Metode CIA Susupi Dunia Sastra Terkuak

VICE: Kenapa, sih, kamu harus merusak citra semua penulis favoritku—dan kekagumanku pada mereka?
Joel Whitney: Kamu berhak dan pasti ingin tahu kebenaran soal kerja-kerja intelektual para penulis dan penerbit yang kamu cintai itu, serta tujuan-tujuan mereka sebetulnya. Bukan berarti mereka tidak lagi pantas untuk dikagumi kan. Bagi penulis seperti Richard Wright atau James Baldwin, aku merasa mereka bergabung atau berpartisipasi dalam aktivitas CIA karena pemimpin operasi ini adalah mentor mereka. Para penulis besar ini baru berusia 20-an saat itu. Namanya juga anak muda, ketika profesor dengan reputasi skala internasional membimbingmu, kamu pasti akan meresponnya dengan senang hati. Aku lebih tertarik membahas apa sikap nama-nama itu setelah mereka tahu kenyataan di balik upaya pembentukan wacana ini.

Macam-macam sih ya cara mereka ngeles dari tudingan menjadi “antek CIA”. Di buku ini kamu mengutip Gabriel Garcia Márquez bahwa “when you write, it’s you who informs the publication.” Kalau begitu, untuk apa CIA bekerja sama dengan begitu banyak penulis berideologi kiri dari Amerika Latin, yang tulisan-tulisannya justru mendorong ide kemandirian bangsanya? Bisakah kita mengukur sejauh mana CIA berhasil mempengaruhi kerja para seniman itu?
Nah, inilah persoalan yang penting. Itulah kenapa operasi kebudayaan penuh kerahasiaan. Tanpa diskusi publik mengenai tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya, tidak akan ada akuntabilitas, dan kamu bisa leluasa mengganti-ganti targetnya. Salah satu contohnya adalah pelopor majalah sastra Amerika Latin, Cuadernos [del Congreso por la Libertad de la Cultura]. Cuadernos mampu membujuk kelompok garis keras agar yakin Amerika Serikat pernah melakukan sejumlah hal baik di Amerika Latin. Wacana di publikasi itu mampu meredam kebencian orang-orang kiri yang seringkali tak terlalu komunis dalam praksis ideologinya. Setelah muncul Revolusi Kuba, kita melihat perpindahan target [operasi CIA]. Daripada meredam kelompok kiri garis keras, CIA menyadari bahwa “kelompok penulis kiri garis halus” dapat menjangkau lebih banyak pembaca.

Pada dasarnya, inti operasi CIA aku temukan dari politik keredaksian beberapa majalah. Diskursus wacana membutuhkan wasit. Misalnya, debat berkepanjangan antara kelompok kiri progresif yang antiperang dan kiri intervensionis. Media antek CIA ini akan menjadi wasit, memenangkan salah satu pihak. Itulah kenapa, aku dulu selalu penasaran, mengapa muncul kesan kelompok kiri intervensionis selalu terdengar nyaring [di media massa], sementara kelompok kiri progresif antiperang selalu terkesan termarjinalkan.

Jadi CCF menerbitkan serta mempromosikan penulis-penulis yang kiri tapi engga kiri-kiri amat untuk membentuk persepsi pembaca?
Cara yang mereka lakukan adalah menggunakan figur budayawan kiri seperti Garcia Márquez, mempromosikan karya-karya kreatif mereka mirip trik Kuda Troya. Jadi para penulis sastra yang dibina CIA akan terus menguasai perbincangan kebudayaan, contohnya selama Revolusi Kuba. Sekilas pembentukan wacana ini berlangsung alamiah. Tapi hal ini tentu tidak akuntabel ataupun demokratis. Bagi mereka yang menyadari telah dimanfaatkan CIA, posisinya jelas tidak enak.

Akademisi Patrick Iber pernah mengungkap bagaimana budayawan Emir Rodríguez Monegal menerbitkan esai antiperang Vietnam sekadar buat meyakinkan publik bahwa dia bukan antek CIA. Posisinya sangat rumit, tapi di situlah aku mulai tertarik mengkaji isu ini. Aku wajib mengesampingkan kecenderungan naif langsung menghakimi sikap para sastrawan dan budayawan di masa lalu. Aku lebih tertarik membahas kapan para penulis dan pekerja intelektual itu mengubah pikirannya soal program CIA, atau kapan orang terguncang, atau kapan seseorang dijadikan antek, menyadarinya, lalu jadi sakit hati untuk beberapa saat.

Ketika kaitan CIA dan Paris Review bersama penerbitan lainnya terungkap, serangan balik muncul sporadis. Majalah asal Beirut, Hiwar langsung tutup dan karir editornya Tawfiq Sayigh hancur. Mengapa Paris Review bisa selamat?
Pertanyaanmu ini menjadi tujuan utama bukuku. Aku rasa banyak tulisan [Paris Review] tidak pernah langsung bersinggungan atau mengulas kudeta, pembunuhan, atau intervensi yang membuat Amerika Serikat dibenci selama Perang Dingin. Ketika Hiwar dan majalah lainnya terekspos sebagai kolaborator CIA, mereka langsung disangkutpautkan dengan segala intervensi yang dibenci warga negara pascakolonial.