Tambang Emas Freeport: Kekayaan Negara yang Terampas (2)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Potensi Tambang Raksasa Freeport

Permintaan akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan peningkatan sektor industri, terutama industri yang berkaitan dengan sektor telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai produsen tembaga tentunya sangat diuntungkan oleh kebutuhan industri ini.

Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada tahun 1995. Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen lainnya seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum produksi.

Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport. Produksi tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991 sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini produksi tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.

Wilayah penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.

1. Potensi Ertsberg

Pada tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy melakukan ekspedisi petualangan ke tanah Papua bersama timnya. Dozy dan timnya sampai pada puncak pegunungan, di mana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Dari penemuan lokasi singkapan itu kemudian mengantarkan pada ditemukannya “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda pada tahun 1939. Laporan itu mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua untuk mempelajari lebih jauh tentang hasil temuan tersebut dan meyakini bahwa cadangan mineral Ertsberg akan menjadi cadangan tembaga terbesar. Dugaan tersebut terbukti, Ertsberg merupakan cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Ertsberg terdiri dari 40-50 persen oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dalam bentuk mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga). Dengan demikian, Ertsberg merupakan deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas permukaan tanah . Analisis laboratorium memastikan perkiraan ekspedisi bahwa terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Jumlah keseluruhan diperkirakan mencapai 50 juta ton bijih.

Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar mengapa pada awalnya lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura. Disamping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas yang semula ”dianggap” hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.

Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by product ini karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Disamping itu Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.

Dari data yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral . Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg adalah US$ 2000/ton, pendapatan yang dapat diraih dari seluruh potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton) = US$ 70 miliar.

Perlu diingat bahwa selama periode Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, dan smelter yang digunakan untuk memurnikan hasil tambangnya dilakukan di Jepang dan Amerika. Disamping itu, seperti disebutkan di atas tambang ”Tembagapura” juga menghasilkan emas yang diakui sebagai ”by product”, yang saat itu dijual oleh Freeport tanpa kontrol pemerintah. Dengan demikian, total nilai pendapatan yang telah dihasilkan oleh Freeport selama menambang Ertsberg diyakini lebih besar dari US$ 70 miliar yang disebutkan di atas.

2. Potensi Grasberg

Setelah me-review produksi dan pendapatan Ertsberg, kita juga akan membahas potensi produksi dan pendapatan tambang Grasberg. Untuk itu kita melihat data cadangan mineral Grasberg yang terindikasi sejak 31 Desember 1995 pada Tabel 1 di bawah ini.

Wilayah konsesi Freeport di Grasberg menyimpan potensi tembaga, emas dan perak dalam jumlah yang sangat besar. Kandungan logam yang terdapat pada deposit sangat tinggi, yaitu 1,9 miliar ton. Deposit logam tersebut mengandung potensi cadangan tembaga 18 juta ton (40, 3 milyar pond), emas mencapai 1600 ton (52,1 juta ons) dan perak 3400 ton (111 juta ons). Dengan kapasitas yang ada sekarang 115.000 MTPD (million ton per day), diperkirakan umur tambang tersebut sekitar 46 tahun (estimasi tahun 1994 adalah 27 tahun).

Potensi cadangan tembaga, emas, dan perak, dari tahun ke tahun dapat saja berubah, tergantung hasil eksplorasi yang dilakukan. Oleh sebab itu, untuk tambang Grasberg potensi cadangan menunjukkan trend yang terus meningkat. Selama periode 1990-1995, potensi cadangan tembaga meningkat 190%, cadangan emas meningkat 167% dan cadangan perak 220%. Sedangkan pada akhir Desember 2001, kita catat bahwa cadangan emas secara agregat adalah 64,5 juta ons, dan cadangan tembaga secara agregat adalah 52,5 miliar ons.

Cadangan Grasberg yang ditemukan tersebut akhirnya melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Berdasarkan data-data yang ditampilkan pada Laporan Keuangan Freeport bulan Juni 2009, kita menemukan bahwa cadangan emas dan tembaga tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons dan 35, 6 juta ton. Dengan harga rata-rata emas dan tembaga sepanjang periode tambang diasumsikan masing-masing sebesar 900US$ /ons, dan 5.000 US$ /ton, total potensi pendapatan emas tambang Grasberg adalah ( 38,5 juta ons X 900US$ /ons) = 34, 65 US$ miliar. Sedangkan total potensi pendapatan tembaga tambang Grasberg adalah (35, 6 juta ton X 5.000 US$/ ton) = 178 US$ miliar.

Jika diasumsikan mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga, total potensi pendapatan tambang Grasberg adalah sekitar US$ 212,65 miliar. Namun, karena adanya kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 3000 triliun! Indonesia harus mendapatkan bagian yang lebih besar dari potensi ini.

Pendapatan Freeport dan Perubahan Menjadi Perusahaan Raksasa

Berdasarkan potensi kandungan mineral yang diuraikan di atas, diperoleh bahwa total pendapatan yang dapat diterima di Ertsberg minimal US$ 70 miliar dan total potensi pendapatan di Grasberg bernilai sekitar US$ 300 miliar. Dari total potensi tersebut, kita menemukan bahwa sejauh ini Freeport sebagai penambang, telah memperoleh porsi pendapatan yang lebih besar dibanding negara sebagai pemilik sumberdaya. Hal ini dapat kita temukan dari data-data yang diperoleh maupun dalam laporan keuangan yang diterbitkan Freeport.

Pendapatan berdasarkan estimasi potensi mineral selama periode Ertsberg di atas adalah sekitar US$ 70 miliar. Kami tidak menuduh bahwa Freeport telah melakukan manipulasi. Namun, fakta bahwa emas diakui sebagai by product pada awal penambangan, dan bahwa perak tidak dinyatakan sebagai mineral yang dihasilkan, merupakan potensi pendapatan yang sangat besar yang mungkin saja disembunyikan dalam laporan keuangan resmi Freeport. Dengan demikian, jika hal ini benar, tidak mengherankan kalau Freeport yang pada awal berdirinya adalah perusahaan gurem bisa menjelma menjadi perusahaan raksasa dalam waktu singkat.

Dugaan penipuan atau penyembunyian total pendapatan dari unsur emas sebagai “by product” ini pada gilirannya telah pula merugikan penerimaan negara dalam jumlah sangat besar. Mereka menjadi besar diduga karena menipu dan menjajah. Tetapi memang ini terjadi akibat adanya penyelewengan dan KKN oleh oknum-oknum Indonesia juga.

Berdasarkan tabel di atas, jika kita membandingkan akumulasi pendapatan PT Freeport Indonesia (2004-2008) dengan penerimaan Indonesia (2004-2008) akan dapat terlihat nyata, bahwa Indonesia sangat dirugikan. Total pendapatan PT Freeport Indonesia dari tahun 2004-2008 adalah US$ 17,893 miliar. Jika seluruh pengeluaran biaya operasi dan pajak yang dikeluarkan Freeport diasumsikan 50% dari pendapatan, penerimaan bersih Freeport selama 2004-2008 adalah US$ US$ 8,946 miliar.

Pada Tabel 2 di atas kita juga dapat menghitung total penerimaan dari berasal dari pajak dan royalti sebesar US$ 4,411 miliar. Dengan demikian, Indonesia sebagai pemilik sah sumberdaya mineral tersebut justru memperoleh penerimaan yang lebih kecil dibanding Freeport sebagai kontraktor pemegang hak KK, dengan perbandingan U$ 4,411 miliar (Indonesia): U$$ 8,946 miliar (Freeport). Perbedaan penerimaan yang merugikan Indonesia ini harus segera diubah, dan caranya adalah dengan renegosiasi KK dan pemilikan saham Freeport oleh BUMN.

Seperti disebutkan di atas, disamping tembaga, Freeport merupakan penghasil utama emas Indonesia. Emas saat ini menjadi produk utama Freeport, bukan lagi tembaga. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan galian/deposit yang ditemukan. Produksi emas ini terus meningkat hingga mencapai 67% dari produksi emas nasional pada tahun 1995.

Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki PT Freeport Indonesia hingga akhir tahun 2005 mencapai US$ 5,55 miliar. Pada Januari 2006, PT FI mengumumkan pendapatan tahun 2005 mencapai angka US$ 4,012 miliar (setara Rp 40 triliun), naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Bahkan pada tahun 2007 menyebutkan pendapatan PT FI mencapai US$ 5,315 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan Juni 2008, dapat dilihat bahwa nilai total asset PT FI adalah sebesar US$ 23,35 miliar. Sebagai kesimpulan, kita mendesak agar pemerintah Indonesia segera memiliki saham di Freeport. Namun, harga saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX. Harga saham tersebut haruslah lebih kecil, dengan memperhitungkan berbagai penyelewengan dan kemudahan yang telah diterima PTFI selama berinvestasi di Indonesia. (bersambung)

foto ilustrasi: safecom

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.