Muhammad Najib: Mengenang Kepergian Presiden Mursi

Sejak saat itu IM menjadi organisasi terlarang dan menjadi musuh pemerintah. Akibatnya IM bergerak di bawah tanah, dan melahirkan banyak pecahan yang melakukan perlawanan bersenjata. Saat Presiden Nasser meninggal pada tahun 1970, kemudian digantikan oleh Anwar Sadat yang saat itu menduduki posisi sebagai Wakil Presiden. Tekanan terhadap IM secara bertahap dilonggarkan, bahkan dapat dikatakan Anwar Sadat berusaha untuk merangkulnya.

Tragedi keempat muncul, saat Presiden Anwar Sadat melakukan perjanjian damai dengan Israel melalui perjanjian Camp David yang ditandatangani pada tahun 1978. Salah satu sempalan radikal IM yang menamakan diri Jamaah Islamiah (JI), kemudian melalui kadernya bernama Khalid Ahmad Showky Al-Islambuli menembak Anwar Sadat yang duduk di panggung kehormatan saat parade militer memperingati Kemenangan Mesir dan negara-negara Arab dalam perang Arab-Israel 1973.

Presiden Sadat kemudian digantikan Husni Mubarak pada tahun 1981. Mubarak kemudian kembali menempatkan IM sebagai musuh negara. Akibatnya IM kembali menjadi gerakkan bawah tanah karena mantan tokoh-tokohnya dibatasi ruang geraknya dan diawasi secara ketat oleh negara.

Saat Arab Spring sebagai proses demokratisasi melanda dunia Arab yang dimulai dari Tunisia akhir tahun 2010, kemudian menerpa Mesir di awal tahun 2011 yang menimbangkan rezim  otoritarian Husni Mubarak, membuka jalan bagi IM untuk muncul kembali ke permukaan. IM kemudian mendirikan partai politik dan berpartisipasi dalam pemilu demokratis yang dilakukan secara jurdil untuk pertama kalinya.

Mohamed Morsi sebagai seorang cendekiawan idealis alumni Amerika yang dikenal sangat religius terpilih sebagai Presiden Mesir. Tantangannya tentu sangat berat. Ia terjepit di antara dua kekuatan besar di dalam negri, yaitu kawan-kawannya sendiri yang mengalami euforia kemenangan, dan kekuatan lawan-lawan politiknya yang dirugikan dengan proses demokratisasi yang terjadi.

Para petinggi IM yang tidak berpengalaman mengelola negara berusaha memaksimalkan kekuasaan yang dipegangnya untuk mewujudkan cita-cita IM yang dicanangkan sejak berdirinya. Hal ini berakibat kurangnya akomodasi politik terhadap kelompok lain dalam berbagi kekuasaan, dan kurangnya toleransi dalam aspek ideologis khususnya dalam membangun wajah baru Mesir di era demokrasi.

Sementara di tingkat regional, Israel yang menjadi tetangganya sekaligus musuh besarnya merasa terancam, kemudian mengikuti dengan cermat dan cemas terhadap berbagai peristiwa dan perkembangan yang terjadi. Begitu juga negara-negara Arab lain, khususnya yang masih dipimpin rezim otoritarian yang khawatir dengan pengaruh demokratisasi di Mesir yang jika sukses akan berimbas ke negrinya. Mengingat Mesir merupakan negara yang terbesar dalam hal penduduk dan terkuat secara politik dan militer diantara negara-negara Arab.

Ternyata Mohamed Morsi gagal dalam mengendalikan kekuasaan, dengan kata lain tidak berhasil mendamaikan berbagai kepentingan yang ada, sehingga ia tumbang dari singgasana yang didudukinya hanya sekitar satu tahun, melalui kudeta yang dilakukan oleh militer.

Bila dilihat dari perspektif sejarah sejak berdirinya Republik Arab Mesir, apa yang dialami Presiden Morsi hanyalah tragedi berikutnya dari rangkaian tragedi demi tragedi yang dialami bangsa Mesir terkait dengan bagaimana peralihan kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan.

Pertanyaannya sampai kapan tragedi demi tragedi seperti ini akan diakhiri? Para pejabat Mesir suka menggunakan istilah “revolusi” untuk menyebutkan peralihan kekuasaan yang sebagian besar diiringi dengan kekerasan politik.
Pertanyaannya kapan revolusi akan berakhir? Apakah mungkin untuk membangun negri dalam suasana revolusi yang terus-menerus?

Bangsa Mesir mungkin saja tidak sadar bahwa peralihan kekuasaan yang diiringi dengan kekerasan telah membuat bangsa ini tertinggal. Mengingat dendam politik yang diakibatkannya akan terpelihara dan muncul ke permukaan dalam berbagai bentuknya, yang mengakibatkan siapapun yang tampil memimpin tidak bisa mengelola sumber daya yang dimilikinya secara optimal.

Lebih dari itu, sumberdaya manusianya yang unggul akan lari ke luar negri, baik karena merasa sulit mengembangkan karir dalam lingkungan yang tidak kondusif di dalam negri, maupun lari karena di tempatkan sebagai buronan oleh negara.