Sejarah Kelam Tambang Freeport (2)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Pelanggaran HAM

Setelah tujuh tahun beroperasi, timbul konflik sosial dan ekonomi antara Freeport dan masyarakat adat di sekitar wilayah pertambangan. Tahun 1974, suku Amungme yang berdiam di sekitar tambang menuntut Freeport membayar ganti rugi kepada mereka terkait pembabatan hutan perburuan suku itu. Freeport menyanggupi tuntutan itu, yang dituangkan dalam January Agreement 1974.

Freeport juga dikecam karena mengimpor seluruh bahan pangannya dari Australia melalui jalur udara. Baru pada 1978, Freeport bersedia membeli sebagian sayur-mayur dari petani Irian. Muncul pula ganggauan keamanan, misalnya, pemotongan kabel telepon, gangguan terhadap pipa minyak dan jalur kabel, blokade di jalan logistik serta peledakan instalasi tambang di Tembagapura.

Pada bulan Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi Indonesia. Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport yang tertuang dalam January Agreement. Hingga 1978 itu, Freeport tak memenuhi seluruh janji yang ada dalam perjanjian tersebut.

Pada 31 Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Insden ini menewaskan dua warga Amerika yaitu Tid Bargon dan Ricky Saipar dan seorang warga Indonesia bernama S.S Bambang Riwanto.

Tercatat sebanyak 13 orang pelaku penembakan, tiga di antara pelaku tersebut merupakan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yaitu Kapten Markus, Letnan Satu Wawan Suwandi, dan Prajurit Satu Jufri Uswanas.

Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas penyelesaiannya. Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd.

Proyek Infrastruktur Freeport

Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :

1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan.

2. Pembangunan sebuah kota baru.

3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.

4. Pembangunan bandara Timika. Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport

Proyek pertama senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.

Proyek kedua senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.

Tak lama kemudian, Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.

Sementara, proyek ketiga ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).

Proyek keempat yang mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.

Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.

Seluruh proyek-proyek di atas diduga berbau KKN yang dapat berlangsung mulus tanpa kontrol dari lembaga-lembaga negara terkait pada saat itu. Sebagai produk yang diduga berbau KKN, tentu saja Freeport mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun harap dicatat bahwa pada saat yang bersamaan, negara mengalami kerugian yang sangat besar, dan hal ini berpangkal dari kebijakan oknum-oknum Indonesia yang ber-KKN hanya untuk keuntungan pribadi & kelompok yang sedikit. Sekali lagi, KK dengan Freeport harus diperbaiki.

Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan Freeport

Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.

Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap bahwa bahwa tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport.

Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun juka dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31 trilyun.

Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.

Dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Freeport, mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab Freeport.

Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang mengamanatkan, aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud adalah yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, aktivitas penambangan tetap dilakukan disebabkan:

– Munculnya Perpu nomor 1 Tahun 2004 yang disahkan UU No.19 Tahun 2004 yang mengizinkan penambangan di hutan lindung

– Keperluan akan sumber energi dari bumi yang cukup besar dan keinginan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya

Regulasi yang kemudian mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan lindung cukup mengkhawatirkan kelestarian hutan lindung. Hutan tropis merupakan komunitas yang paling banyak menyerap energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi melalui evapotranspirasinya. Penambangan Freeport juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, karena penambangan memanfaatkan kawasan lindung, aktivitas penambangan hanya dibolehkan di kawasan budidaya. Pelanggaran terhadap tatanan ruang dapat berdampak pada penurunan kualitas tata ruang yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan dan manusia.

Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.

Hubungan TNI/Polri dan Freeport

Perusahaan tambang raksasa Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan. Koran The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan, pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI.

Para penerimanya mulai jenderal hingga kapten. Berdasarkan laporan itu, para komandan mendapat uang puluhan ribu dolar. Bahkan ada yang disebut mendapat US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar). Sejumlah pejabat kepolisian dan militer termasuk mantan Danjen Kopassus, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, disebut-sebut sebagai pihak yang menerima keuntungan dari kerja sama militer, kepolisian dengan Freeport. Hal ini juga diakui oleh Kapuspen TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa TNI pada dasarnya menerima semua bantuan militer. Bantuan militer itu akan diterima, dengan syarat dapat meningkatkan profesionalisme prajurit dan tidak bersifat mengikat.

Rekomendasi dan Tuntutan

Tambang Freeport adalah bukti salah urus sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di Tanah Papua.

Selama 42 tahun beroperasi, Freeport telah merusak tak hanya pegunungan Grasberg dan Ertsberg, tetapi sudah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan di muara sungai dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup dan mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Fakta kerusakan lingkungan akibat penambangan yang dilakukan Freeport ini disadari oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Republika, 23 Maret 2006). Sayangnya, pelanggaran tak ditindaklanjuti secara serius, meski Freeport terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997. Sementara itu, dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia, dan memberikan pendapatan yang tidak sebanding bagi negara.

Kesejahteraan penduduk Papua semakin jauh dijangkau. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dilimbah Freeport. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, bahkan jumlah penderita tertinggi berada di Papua. Kehidupan suku asli Papua pun terganggu eksistensinya, sejak ditandatanganinya KK I, alur hidup suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut. Kerusakan lingkungan sebagai bentuk destruktif aktivitas penambangan mengancam sumber alam bangsa.

Freeport masih menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah mengalami pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh Pemerintah bahkan terkesan diabaikan. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua. Untuk menghentikan penjajahan Freeport, menegakkan kedaulatan, memberikan pendapatan negara yang sebanding, menegakkan keadilan bagi penduduk Papua, maka kami menuntut agar pemerintah mengambil berbagai tindakan dan kebijakan strategis, yang antara lain adalah:

1. Pemerintah harus segera melakukan upaya nyata dan terukur untuk menyelesaikan berbagai kasus Freeport. Pertambangan Freeport di Papua harus ditinjau ulang secara menyeluruh. Pemerintah harus segera membentuk panel independen melalui peraturan presiden yang terdiri dari para ahli hukum, lingkungan, sosial, ilmuwan, tokoh-tokoh HAM dan wakil masyarakat Papua.

2. Melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport, yang lebih menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya.

3. Melakukan evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport mulai dari pengelolaan lingkungan hidup, pengolahan hasil tambang, pelanggaran HAM serta sosial ekonomi.

4. Memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnnya mengenai masa depan pertambangan tersebut.

5. Menindaklanjuti temuan-temuan pelanggaran hukum melalui instansi yang berwenang, termasuk diantaranya sejumlah pelanggaran hukum lingkungan, perpajakan, dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

6. Memetakan dan mengkaji sejumlah skenario bagi masa depan Freeport di Tanah Papua, termasuk kemungkinan penutupan, pengurangan kapasitas produksi, pengolahan limbah, dan pengembalian keuntungan kepada rakyat Papua secara bermartabat.

7. Meningkatkan pemilikan saham pemerintah di Freeport melalui konsorsium BUMN dan BUMD milik Pemda Papua & Papua Barat.

Bagi sebagian kalangan di pemerintahan, DPR, pakar, maupun perguruann tinggi, masalah Freeport sudah dianggap selesai. Mereka meyakini bahwa segala sesuatunya sudah tercantum dan disepakati dalam kontrak, dan seluruh ketentuan dalam kontrak tersebut harus dihormati dan dijalankan hingga akhir masa berlakunya pada tahun 2041. Mereka tidak terlalu peduli dengan berbagai kerugian yang diderita oleh negara dan rakyat berupa kehilangan/berkurangnya pendapatan negara, kehilangan kedaulatan, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh penduduk asli Papua.

Beragam hal yang merugikan itu harus diakhiri dan dikoreksi. Salah satu hal penting yang menjadi alasan kami adalah bahwa semua kebijakan dan kesepakatan merugikan yang tercantum dalam kontrak berpangkal pada kebijakan dan prilaku KKN pemegang kekuasaan masa lalu dan nafsu menjajah yang diusung oleh investor/negara asing. Menjadi sangat naïf dan layak dinilai tidak berdaulat serta tidak punya harga diri, jika kita sebagai bangsa tetap membiarkan kebijakan dan kontrak yang bermasalah ini berjalan sebagaimana berlaku selama ini, tanpa gugatan dan koreksi.

Oleh sebab itu, dengan tulisan ini kami mengajak kita semua, para tokoh, politisi, pakar, akademisi, aktivis, pemuda dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama bangkit menggugat pengelolaan sumber daya alam di Papua ini, agar sesuai dengan amanat konstitusi dan bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kontrak karya Freeport yang berlaku saat ini harus dibatalkan dan diganti dengan yang baru sesuai dengan amanat konstitusi, serta melibatkan peran BUMN dan BUMD Papua yang sangat signifikan dalam pengelolaannya.[]

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.(ts)