Pendidikan Pancasila, Freemasonry, dan Pergolakan Umat Islam: Rancunya Pelajaran PPKn (1)

“Sejarawan muslim dituntut nengungkapkan yang benar dan mengorbankan segala usaha untuk sampai kepada tujuan tersebut. Tidak boleh berbasa-basi terhadap seseorang, mengasihi, atau menzhaliminya.. Dari segi ilmiah sejarah itu sudah menjadi palsu, walaupun kalimat-kalimat yang ditulis di dalamnya benar, sebab dia memberi umat ukuran yang jauh lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya, meletakkan si cebol yang lemah di tempat raksasa.” [1]

Ungkapan itu adalah guratan tangan Muhammad Quthb dalam bukunya “Kaifa Naktubu Attarikhal Islam” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah Islam”. Muhammad Quthb, seorang pendidik dan ulama kenamaan Mesir, menjelaskan banyak sekali para penulisan Islam yang dipalsukan oleh para orientalis demi menjalankan misi Gereja.

Menurut Quthb, pemanipulasian sejarah Islam memiliki sasaran yang jelas, yakni memupus habis rasa bangga dengan Islam dan Sejarah Islam di dalam jiwa pembaca muslim, mengubah rasa bangga, dengan rasa kaesal dan enci, sehingga pembaca tidak minat lagi membacanya pada masa-msa berikutnya. [2]

Rupanya apa yang dikhwatirkan Muhammad Quthb, momentumnya menjadi pas saat ini. Ditengah Upaya pemerintah memberlakukan kembali nilai-nilai pancasila dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pasca kasus ‘terosisme’ yang menguat di kalangan umat Islam dan memupusnya rasa nasionalisme pemuda.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, kemarin, mengatakan pemerintah termasuk lembaga negara yang menilai bahwa saat ini nilai-nilai Pancasila terpinggirkan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Mahfud menyatakan bahwa perlunya rencana aksi nasional oleh suatu lembaga untuk melakukan sosialisasi dan penerapan Pancasila melalui pendidikan.

Alhasil, rencana aksi pendidikan untuk memperkokoh nilai Pancasila itu merupakan kesepakatan yang diambil dalam pertemuan lembaga negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wapres Boediono, yang digelar hari rabu kemarin. [3] Sebelumnya di tiap level pendidikan, nama PPKn memang sudah masuk liang kubur dan kemudian diganti dengan “istilah” Civic Education. [4]

Seperti dikutip harian Kompas, tertanggal 6 Mei 2011, bahwa dengan dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Padahal, nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis. [5]

Jadi momentumnya saat ini, PPKn akan diberlakukan kembali demi menggiring masyarakat yang berpijak pada nilai-nilai moral, karakter, yang bersifat plural dan demokratis. Adalah waktu yang tepat, mengingat konsep kebebesan beragama dan pluralisme semakin mendapat tempat pasca meletusnya tindak “kekerasan beragama” yang banyak menyinggung umat Islam.

Racun Halus Itu Bernama “Nilai-nilai”

Oleh karenanya, Muhammad Al Ghazali dalam bukunya “Islam Arab dan Yahudi Zionisme”, mewanti-wanti serangan ideologi terhadap kaum muslim terhadap apa yang beliau sebut dengan istilah “nilai-nilai”. Sejatinya kata “nilai-nilai” adalah bentuk pengaburan kebenaran dan sisipan kebathilan lewat cara yang halus, kalau tidak mau disebut halus sekali.

Jangankan istilah moral yang memang berpijak pada konsep netral agama, sedang kata-kata “nilai-nilai rohani” saja, ternyata memang “diniatkan” untuk memasukkan konsep pluralisme agama. Muhammad Al Ghazali menulis,

“Pada lahirnya kata-kata nilai-nilai kerohanian ini ditujukan kepada sekumpulan agama langit dan bumi yang dianut oleh jumlah besar manusia dan meretas langkahnya ke arah tujuan dalam hidup ini menurut pola gaib dan menonjol. Dan dengan upacara-upacara yang bermacam-macam dan diakui serta norma-norma tingkah laku yang dipatuhi oleh para pengikutnya.

“Jadi, nilai-nilai kerohanian mencakup agama Budha, Hindu, Yahudi, Nasrani, dan Islam serta segala yang telah berjalan secara tetap di arena tradisi yang turun menurun, yaitu arena agama dan penganut-penganut serta yang berhubungan dengannya.

“Mengelompokkan semua aliran ini dibawah judul ‘nilai-nilai kerohanian’ merupakan penyingkatan yang baik, seperti halnya minuman-minuman rohani yang berarti segala zat yang memabukkan, walau namanya di berbagai negara berbeda-beda

“Tetapi kata-kata nilai-nilai kerohanian dengan pengertian yang meliputi ini perlu mendapat penyelidikan yang hati-hati agar kita dapat menentukkan sikap dan pendirian kita! Karena menderetkan yang hak dan yang bathil dibawah satu daftar, suatu hal yang dari semula tak dapat kita terima.” [6]

Reduksi Iman Dalam Pelajaran PPKn

PPKn pun adalah mata pelajaran yang sangat kontradiksi satu sama lain di dalam penerapannya. Sebagai contoh, di standar kompetensi untuk SMP misalnya. Pada bab pertama, murid dijelaskan materi ketakwaan dengan cara mengidentifikasi perilaku yang didasari iman dan taqwa dalam kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan pada materi kedua, para murid justru dianjurkan untuk menyerahkan “loyalitasnya” kepada Negara dengan judul Cinta Tanah Air, bukan lagi kepada Islam.

Dalam materi ketakwaan pun masih rancu. Karena keimanan dalam pelajaran PPKn tidak dijelaskan dalam perspektif seperti apa? Apakah wajar jika saat murid belajar PPKn yang meletakkan keimanan pada bab pertama itu, para siswi perempuan dan guru perempuan nya pun justru tidak berjilbab.

Apakah wajar jika meletakkan ketaqwaan di bab pertama, namun para murid masih dianjurkan untuk menghormati bendera sebagai bukti “keimanan” mereka kepada tanah air? Bayangkan jika sebelumnya anak kita ditekankan untuk memberikan totalitasnya kepada Allah semata, namun dengan secepat kilat pula pada satu minggu kedepannya, standar beriman mereka terpaksa berubah.

Bahkan tidak perlu menunggu waktu lama, bisa jadi pada satu jam berikutnya hal itu dapat terlaksana, seperti pada pelajaran Sosiologi, ketika anak kita disuruh menjawab apa penyebab utama terjadinya pelacuran: a. faktor keluarga. b. faktor budaya. c. faktor ekonomi. d. semuanya benar.

Pertanyaannya: dimanakah faktor iman?

“..Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yg lain? Tiadalah balasan bagi orang yg berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dlm kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yg sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yg kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85)

“… dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam : 153)

Allahua’alam. (pz/bersambung)

Catatan Kaki

[1] Muhammad Quthb, Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah Islam?, (Jakarta: Gema Insani Press, Jakarta, 1995) h. Ibid. h. 20

[2]2 Bisnis Indonesia, Pemerintah lakukan aksi nasional pendidikan Pancasila, Selasa, 24/05/2011.

[3] Pemakaian tanda kutip, semata-mata penulis rasakan karena baik PPKn maupun Civic Education tidaklah jauh berbeda. Mereka sama-sama menekankan bahwa “nilai lokal” suatu bangsa menjadi sandaran dalam membentuk ideologi Negara. Oleh karenanya Civic Education di Indonesia mengacu kepada nilai-nilai pancasila dan konstitusi UUD 45.

Menurut Benjamin Barber, seorang pakar pendidikan politik, Civic Education adalah pendidikan- untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government).

Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.

Yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warganegara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai.

[4] Harian Kompas, Pendidkan Pancasila Dihapus, 6/05/2011, h. 1.

[5] Muhammad Al Ghazali, Islam Arab dan Yahudi Zionisme, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) h. 123-124.

[6] Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, (Jakarta: DEPDIKNAS, 2004) h. 1