Tragedi Muslim Uyghur Dalam Kajian Geopolitik

Nah, telaah atas bergolaknya Xinjiang pada catatan ini tidak menggunakan sudut pandang HAM, history, ataupun sentimen sektarian dst tetapi melalui perspektif geopolitik sebagai pisau bedah dengan perbandingan konflik di negara lain.

Geopolitik mengajarkan, bahwa sesungguhnya tidak ada perang agama di dunia melainkan karena faktor (geo) ekonomi. Perang atau konflik apapun, termasuk konflik bermenu sektarian sebagaimana kejadian di Xinjiang — cuma tema belaka. Itu hanya open agenda. Sedang tujuan (hidden agenda) atau skema kolonialnya tetap lestari yakni (menguasai) geoekonomi. Barangkali, inilah clue atau password guna mengurai lanjut penindasan muslim Uighur di Xinjiang.

Tak dapat dielak, bahwa geoekonomi adalah motif utama dari kaum penjajah –perilaku ofensif geopolitik– siapapun, kapanpun bahkan dimanapun, terutama apabila si pelaku adalah adidaya dengan ideologi kapitalis dan/atau komunis. Kenapa begitu, sebab watak kedua ideologi hampir sama, yakni mencari bahan baku semurah-murahnya serta mengurai pasar seluas-luasnya. Maka penjajahan merupakan metode baku sistem kapitalisme dan/atau komunisme meski modusnya kerap tak sama.

Selanjutnya, geoekonomi pada penjajahan purba arahnya mencari rempah-rempah, sedang titik tuju kolonialisme modern — selain cakupan (geoekonomi) lebih luas, bukan cuma rempah-rempah, juga penguasaan air bersih, pangan dan energi (water, food and energy). ini sejalan dengan doktrin Henry Kissinger, mentor Partai Republik: “Control oil and you control nation, control food and you control the people“. Kuasai minyak anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda akan menguasai rakyat.