The Shock Doctrine: Omnibus Law dan Eksploitasi Pandemik

Beberapa negara memanfaatkan pandemik dengan berbagai cara:

1. Di Hongaria, segera setelah wabah Covid melanda seluruh dunia, parlemen mengeluarkan undang-undang yang memberi Perdana Menteri nasionalis Viktor Orban kekuatan darurat yang besar, yang memberi PM kekuatan tak terbatas untuk mendukung kepemimpinannya daripada menggunakannya untuk melawan virus. Tidak lama setelah RUU itu disahkan, Orban menandatangani perjanjian pinjaman senilai $ 2,1 miliar dengan China untuk membiayai jalur kereta api antara Budapest dan Beograd. Ini akan menjadi Belt and Road Initiative besar pertama di Eropa

2. Di AS, Pemerintahan Trump juga memerintahkan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) untuk menangguhkan penegakan hukum lingkungan selama krisis virus korona dan menurunkan standar emisi bahan bakar untuk kendaraan yang dijual di AS. Suspension of the laws ini merupakan kemenangan besar bagi perusahaan minyak.

3. Di Indonesia, rumah kita, para pembuat hukum (Lawmakers) tiba-tiba menjadi sangat aktif dan menjadi pekerja keras selama pandemik untuk meloloskan Omnibus Law yang berpotensi menjadi pintu liberalisasi against pasal 33 UUD 1945 dan melibas semua aturan penghambat atas nama “investasi”. Ini menakjubkan buat saya karena biasanya sebuah RUU bisa menghabiskan 1-

2 periode (5-10 tahun) untuk menjadi UU, dan tidak secepat ini.

Yang menjadi masalah buat kita adalah bukan “efisiensi” hukumnya. Tapi sifat ketergesaan dari pembahasannya yang membuat masyarakat bertanya: kepentingan siapa yang sedang dilayani?

Karena kepentingan masyarakat saat ini adalah kebijakan penanggulangan Covid dan ketersediaan basic income yang justru gagal dilaksanakan.

Jika saya menghimbau adek-adek dan masyarakat untuk bergerak (offline atau online), tapi Covid menjadi alasan untuk tidak bergerak, justru kita harus melihat sebaliknya bahwa selama pandemik lah kita banyak kecolongan.

Saya akhiri catatan singkat saya dengan satu pesan: Cobalah sekali-kali berpikirlah dengan kepala sendiri. Jangan terlalu banyak baca artikel yang berseliweran yang meringkas permasalahan kompleks hanya dalam beberapa paragraf. Undang-undang  itu bukan hanya teks, melainkan  ia punya konteks, juga ada kaitan erat intertekstual dan interkontekstual dengan Undang-undang lainnya.

Jadi dalam menyimak berita , jangan  hanya mengandalkan informasi dari artikel dan cuplikan berita sana-sini.

(sumber: Global Review Indonesia)

Ditulis oleh Nuning Hallet, pakar dalam bidang Social Entrepreneur dan  aktif di Diaspora Indonesia.