Rahasia Dibalik Perang Surabaya

Mountbatten tersenyum “Saya tau watak Stalin, ia sudah terikat dengan perjanjian Yalta 1945. Stalin tidak akan masuk ke wilayah yang dikuasai sekutu, asal kita jangan pancing dia”. Mountbatten langsung melanjutkan “Saya punya intelijen disana namanya Kolonel Van Der Post, biarlah dia jadi perwira penghubung nanti kita akan terima banyak laporan dari dia”. Van Mook setuju, begitu juga dengan Van Der Plas mereka bersalaman dengan Mountbatten lalu balik ke Australia dan menyiapkan pasukan serta para perwira stafnya.

Di Australia pemimpin pasukan diputuskan perwira KNIL orang Jawa bernama Abdulkadir Wijoyoatmodjo dan Mayor KNIL Santoso.Abdulkadir dan Santoso diperintahkan Van Mook untuk ke Djakarta untuk mengadakan pengembangan kontak-kontak jaringan dengan eks perwira KNIL yang masih memiliki pasukan. Abdulkadir dan Santoso langsung berangkat ke Jakarta dan menemui beberapa perwira KNIL di Jakarta untuk bersiap melakukan perang dengan pihak Indonesia apabila pasukan NICA nanti mendarat dan menerima perlawanan. Setelah Abdulkadir bertemu dengan pasukannya, lalu Van Mook dan Van Der Plas datang ke Jakarta disana ia berjumpa dengan Kolonel Van Der Post, kontak terpenting Van Der Post dengan banyak pemimpin-pemimpin baru Republik.

Van Mook agak nggak suka dengan Van Der Post yang secara eksplisit mendukung kemerdekaan Indonesia. Van Der Post sempat menertawai Belanda ketika pasukan Belanda akan datang kembali. “Kamu akan berhadapan dengan banyak orang nekat” kata Van Der Post di satu sore depan stadion Vios, Menteng. Karena sudah memegang Nota Chequers itu Van Mook amat yakin bisa menguasai kembali Republik. Sementara di Djakarta sendiri, kedatangan sekutu disambut baik. Sukarno amat takut apabila dirinya akan ditangkap karena tuduhan kolaborator, sementara Hatta dan Sjahrir sudah berhitung untuk menghindari perang terhadap sekutu. Kelemahan Sukarno yang kadang-kadang menyebalkan adalah “Ia tidak memperhitungkan kekuatannya sendiri” padahal seluruh bangsa ini mau merdeka secara sukarela karena mereka melihat figur Sukarno. Hatta dan Sjahrir amat bergantung dengan figur Sukarno. Sementara kekuatan lain belum bermunculan, Tan Malaka masih bersembunyi di rumah Achmad Subardjo dan masih bingung harus kontak siapa lagi yang bisa dipercaya, karena Sukarni menghilang setelah Tan Malaka bertemu dengan Sukarni di rumahnya.

Sukarni, Maruto Nitimihardjo, Chaerul Saleh, dan banyak tokoh pemuda berkali-kali meyakinkan Sukarno akan perang total dengan sekutu. Sukarno marah-marah karena perbuatan amat gila berperang dengan pasukan sekutu. Para pemuda tidak tau akan nota Chequers 24 Agustus 1945, tapi para pemuda liwat insting politiknya yakin Belanda bermain di belakang sekutu, kejadian ini seperti 120 tahun yang lampau saat pasukan Inggris menyerahkan Jawa ke tangan Belanda setelah kekalahan Napoleon. Sukarno, Hatta dan Sjahrir tidak mau berspekulasi dan memutuskan untuk menganut garis “menghindarkan perang dan menyelamatkan nyawa orang banyak dari peperangan”. Lalu sekutu datang ke Tanjung Priok.

Kedatangan sekutu disana mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang Priok termasuk Hadji Tjitra (mertuanya Lagoa, jagoan Priok) dan Hadji Tjitra melaporkan kedatangan sekutu yang bersenjata lengkap juga beberapa orang berbicara bahasa Belanda kepada pemimpin pemuda Maruto Nitimihardjo. Kedatangan orang Belanda ini menjadi alasan bagi Pemuda untuk menembaki sekutu di Jalan-Jalan Djakarta, lalu Sukarno marah-marah dan membentak Maruto juga Pandu Kartawiguna “Hentikan Perang, Tolol!!”………… Maruto marah begitu juga dengan Pandu. Tapi di tempat lain sudah mulai muncul tokoh baru Tan Malaka, yang ternyata mereka kenal sebagai Ilyas Hussein seorang utusan pemuda dari Bayah, Banten.

Di Tanjung Mas, Surabaya Pasukan sekutu mendarat dan membebaskan banyak interniran perang Belanda. Banyak eks orang kaya Belanda langsung lupa diri, mereka kemudian berpesta. Di Hotel Yamato, para orang kaya Belanda menyiapkan pesta untuk mengganti nama Hotel Yamato ke nama semula yaitu : Hotel Oranje. Proses penggantian nama ini kemudian diikuti oleh pengerekan Bendera Belanda di atas hotal Yamato. Perintah pengerekan ini dilakukan oleh Ploegman salah seorang advokat Surabaya di jaman sebelum Jepang.