Skenario Bentrokkan Tentara AS dan RRC di Laut China Selatan

Ketika jet asing menolak untuk kembali, pilot China mulai mensimulasikan manuver serangan dalam upaya untuk mengintimidasi musuh mereka. Ketika taruhannya meningkat, pilot asing dengan bijak memutuskan untuk meredakan situasi dengan mundur ke tempat yang aman. Pilot Lu kemudian mengatakan kepada CCTV bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk menembak jatuh para penyusup jika situasinya menuntutnya.

Dia berkata: “Jika [mereka]memulai pertarungan, saya akan bertarung.

“Pilot siap setiap saat, dan tidak ada yang perlu diragukan lagi.”

Meskipun laporan CCTV tidak mengidentifikasi kewarganegaraan pesawat yang mengganggu itu, para ahli mengatakan bahwa mereka kemungkinan besar dari AS.

Menurut pemantauan yang dilakukan Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan (SCSPI), angkatan udara AS mengirim setidaknya 35 pesawat mata-mata ke wilayah tersebut Mei lalu.

Xu Guangyu, penasihat senior Asosiasi Kontrol dan Perlucutan Senjata China, mengatakan kepada Global Times pada Minggu lalu bahwa Washington telah meningkatkan upayanya baru-baru ini untuk mengumpulkan intelijen tentang Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Dia mengklaim bahwa AS telah mengirim pesawat pengintai elektronik dan pesawat anti-kapal selam untuk operasi pengintaian jarak dekat.

Pekan lalu, AS mengatakan pihaknya membutuhkan kehadiran pasukan militer yang “dapat dipercaya dalam pertempuran” di Laut China Selatan untuk mencegah agresi China. Ely Ratner, calon asisten Menteri Pertahanan AS, mengatakan kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat Rabu bahwa “postur pasukan ke depan yang kredibel dalam pertempuran” diperlukan untuk “mencegah, dan jika perlu, menolak skenario fait accompli”.

Sebagaimana dalam artikel sebelumnya, penulis mengungkap bahwa Laut China Selatan seolah menjelma menjadi destinasi pertempuran berikutnya antara AS dan China mengingat kawasan itu sangat memungkinkan bagi “wisatawan militer” dari kedua negara adidaya tersebut untuk menunjukkan segala “kemolekan” postur pertahanannya jika dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Terlebih, ambang batas suhu pertempuran di laut China Selatan bisa segera naik di bawah Presiden terpilih Joe Biden.

Harus diakui, AS dan China merupakan dua negara ekonomi terbesar dunia yang saat ini bersaing dalam segala hal mulai dari perdagangan hingga virus corona. Persaingan lain dari dua negara adidaya itu sepertinya akan lebih meluas yang memicu memicu konfrontasi militer antara keduanya. Meskipun pejabat tinggi pertahanan dari AS dan China terus menjalin komunikasi bahkan ketika hubungan yang lebih luas telah memburuk, nasionalisme yang lebih kuat di kedua negara meningkatkan taruhan politik dari setiap krisis yang ada, demikian diungkapkan Karen Leigh, Peter Martin and Adrian Leung.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah meningkatkan jumlah “operasi kebebasan navigasi” —yang dikenal sebagai FONOP — di Laut China Selatan yang bertujuan untuk merespon klaim China atas perairan tersebut. Hal ini bisa dicermati dari serangkaian manuver saat ini, yang melibatkan kapal-kapal angkatan laut yang berlayar dalam batas teritorial dari fitur-fitur darat yang diklaim oleh China, yang mencapai level tertinggi dari 10 tahun lalu setelah total hanya lima dalam dua tahun terakhir pemerintahan Obama.