Minyak Mahakam Dikuasai Prancis


Oleh: Marwan Batubara, Indonesian Resources Studies

Minyak bumi pertama kali diproduksi di Indonesia ketika seorang Belanda, Aelko Jans Zijlker, berhasil mengeluarkan kandungan minyak di Telaga Said, Pangkalan Berandan, Sumatera Utara pada tahun 1885.

Lebih dari 100 tahun sejak penemuan tersebut peran perusahaan nasional dalam pengelolaan migas masih sangat terbatas. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang penambangan migas hanya menguasai sekitar 13% dari total produksi nasional yang sebesar 950.000 barel per hari. Sekitar 80% produksi migas Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berasal dari Amerika, Eropa, China dan Jepang.

Produksi Pertamina sekitar 120.000 barel per hari berasal dari banyak lapangan migas yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia. Perusahaan asing terbesar yang memeroduksi minyak mentah adalah Chevron Pacific Indonesia yang menghasilkan sekitar 50% produksi Indonesia, dan telah beroperasi lebih dari 40 tahun hanya di provinsi Riau.

Sedang perusahaan asing yang menjadi produsen gas terbesar di Indonesia adalah Total E&P Indonesie, beroperasi sejak tahun 1967 di lepas pantai Kalimantan Timur dengan produksi sekitar 2,6 milyar kaki kubik per hari (MMSFD). Untuk itu peran Pertamina harus ditingkatkan dan lapangan-lapangan migas potensial perlu dikuasai, sebagaimana diuraikan berikut ini.

Peningkatan Peran Pertamina

Posisi Pertamina sebagai national oil company (NOC) yang hanya menghasilkan 13% migas nasional tidak akan banyak berubah dalam waktu dekat. Terbukti setelah diberlakukannya UU Migas No.22/2001, perlakuan pemerintah kepada Pertamina sebagai NOC malah bertolak belakang dengan harapan kita sebagai bangsa.

Sebagai BUMN yang berdiri atas amanat konstitusi, di negara sendiri Pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan asing seperti Exxon, CNOC, BP, dsb. Jika NOCs di seluruh dunia pasti mendapat dukungan penuh dari pemerintah negara masing-masing untuk mendapatkan sumber-sumber migas di manapun di seluruh dunia, maka malang bagi Pertamina, jangankan didukung untuk merambah ke luar negeri, di dalam negeri sekalipun Pertamina sering dikorbankan oleh pemerintah dalam sejumlah tender blok-blok migas yang dilakukan oleh Departemen ESDM.

Kondisi seperti ini sudah waktunya dibenahi, terutama dengan mencabut produk neoliberal, UU Migas No.22/2001. Seperti diketahui, krisis ekonomi memaksa kita menerima pemberlakuan UU Migas No.22/2001 sesuai kehendak IMF. Hal ini semakin menjauhkan kita untuk mewujudkan NOC yang besar dan mandiri melalui pemberlakuan konsep Production Sharing Contract (PSC).

Setelah lepas dari IMF, prilaku inlander dan korup oknum-oknum pejabat masih berlangsung. Blok-blok migas yang besar dan potensial masih diberikan kepada asing. Blok-blok yang masa kontraknya akan berakhir pun malah diperpanjang masa berlakunya. Dengan demikian, target penggunaan model PSC yang memungkinkan terjadinya alih teknologi dan pengelolaan tidak tercapai, dan Pertamina tetap kerdil di negeri sendiri.

Keberpihakan negara kepada Pertamina sebagai NOC harus diwujudkan dengan berbagai strategi dan kebijakan, termasuk dengan memberi jaminan dan hak khusus atau previlege oleh pemerintah.

Presiden SBY harus membuktikan ucapannya pada bulan Maret 2006 yang ingin meng-overhaul Pertamina agar dapat menjadi besar seperti Petronas, yang hingga saat ini belum tampak realisasinya. Keberpihakan pemerintah kepada NOC ini pun telah tercantum sebagai visi dan misi Pengelolaan Energi Nasional (PEN) dalam Perpres No.5/2006, namun belum dijalankan secara konsisten.

Penguasaan Blok Potensial & Blok Mahakam

Disamping pemberian berbagai previlege bagi Pertamina, pemerintah juga perlu menegaskan sikap atas status sejumlah kontrak-kontrak migas yang akan berakhir masa berlakunya, seperti Blok Siak, Riau (Chevron, 2013), Kepala Burung (Petro China, 2016), Blok Mahakam (Total, 2017), Blok B Sumatera (Exxon, 2018), dsb.

Sesuai kontrak, jika masa berlakunya berakhir, maka otomatis blok tersebut dikembalikan kepada negara. Jika masih mempunyai cadangan migas yang layak secara ekonomis, maka sangat wajar bila blok-blok tersebut diserahkan kepada Pertamina atau swasta nasional, bukan malah diperpanjang.

Penyerahan blok-blok migas yang akan berakhir kontraknya kepada Pertamina merupakan momentum yang tepat untuk memberdayakan dan membesarkan NOC kita. Dengan maksud tersebut maka penerimaan negara akan semakin meningkat, ketergantungan kita terhadap perusahaan asing akan berkurang dan kemandirian energi nasional dapat terwujud.

Disamping untuk Pertamina momentum ini akan mendorong perusahaan swasta nasional dan BUMD mengambil peran yang signifikan dalam pengelolaan migas nasional. Salah satu yang harus dikuasai Pertamina adalah Blok Mahakam.

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie pada tanggal 31 Maret 1967 dengan jangka waktu 30 tahun. Kontrak tersebut telah diperpanjang tanggal 31 Maret 1997 dan akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017.

Sesuai UU Migas No.22/2001, operator blok yang memproduksi gas boleh mengajukan perpanjangan 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dengan kata lain, Total boleh mengajukan usul perpanjangan kontrak sejak tahun 2007. Saham Total E&P Indonesie dimiliki oleh Total SA, Prancis (50%) dan Inpex Coperation, Jepanmg (50).

Berdasarkan penjelasan BP Migas tahun 2006, potensi gas Blok Mahakam yang masih tersisa adalah sekitar 13 TCF. Saat ini potensi blok diyakini lebih besar dari 13 TCF setelah diperolehnya data hasil eksplorasi pada tahun 2008/2009.

Sedangkan gas dan minyak bumi yang telah dihasilkan sejak penambangan pada tahun 1967 hingga tahun 2008/2009 masing-masing adalah 12,7 TCF dan 1,05 miliar barel. Dengan tingkat produksi gas rata-rata sebesar produksi saat ini, yakni sekitar 2,6 miliar kaki kubik/hari (MMSCFD), maka operasi penambangan Blok Mahakam dapat berlangsung lebih dari 20 tahun sejak sekarang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Total E&P sangat antusias untuk memperoleh perpanjangan kontrak.

Pada medio 2007, induk usaha Total E&P Indonesie, Total SA, melalui Executive Vice President Exploration & Production, Christophe de Margerie, mengajukan perpanjangan Blok Mahakam kepada Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro.

Pada saat itu Purnomo menyatakan terlalu dini untuk membahas perpanjangan kontrak. Selain itu, Purnomo merespon permintaan Total E&P dengan menyampaikan keinginan pemerintah untuk meningkatkan pola bagi hasil dari kesepakatan sebelumnya, yakni 70 (pemerintah) : 30 (kontraktor), dan meningkatkan saham pemerintah pada Total E&P.

Untuk itu telah pemerintah memberi kesempatan kepada Pertamina atau perusahaan daerah memiliki participating interest (PI) di Total E&P. Pada prinsipnya pemerintah belum memberikan jawaban spesifik, namun menyatakan siap memperpanjang kontrak sepanjang blok tersebut dikelola bersama.

Untuk mempengaruhi sikap pemerintah, Total E&P telah melakukan berbagai aksi seperti investasi pengembangan sebesar US$ 11 miliar di tahun 2008 dan US$ 2 miliar pada tahun 2009. Total E&P juga telah melakukan kegiatan eksplorasi di area tersebut dalam jumlah besar.

Selain itu Total E&P telah menandatangani kesepakatan kerjasama jual beli Liquefied Natural Gas (LNG) dengan Perusahaan Gas Negara (PGN), PLN dan Pertamina. Untuk tetap dapat mengelola Blok Mahakam, Total E&P mengungkap akan memberikan pasokan gas ke pemakai domestik hingga 33 persen pada tahun 2020 mendatang.

Setelah hampir tiga tahun mengajukan perpanjangan kontrak yang didukung dengan berbagai aksi tersebut, Total E&P masih belum berhasil mencapai target yang dinginkan.

Langkah Pertamina

Sementara itu, Pertamina menyatakan siap untuk mengambil alih sebagian saham Total E&P. Pertamina telah menyatakan niatnya kepada Pemerintah untuk menggunakan hak partisipasi di Blok Mahakam dengan mengakuisisi sebagian saham (15%) Total E&P dari sekarang hingga tahun 2017 dan menjadi operator pengendali dengan pemilikan saham hingga 50% sejak tahun 2017.

Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, mengungkapkan untuk tahun 2010, Pertamina berminat atas 15% Blok Mahakam melalui mekanisme "business to business". Pertamina bahkan telah menyediakan dana sebesar US$ 200 juta untuk proses akuisisi tersebut.

Kita sangat berkepentingan agar potensi yang ada dari Blok Mahakam dapat dimanfaatkan oleh pemerintah (melalui Pertamina & BUMD) secara optimal. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kajian secara komprehensif bersama pemerintah, kita harap Pertamina tidak berjalan sendiri dengan mengajukan rencana akuisisi sebagian saham Total E&P, apakah 15% atau 25%, dsb.

Prinsip-prinsip dasar yang perlu dipegang dalam menetapkan posisi Indonesia adalah: 1) potensi Blok Mahakam telah terbukti sangat besar dan harus dikuasai negara!; 2) dalam waktu 7 tahun sejak sekarang blok tersebut akan menjadi milik kita dan harus dikelola oleh Pertamina sebagai operator, dan BUMD; 3) setiap pola kompromi antara pemerintah dengan Total E&P untuk memperpanjang kontrak, haruslah dengan syarat diikutsertakannya Pertamina dan BUMD sebagai pemegang saham; 4) jumlah pendapatan negara melalui pola kompromi minimal harus sama dengan pendapatan negara jika kontrak tidak diperpanjang.

Dengan berpegang pada prinsip-prinsip di atas, kita meminta pemerintah segera menyiapkan rencana dan program yang dibutuhkan untuk pemanfaatan Blok Mahakam secara optimal, terutama oleh Pertamina. Pemerintah perlu memulai berbagai langkah dan aksi yang relevan, seperti negosiasi dengan Total E&P maupun peyiapan dana untuk akuisisi saham.

Pemerintah diminta untuk melakukan seluruh proses secara transparan dan mengikuti prinsip-prinsip good governance. Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk tim lintas departemen Blok Mahakam seperti yang terjadi pada Blok Cepu tahun 2005/2006 atau akuisisi saham Newmont Nusa Tenggara tahun 2008/2009.

Selain itu, kita mengingatkan agar DPR turut mendorong dan mengawasi terlaksananya rencana tersebut. Sejalan dengan permintan di atas, kami mengajak berbagai elemen masyarakat untuk mengawasi jalannya proses negosiasi dan penetapan keputusan atas Blok Mahakam.

Kita harus mewaspadai adanya upaya-upaya oknum kontraktor dan oknum pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak kepada E&P atau hanya memberikan sedikit saham kepada Pertamina sebagai “hiburan”.

Kewaspadaan ini dan juga peringatan kita kepada DPR untuk melakukan pengawasan, menjadi semakin penting dan mendesak, terutama setelah terjadinya berbagai penyimpangan dan kegagalan negara untuk menguasai Blok Cepu, Blok Semai V, Saham NNT, dsb., akibat ulah oknum pejabat yang melakukan KKN dengan perusahaan asing dan para pemilik modal.

Tampak dengan jelas bahwa pemerintah tunduk patuh dibawah kendali mereka. Kita ingin pemerintah menunjukkan kedaulatan negara dan menjalankan negosiasi dan penguasaan Blok Mahakam sesuai amanat kosntitusi, UUD 1945 Pasal 33.

Penutup

Melihat potensi Blok Mahakan yang demikian besar, pemerintah harus mengambil manfaat terbesar dengan cara menjadikan Pertamina sebagai pemegang saham signifikan di Total E&P hingga tahun 2017. Setelah 2017, Pertamina bersama BUMD harus menjadi operator Blok Mahakam.

Jika hal ini tidak berhasil dilakukan, maka pemerintah harus berketetapan bahwa kontrak dengan Total E&P tidak akan diperpanjang. Ancaman dari kontraktor untuk mengurangi atau memberhentikan produksi gas mungkin saja muncul. Namun hal ini tidak perlu menjadi kekhawatiran mengingat hal tersebut bisa saja hanya sebatas gertakan. Selain itu, mereka pun terikat kontrak dan dapat dituntut ke arbitrase internasional.

Peningkatan peran Pertamina melalui perubahan berbagai aturan dan pemberian hak istimewa merupakan kebijakan yang harus ditempuh. Hal ini harus dilaksanakan bersamaan dengan langkah penguasaan Blok Mahakam yang merupakan lapangan penghasil gas terbesar Indonesia.

Kedua hal tersebut menjadi semakin penting seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri, sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan harga gas di masa mendatang, serta ketatnya persaingan atas akses ke sumber energi.

Pemerintah, DPR dan kita sebagai bangsa harus bersatu untuk membesarkan Pertamina dan menguasai blok-blok migas potensial, termasuk Blok Mahakam.[]