Rahasia Dibalik Perang Surabaya

Pasukan sekutu mulai stress, karena logistik tidak ada, bantuan tempur logistik yang diterjunkan dari pesawat kemakan orang-orang Republik, bahkan nyaris tidak ada logistik yang berhasil didapatkan pasukan Inggris. Mereka sudah terkunci dan terkepung oleh seluruh orang Indonesia yang mengitari mereka, keberadaan pasukan Inggris dari Brigade 49 tinggal menghitung waktu. Tempat-tempat dimana pos pasukan Inggris berada di blokade total, tak ada listrik, tak ada makanan, mereka harus berjaga 24 jam agar jangan sampai ditembaki Republik yang terus menerus nggan berhenti.

Di hari kelima pertempuran mulai jarang tembakan dari pasukan sekutu, pasukan Inggris mulai kehabisan amunisi, beberapa orang Surabaya nekat masuk ke pos-pos Inggris dan meledakkan granat, inilah yang mereka takutkan. Dalam kondisi rusak mental inilah, pasukan Brigade 49 mulai teriak-teriak ke markas mereka di Djakarta bahwa mereka sudah terdesak. Rahasia kekalahan Inggris ini disimpan rapi-rapi, jangan sampai Penggede Republik Indonesia tau, mereka berlagak ja’im dan masih mencitrakan diri sebagai pemenang perang di Surabaya. Begitu juga dengan pemimpin di Jakarta yang tidak begitu mengetahui perkembangan perang di Surabaya, mereka sudah ‘underestimate’ bahwa perang akan dimenangkan oleh Inggris.

Di Singapura para panglima Inggris berkumpul. “Kita sudah kalah di Surabaya” kata seorang Panglima. “Pasukan kita sudah kelaparan, tidak ada lagi pasokan” memang saat itu pasukan sekutu sudah amat kelaparan. Mereka tidak dapat pasokan logistik, sementara para pejuang Republik dapat pasokan terus menerus nasi bungkus, pisang, dan banyak bahan makanan dari rakyat yang sukarela membuatkan masakan di dapur umum. Bahkan beberapa pasukan Inggris seperti anjing kelaparan saat melihat sisa nasi bungkus bahkan yang udah basi, mereka ambil dan makan.

“Keadaan ini harus dirahasiakan” Bagaimanapun pasukan Brigade 49 dari Divisi V adalah pasukan kebanggaan Inggris, mereka dijuluki “Fighting Cock” pada Perang Burma 1944, merekalah yang merebut satu persatu wilayah Burma dengan sistem gerilya hutan, kini Brigade itu perlahan-lahan mati kelaparan, digebukin dan ditembakin. Lalu para Panglima itu mengutus Admiral Heifrich menemui Presiden Sukarno. Heifrich mengakui sendiri dalam buku biografinya, ‘Keputusan untuk menghentikan perang, satu-satunya hanya pada Presiden Sukarno” apa yang dilakukan Heifrich ini bila diperhatikan sangat aneh untuk watak Inggris yang amat ksatria. Karena saat ultimatum, Inggris sempat menganggap Pemerintahan Republik Indonesia tidak ada, lantas setelah pasukan Brigade 49 sudah kalah dan terjepit ia minta tolong pada Sukarno. Disinilah kesalahan Sukarno paling fatal, ia masih termakan halusinasi bahwa sekutu adalah pihak yang menang perang dan merupakan alat yang baik untuk berdiplomasi dengan Belanda. Sukarno nggak paham kekuatan bangsa sendiri, ia tidak langsung melihat pertempuran, jalan diplomatiknya yang dipilih merupakan blunder besar dalam perang Kemerdekaan 1945-1949.

Perang Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu, di minggu pertama dimenangkan oleh pihak Republikein, tapi karena keputusan Sukarno yang memerintahkan penghentian perang, sehingga Jenderal Sudirman membuka blokade lalu pasukan Divisi V yang awalnya sudah diputuskan tidak akan masuk Surabaya karena takut dihabisi, jadi masuk. Logistik yang tadinya terputus mengalir kembali. Dan kemudian Inggris mampu menghajar pasukan Republik. Lalu nggak berapa lama Inggris menguasai kota Surabaya, karena sudah dapat suplai logistik dari Jakarta. Apakah yang terjadi bila Sukarno tau kebohongan Inggris, mulai dari Nota Chequers 24 Agustus 1945 sampai pada rahasia pasukan Brigade 49 yang kocar-kacir. Sukarno saat itu berada pada persimpangan politik yang amat tragis. Di satu sisi hanya dia-lah yang dipercaya rakyatnya, di sisi lain dia tidak mau perang dengan sekutu, karena nama Sukarno sudah tercatat sebagai kolaborator. Bila Sukarno diambil pihak sekutu, Sukarno kuatir Indonesia akan kehilangan pemimpin.

Kesalahan besar Sukarno yang menghentikan perang ini juga sama fatalnya dengan perintah Sukarno agar melarang pasukan KKO pimpinan Mayjen Hartono masuk ke Djakarta di tahun 1966 untuk memberikan pelajaran bagi Suharto.

Sukarno memang pribadi yang menarik tapi ketika ia harus masuk ke dalam situasi perang nampaknya ia lebih memilih menghindar. Padahal perang Surabaya adalah sebuah drama besar yang bisa dijadikan landasan untuk merdeka sepenuhnya, Perang Surabaya juga dikabarkan lewat radio-radio dan didengarkan oleh para pejuang di banyak negara terjajah seperti Vietnam dan Burma, dari perang inilah kemudian membangkitkan semangat mereka melawan Kolonialisme. Pelajaran dari sejarah ini adalah ketika kita sudah pada situasi perang, janganlah kita hentikan dengan diplomasi, janganlah kita memberikan tempat pada lawan. Reformasi 1998 terlalu memberikan tempat pada orang Orde Baru sehingga perjalanan demokrasi menjadi rusak, begitu juga dengan sikap lemah kita pada IMF atau Bank Dunia. Kita harus percaya atas kemampuan diri sendiri. Di Surabaya 1945 menjadi pengetahuan bagi kita bahwa kita bangsa berani………………(Artikel di atas merupakan buah tulisan dari Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, Direktur Pemberitaan Kluget.com, yang bisa disimak secara ituh di http://www.kompasiana.com/anton_djakarta/rahasia-di-balik-perang-surabaya_55095231a33311653d2e3959).

*

Hari ini, 70 tahunan kemudian, anak cucu para pejuang yang mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Bumi Pertiwi, banyak yang kembali terjajah oleh asing, aseng, dan anjing-anjing pudel pelayan mereka yang sekarang berkuasa atas nama demokrasi. Indonesia kini kembali dijajah, oleh aseng, asing, dan para kompradornya. Tidak ada kata lain, pribumi harus kembali berjuang, angkat senjata, Bumi Pertiwi harus kembali dimerdekakan dan direbut kembali. Pribumi harus menjadi tuan di negerinya sendiri, tak ada kata tawar. Tak ada. (ts)