Siapa Radikal, Siapa Teroris?: Pembantaian Muslim ASEAN Yang Tak Kunjung Usai (4)

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang berakhir hari Minggu menghasilkan beberapa kesepakatan penting. Salah satu butir kesepakatan itu adalah tantangan bersama ASEAN untuk ikut andil menghadapi isu terorisme demi menciptakan perdamaian. Hal ini sebelumnya juga sempat ditegaskan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menilai selepas kematian Usamah bin Ladin, isu kejahatan lintas negara termasuk terorisme bakal menjadi salah satu fokus Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.

Alangkah naifnya hasil KTT ASEAN itu jika menyatakan ingin memberantas terorisme. Sebab sampai detik ini beberapa Negara pembesar lah yang memiliki rekam jejak menindas umat Islam di negaranya sendiri. Kisah umat muslim sebagai minoritas sangatlah menyedihkan di benua kecil Asia ini. Mereka hidup bagai anak kehilangan induknya yang dipermainkan musuh. Mereka tumbuh dalam bayang-bayang teror dan kematian. Masjid mereka dibakar, Al Qur’an mereka dirampas, bahkan istri mereka diperkosa di depan suami mereka sendiri. Sedangkan para pembesar-pembesar di negaranya berkumpul di Jakarta demi menciptakan perdamaian di ASEAN.

Sungguh amat ironis. Sekalipun menindas, mereka pun juga tidak disebut teroris. Tidak ada pengadilan yang jelas untuk mengusut pembantaian terhadap Umat Muslim di Tenggara Asia ini. Sekalipun berjalan, kasus ini pun akan larut ditiup angin, karena hukum dapat dibeli. Seharusnya mereka dapat berkaca terhadap apa yang dilakukan bangsa mereka terhadap muslim di negara mereka sendiri.

Sebab kita jangan lupa, ditengah peluru yang menyasar bumi Palestina, tidak jauh dari kita: Muslim Thailand, Muslim Myanmar, dan Muslim Filipina masih hidup bergelimang pembantaian. Yang ditindas disebut teroris, tapi sang penindas dianggap mampu mencitapkan perdamaian. Inilah kisah saudaraku yang dibantai "tetanggaku".

Nestapa Muslim Thailand Selatan: Pesantren Dibakar, Ustadz Dibunuh

Luka ini kita mulai ketika menyaksikan kekerasan di wilayah Thailand Selatan. Angka yang dicatat oleh National Reconciliation Council menyatakan, sepanjang tahun 2005 saja, tercatat 607 muslim yang meninggal dunia. Kekerasan di Thailand meningkat tajam saat pemerintahan di bawah Komando Thaksin Sinawatra mulai berkuasa. Beberapa tahun sebelumnya, wilayah selatan relatif aman dan tenang. Tapi hanya dalam dua sampai tiga tahun belakangan, jumlah kekerasana dan tragedi berdarah terjadi beruntun dan meminta kroban dalam skala esar. Peristiwa mesjid grisek pada april 2004 dan tragedi Tak Bai pada 25 oktober 2004 menelan puluhan Korban jiwa.

Ini belum lagi kebijakan tembak di tempat yang dikeluarkan oleh Thaksin untuk para pengedar dadah atau narkoba. Ribuan orang telah menjadi korban pembunuhan ala petrus atau penembak misterius seperti terjadi di Indonesia periode 1970-an.

Sebetulnya tuntutan masyarakat muslim di wilayah selatan ini cukup sederhana, mereka menuntut Thailand yang dulu bernama Siam untuk membebaskan lima provinsi di wilayah Selatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tapi ada daya tuntutan itu berbuah nyawa, ratusan orang meninggal karena terbunuh secara keji oleh pemerintah Thailand. Tidak hanya itu, sejak 4 Januari 2004 sampai dengan 30 April 2007, dalam hanya waktu tiga tahun, sebanyak 166 sekolah sudah musnah dibakar. Ini belum dihitung 40 sekolah di wilayah Yala, 56 sekolah di wilayah patani, 8 sekolah di Narathiwhat dan dua lainnya di Songkhla.

Sementara itu, kasus ini belum ditambah dengan sejumlah guru yang tewas karena pembunuhan. Menjadi guru bukan pekerjaan ringan di Thailand Selatan, karena sepanjang tahun di atas, 71 guru telah meninggal dunia akibat kekerasan dan penculikan yang berakhir dengan kematian. [1]

Seorang guru muslim berumur 30 tahun juga telah dibunuh dengan tembakan di daerah Yarang, Provinsi Pattani pada Kamis 24/7/2009. Guru tersebut ditempak saat dirinya sedang mengendarai sepeda motor dalam perjalanan pulang. Bisa dikatakan guru tersebut adalah guru keseratus yang dibunuh sejak pecah kerusuhan di daerah mayoritas muslim tersebut.

Tidak hanya membunuh umat muslim dan menutup sekolah, tapi pemerintahan Thailand juga memberangus pondok pesantren yang ada di Pattani. Bagi pondok, pondok yang mau menuruti tittah pemerintah mereka akan mendapatkan kucuran dana, subsidi dan bantuan pendidikan. Pemerintah juga akan mengirim guru-guru beragama Budha untuk mengajarkan Bahasa Siam dan Ilmu-ilmu lainnya di Pondok Tersebut. Maka terjadilah asimilasi besar-besaran pada bangsa dan budaya Melayu menjadi bangsa Thai.

Tekanan demi tekanan untuk menghapuskan sistem pendidikan pondok ini tak pernah surut sampai hari ini. Pondok sering dijadikan sebagai sasaran militer Thailand. Mereka menggeledah dan memeriksa dengan paksa pondok-pondok yang dituduh menyembunyikan para pejuang Patani atau melindungi mereka. Masyarakat Patani merasa aksi kekerasan dan tuduhan yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand ini sebagai usaha menindas hak pendidikan yang harus didapat oleh Masyarakat Patani.

Selain institusi yang menjadi serangan para pengajar di pondok, para ustadz dan juga dimasukkan sebagai daftar hitam oleh pemerintah Thailand. Mereka dituduh sebagai pejuang pembebasan Patani. Banyak Ustadz yang dikejar-kejar oleh alasan ini. Sejak 2004, banyak pula pondok yang akhirnya ditutup oleh pemerintah Thailand oleh alasan serupa. Kisah pemberangusan pondok di Patani ini bisa ditelusuri dari penutupan paksa Pondok Tuan Guru Haji Sulong al Fatani yang bernama Madrasah Al Ma’arif al Wataniyah tahun 1926. Kemudian secara massal militer Thailand memburu para guru dan Ustadz pasca unjuk rasa besar-besaran tahunn 1975.

Sejak bulan juli 2004, Undang-undang Darurat ditetapkan di Thailand Selatan. Korban akibat dari undang-undang itu dari tahun 2004-2006 sudah melebihi angka 1300 orang. Korban-koran berjatuhan mulai dari pihak Organisasi Pembebasan Patani (PULO), Mujahidin Islam Patani (MIP), Barisan Revolusi Nasional (BRN), Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP), dan Front Persatuan Pembebasan Pattani (FPPP).

Selain data kekerasan tentang guru, rezim Thaksin adalah masa-masa terberat bagi umat Islam. Data yang berhasil dihimpun, sejak januari 2004 sampai dengan November 2006, kasus kekerasan yang terjadi di seluruh provinsi di Thailand Selatan sebanyak 5.769 kasus dan korban tewas sebanyak 1.098. Jumlah yang cedera sebanyak 2920. Pada tahun 2005, tercatat jumlah lonjakan paling tinggi kasus kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan Tahuialnd, sebanyak 2.297 kasus dibukukan dan belum terselesaikan secara hukum sampai sekarang.

Selain itu, ribuan kaum Muslimin cedera dan selama periode Januari-Juni 2008. Tercatat 301 orang tewas dan 517 cedera. Kekerasan kali ini tercatat terbesar dan paling berdarah pasca-Kerajaan Siam (Thailand) yang menganut Budha ini menganeksasi kaum Muslimin Pattani di 1902. Mayat-mayat kaum Muslimin ditumpuk hingga mencapai 6 tumpukan.

Di Masjid Al Furqan, yang terletak di Desa Air Tempayan, terjadi pembantaian pada tahun 2009 yang mengakibatkan tewasnya 10 orang kaum Muslimin, dan belasan lainnya luka-luka. Kejadian keji ini dilakukan di dalam Masjid, tepatnya setelah kaum Muslimin melaksanakan sholat Isya berjamaah. Kini, di depan masjid saat ini selalu dijaga oleh penduduk setempat yang dikawal pemerintah Thailand.

Sampai saat ini ratusan bahkan ribuan umat Patani masih dipenjara. Mereka di penjara akibat keikhlasan hati mereka untuk menyatakan hak dan juga kesanggupan mereka untuk perjuangkan sesuatu yang sangat berarti bagi mereka yaitu sebuah Kemerdekaan Islam bagi tegaknya dienullah di Selatan Thailand.

Muslim Myanmar: Kalian Bukan Saudara Kami Orang Rohingya!

Selain itu kisah memilukan –bahkan lebih pilu dari Patani- terjadi di Myanamr. Kaum muslim di Myanmar berjumlah 15 % dari total penduduk yaitu sekitar 7 Juta orang. Kira-kira seperduanya berasal dari Muslim Arakan. Arakan sendiri adalah sebuah provinsi Myamnar bagian barat laut yang memiliki tapal batas dengan Bangladesh.

Kaum Arakan selalu mendapat penindasan yang kejam dari pihak pemeluk agama Budha. Di tengah siskaan itu mereka tetap bertahan, kendati banyak pula umat muslim Myanmar yang tidak kuat atas tekanan itu dan memilih untuk memeluk Budha. Kaum Arakan itulah yang kini bernama Rohingnya. [2]

Muslim Myanmar telah diberi label sebagai salah satu kelompok yang paling teraniaya di dunia. Ditengah hidup dirasa sulit, Pemerintah Myanmar pun menolak untuk mengakui mereka. Mereka mengatakan etnis Rohingya bukanlah penduduk asli Myanmar dan mengklasifikasikan mereka sebagai migran ilegal, padahal mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. [3]

Pemerintahan Islam pun sempat berlangsung beberapa abad di Arakan dan meluas sampai ke selatan maoulmein yang pada saat itu yang menjabat pada era kegemilanganya adalah sultan Salim Shah Razagri (1593-1612 M). [4]

Selama 49 tahun kemerdekaan Burma (Myanmar), jumlah Etnis Muslim Rohingya terus dikurangi, mulai dari pengusiran hingga pembunuhan. Sampai saat ini hanya tersisa sedikit umat Islam Rohingya di selatan Arakan sedangkan di bagian utara, Muslim Rohingya masih menjadi mayoritas.

Untuk membatasi jumlah populasi umat muslim dan ghirah ketakawaan Umat, Penghancuran Mesjid menjadi hal biasa. Ratusan Masjid dan Madrasah telah dihancurkan oleh pihak junta, bahkan Al Qur’an dalam banyak kasus dibakar dan diinjak-injak oleh tentara sedangkan kitab-kitab tentang Islam disita dan dijadikan sebagai bahan pembungkus. Pihak junta juga melarang kaum Muslim untuk melakukan berbagai ibadah.

Tindak pemerkosaan terhadap Kaum muslimah pun menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi sehari-sehari muslim Rohingnya. Tak jarang, tentara tiba-tiba masuk ke dalam rumah etnis Rohingya pada tengah malam dan memperkosa kaum wanita di depan suami dan anak-anak mereka. Pengaduan terhadap perlakuan ini hanya akan berujung pada penahanan oleh polisi terhadap pelapor bahkan dalam banyak kasus sang pelapor malah disiksa dan dibunuh.

Di sisi lain pihak junta juga mempersulit gadis-gadis Rohingya untuk menikah. Kita jadi ingat bagaimana program depopulasi yang sering menjadi bagian dari proyek zionisme internasional untuk menahan laju umat muslim. Bisa jadi apa yang terjadi di Myanmar juga terkait misi ini.

Masyarakat juga dipekerjakan sebagai porter militer. Mereka mendapat perlakuan kasar lagi pahit hingga sakit dan kematian menjadi hal yang melekat dakam kehidupan sehari-hari muslim Rohingya. Pemerintah juga sering mengumumkan adanya relokasi penduduk minoritas dengan alasan keamanan. Mereka disuruh pergi sedangkan tanah milik kaum muslim diambil oleh pemerintah. Data berikut akan memperpanjang daftar perlakuan diskriminatif pemerintah yang berkuasa terhadap muslim Myanmar. [5]

1. Pada tahun 1998 ada laporan bahwa penduduk di Wuntho berkewajiban membayar uang untuk merenovasi pagoda. Bila tidak membayar dikenakan denda 5 hari kerja membangun Pagoda

2. Di Twantay, Yangoon, umat muslim dibwajibkan untuk menjaga Pagoda Kuno Danoke. Penduduk boleh tidak menjaga, asal membayar uang pengganti

3. Di Bogalay, daerah Irawadi, pemerintah memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 32 mil di desa Pechaung dan Kadone, atau mencari penggantinya dengan menyewa orang dengan bayaran $10-$20. Padahal jalan itu tidak ada kaitannya dengan kepentingan umat muslim, karena diperuntukkan bagi peziarah Budha atas perintah rahib mereka di Pe-chaung.

4. Kelompok Islam di daerah Mangundaum di sekitar Arakan diperintahkan membangun pagoda di Dail Fara. Seorang penduduk berkomentar bahwa mereka diharuskan memerlukan 10 orang pekerja tiap minggunya.

5. Pemerintah melarang kaum muslimin untuk masuk militer atau naik jabatan ke level perwira menengah. Pemerintah yang berkuasa akan mengajak mereka untuk pindah agama ke agama Budha.

Rentetan peristiwa inilah yang menyebabkan ratusan ribu muslim Rohingnya migrasi ke Negara lain di tahun 1991. Naas di tempat mereka mengungsi pun, kehidupan mereka tak lebih baik memilukan dengan di kampung halaman. Seperti pepatah keluar dari mulut buaya masuk ke kandang macan. Di Thailand, misalnya, mereka justru ”dibuang” ke laut oleh otoritas Thailand.

Kelompok hak asasi manusia menyebutkan, Angkatan Laut Thailand telah dua kali mencegat perahu yang ditumpangi ratusan orang Rohingya kemudian meninggalkan mereka begitu saja di laut lepas dalam perahu tanpa mesin dan perbekalan berupa beberapa kantong beras. Akhirnya sejumlah kapal tenggelam dan sedikitnya 500 orang dilaporkan hilang.

Teror Muslim Filipina: Tanah Diambil, Rumah Dibakar

Kisah pembantaian terhadap muslim sampai sekarang juga masih terjadi di wilayah Filipina Selatan. Bahkan aumni-alumni jihad Moro yang pulang ke Indonesia, masih dikejar dengan tuduhan terkait misi terorisme. Padahal dalam saejarah justru Pemerintah Filipina yang disetir Amerika Serikat yang berperan sebagai pelaku terorisme sejati.

Amerika membantu militer Filipina untuk menyerang dan melakukan pengejaran kepada kelompok pejuang-pejuang Muslim, terutama di wilayah selatan. Tak hanya dengan pelatihan dan instruktur, tapi juga dengan persenjataan dan juga data intelijen. Salah satu buktinya, kelompok pejuang MILF pernah menembak jatuh pesawat pengintai tanpa awal milik Amerika yang sedang melakukan aktivitas mata-mata di wilayah selatan Filipina. Pejuang MILF menembak sebuah pesawat mata-mata milik Amerika di wilayah Talayan, Maguindanao pada Desember 2008 silam.

Februari 2008 silam, sebuah tim pencari fakta dibentuk untuk menyelidiki keberadaan militer Amerika di markas-markas militer Filipina. Tim yang bernama The Citizens Peace Watch ini menemukan fakta bahwa ada kehadiran militer Amerika di dalam markas besar militer Filipina di Zamboanga, Mindanao. Ini adalah bentuk operasi bersama antara militer AS dan Filipina untuk menyerang pejuang-pejuang MILF. Pasukan AS yang ada di markas ini menggunakan tanda pengenal DynCorp, sebuah badan semacam kontraktor militer AS yang sangat kontroversial keberadaannya.

Ini adalah secuil bukti betapa Amerika memang telah memberikan bantuan yang substansial pada militer Filipina untuk menindas kaum Muslim yang berada di wilayah selatan. Bukti lainnya yang bisa disatukan sebagai pecahan puzzle adalah proses migrasi penduduk non-Muslim dari wilayah utara ke selatan yang mayoritas Muslim.

Perkampungan-perkampungan penduduk Katolik dibangun di tengah-tengah wilayah perkampungan Muslim. Terjadi perampasan-perampasan tanah komunitas Muslim yang ada di Mindanao khususnya. Ironisnya, perkampungan yang merampas tanah penduduk Muslim ini justru dijaga oleh militer Filipina, bahkan beberapa kampung dipersenjatai. Tanah yang dirampas dan hak atas tanah itulah yang diperjuangkan oleh kaum Muslimin di wilayah selatan Filipina. Tapi tragisnya, justru mereka yang dituduh sebagai pemberontak, kekuatan separatis, bahkan diberikan julukan terorisme.

Perampasan tanah kaum Muslimin di Mindanao memang terjadi secara sistematis dan dilakukan oleh pemerintah Filipina. Pada tahun 1902 dibuat sebuah undang-undang dengan nama Land Registration Act No 496 yang mewajibkan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis dan di bawah sumpah. Tentu saja hal ini akan merugikan kaum Muslimin di selatan Filipina yang mewarisi tanah turun temurun dari Kesultanan Islam Sulu di masa lalu.

Lalu muncul lagi peraturan baru, Philippine Commission Act No 718 yang menegaskan bahwa hibah tanah dari para Sultan, Datuk, atau kepala suku non-Kristen dianggap tidak berlaku dan tidak sah jika dilakukan tanpa ada wewenang dan persetujuan dari pihak pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang ini, semakin sulit posisi kaum Muslimin di Mindanao.

Ada undang-undang lain, Public Land Act No 296 yang disahkan pada Oktober 1903 yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No 496 adalah tanah negara. Sementara The Mining Law of 1905 adalah peraturan yang menyatakan semua tanah negara di Filipina adalah bebas dieksplorasi, dibeli dan dimiliki oleh warga negara Filipina dan AS. Ditambah lagi dengan Cadastral Act of 1907 yang memberikan kewenangan penuh kepada orang-orang yang lebih berpendidikan dan mengerti tentang masalah pertahanan untuk melakukan klaim-klaim secara legal.

Daftar masih panjang. Quino-Recto Colonialization Act No 4197 adalah pintu gerbang yang dibuat untuk penguasaan tanah kaum Muslimin di wilayah Mindanao. Pada awalnya, pemerintah akan membuka jalan dan akses transportasi, selanjutnya mengadakan survei pertanahan, dan tahap berikutnya adalah membangun koloni-koloni baru yang didatangkan dari Utara agar kaum Muslimin tak menjadi mayoritas di wilayah Mindanao. Di bawah program National Land Settlement Administration, gelombang migrasi warga Kristen dari wilayah Utara masuk dan melakukan klaim tanah di Mindanao. Nyaris seperti yang terjadi di Palestina, Muslim Mindanao di Filipina Selatan mengalami pengusiran dan penindasan. Bedanya, pemerintah Filipina melakukannya seolah-olah dengan tindakan legal dan undang-undang.

Pengembalian hak itu pula yang dituntut dan diperjuangkan oleh rakyat Mindanao, termasuk para pejuang MILF. Selain dengan cara mengumpulkan kekuatan umat Islam dalam perlawanan bersenjata, jalur diplomatik pun ditempuh dengan mengajukan perundingan yang melahirkan Memorandum of Agreement Ancestral Domain (MOA-AD). Tapi ironisnya, setelah melalui perundingan panjang yang rumit dan melelahkan, yang difasilitasi beberapa negara OKI, di hari penandatanganan, tiba-tiba saja Pengadilan Tinggi Filipina membatalkan kesepakatan. Semestinya, peninjauan ulang terhadap hasil keputusan perlu waktu sekurang-kurangnya tiga bulan.

Tapi dalam kasus ini, entah karena tekanan apa tiba-tiba saja Malacanang menarik kesepakatan pada 5 Agustus 2008. Nota keberatan yang diajukan oleh Muslim Legal Assistance Foundation (MUSLAF), Consortium of Bangsamoro Civil Society (CBCS) dan juga Bangsamoro Women Solidarity Forum (BWSF) tidak digubris sama sekali. Bahkan mereka tak diberikan kesempatan untuk bertanya langsung pada Pengadilan Tinggi.

MOA-AD adalah sebuah perjanjian yang mengatur pengakuan atas tanah leluhur di wilayah Mindanao pada penduduk Muslim. Perjanjian ini dijalin antara dua komponen, pemerintah Filipina dan MILF. Di dalam MOA-AD dirancang pengaturan tentang hal-hal prinsip yang mengenai, teritorial, sumber daya alam, dan pengelolaannya merujuk pada tanah warisan Bangsamoro.

Kesepakatan yang dirancang di Libya ini diberi nama Tripoli Agreement on Peace pada 22 Juni 2001. Di dalamnya diatur tentang hak rakyat Mindanao mengurus dan mengelola tanah dan seluruh hasilnya secara independen. Termasuk memberikan hak kepada Bangsamoro memiliki identitas sebagai bangsa Muslim tersendiri. Hal ini sangat beralasan, sebab Mindanao merujuk pada era Kesultanan Sulu tak pernah ditaklukkan dan tak pernah dijajah oleh Spanyol. Tapi ketika Spanyol dikalahkan oleh Amerika, wilayah Mindanao dimasukan sebagai wilayah yang diserahkan pada Amerika.

Pada tanggal 27 Juli 2008, terjadi pertemuan yang sangat serius dan final di Kuala Lumpur. Semua telah setuju dengan seluruh klausul yang ada dalam MOA-AD. Tapi ketika akan ditandatangani secara resmi pada 5 Agustus 2008, semua kesepakatan dibatalkan sepihak oleh pihak Filipina. Padahal di hari itu sudah berkumpul Duta Besar Mesir yang menjadi penasihat dalam proses, dan juga Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) Eklemeddin Ihsanoglu. Datang juga Duta Besar AS untuk Filipina, Kristie Kenny, Duta Besar Australia, Jepang dan Brunei Darussalam. Diduga, ada tekanan-tekanan yang lebih besar berada di belakang pembatalan kesepakatan.

Gagalnya penandatanganan ini memicu kekerasan yang terjadi di wilayah selatan, terutama Mindanao. Pejuang-pejuang MILF yang merasa dikhianati oleh pemerintahan Filipina secara sporadis melakukan serangan pada fasilitas-fasilitas militer Filipina. Serangan balasan pun dilakukan, dan masyarakat sipil jatuh sebagai korban. Sebagian besar sipil yang menjadi korban dituding oleh militer Filipina sebagai pelindung dan menyembunyikan pemberontak.

Serangan yang terus terjadi, meluas pada sasaran sipil yang dilakukan oleh militer Filipina. Rumah-rumah dibakar, kekerasan serta pembunuhan terjadi pada masyarakat Muslim. Kurang lebih, sampai hari ini ada 600.000 kaum Muslimin di selatan Filipina yang terusir dari tanah dan rumahnya, dan kini mereka menjadi pengungsi. Di Maguindanao saja, data resmi yang berhasil dikumpulkan tentara Filipina telah membakar 1.700 rumah penduduk yang dituduh simpatisan MILF.[6] (pz/bersambung)

Catatan Kaki

[1] Herry Nurdi, Perjuangan Muslim Pattani, (Jakarta: Sabili Publishing, 2010) h. 14

[2] Awalnya mereka dinakakan Rohang, dan merupakan sebuah bangsa yang berdiri sendiri. Lebih lengkap baca, Seri penelitian PPW-LIPI, Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara : Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000) h. 48

[3] Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini merupakan bantahan bagi junta militer yang menyatakan, bahwa etnis Rohingya merupakan pendatang yang di tempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh. Memang secara fisik etnis Rohingya memiliki kesamaan fisik dengan orang Bangladesh. Merupakan keturunan dari campuran orang bengali, Persia, Mongol, Turki, Melayu dan Arab menyebabkan kebudayaan Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar. Termasuk dari segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu dan Bengali.

[4] M. Ali Ketani, Minoritas Muslim Di Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005) hlm. 204

[5] Sri Nuryanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar : Masalah Diskriminasi Sosial-Budaya, dalam Seri penelitian PPW-LIPI, Problematika minoritas Muslim di Asia Tenggara : kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta : Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000) h. 64

[6] Herry Nurdi, Gold, Glory and Gospel di Tanah Muslim, www.penerang.com, 12 Oktober 2010.