Skenario Bentrokkan Tentara AS dan RRC di Laut China Selatan

Juga Kalau dilacak dari upaya provokasi AS terhadap China dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018. Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.

Dan sekarang, suara provokasi AS itu kian nyaring terdengar dengan keberadaan kapal induk USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk melakukan operasi di Laut China Selatan pada Juli lalu.

Seperti dilaporkan CNN, otoritas Angkatan Laut AS menyatakan bahwa beroperasinya kapal induk AS, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, tidak lain adalah untuk “melakukan beberapa latihan taktis yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan udara, dan memperluas jangkauan serangan maritim jarak jauh presisi dari pesawat berbasis kapal induk.”

Sepertinya, Presiden AS Joe Biden tampaknya akan mempertahankan atau bahkan memperluas jumlah FONOP. Jake Sullivan, yang didapuk menjadi penasihat keamanan nasional AS, tahun lalu, menyesali ketidakmampuan AS untuk menghentikan China dari militerisasi fitur tanah buatan di Laut China Selatan, dan meminta AS untuk lebih fokus pada kebebasan navigasi.

“Kami harus mencurahkan lebih banyak aset dan sumber daya untuk memastikan dan memperkuat, dan bersama mitra kami, kebebasan navigasi di Laut China Selatan,” kata Sullivan kepada ChinaTalk, sebuah podcast yang dipandu oleh Jordan Schneider, seorang asisten yang bertugas di Center for a New American Security yang berbasis di Washington.

Memang AS selama ini telah memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan di perairan Asia sejak Perang Dunia II. Namun pembangunan militer Beijing, dikombinasikan dengan langkah-langkah untuk memperkuat daya cengkeramannya di wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat menghalangi akses militer AS ke perairan di lepas pantai China. Pada gilirannya, AS semakin berupaya untuk menunjukkan hak untuk melakukan perjalanan melalui apa yang dianggapnya sebagai perairan dan wilayah udara internasional.[TheGlobalReview]

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)