian besar tidak termanfaatkan secara optimal. Masalah dan salah urus industri timah antara lain disebabkan berbagai oknum yang ada di pusat dan daerah, termasuk luar negeri. Sebagaimana terjadi pada hampir seluruh jenis sumber daya alam, pengusaha dan cukong, domestik atau asing, yang ber-KKN dengan oknum pejabat merupakan modus yang akut dan terus berlangsung tanpa kendali. Menggerogoti kekayaan sumber daya timah nasional. Hal ini sangat mendesak untuk diadvokasi dan diakhiri.

Advokasi terhadap permasalahan pertambangan timah Bangka Belitung telah kerap kali dilakukan. Berbagai diskusi dan seminar yang menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tuntutan sudah sering dilakukan. Sejumlah Anggota DPD, Rektor, LSM, pengurus Ormas, tokoh masyarakat, dan mahasiswa, telah pula meyampaikan sikap dan tuntutan melalui Surat Terbuka kepada Presiden RI, SBY. Namun, berbagai penyelewengan menyangkut pertambangan timah Babel terus berlangsung.

Memang diakui bahwa jika hanya mengharap kepada lembaga-lembaga resmi yang ada, baik itu kepada jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif, apakah yang di pusat, apalagi di daerah, perbaikan yang diinginkan tampaknya sulit terwujud. Melalui tulisan ini kami berharap ada tambahan dukungan dan partisipasi dari masyarakat, terutama para pakar, tokoh, LSM, akademisi, pemuda dan mahasiswa untuk bergabung melanjutkan advokasi, demi tuntutan dan perbaikan yang dicita-citakan .[]

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.