Tragedi Muslim Uyghur Dalam Kajian Geopolitik

Nah, pipanisasi minyak Cina dari Kunming hingga pelabuhann Kyaukphyu, Teluk Benggal mutlak harus dipastikan stabilisasinya tanpa kendala atas hal-hal di atas permukaan. Dan nasib Rohingya, mereka hidup di atas tanah area pipanisasi yang tengah dibangun oleh Cina-Myanmar. Maka ibarat pembebasan tanah untuk proyek tertentu, ganti rugi bagi penduduk di atas dan sekitaran proyek selain akan berbiaya tinggi juga tak mudah. Biasanya terjadi perlawanan sengit baik secara fisik maupun jalur hukum. Proyek perlu cepat dan pasti. Maka sesuai asumsi di atas, jalan pintas adalah ciptakan huru-hara guna “memindah” warga sekitarnya. Dan terbukti setelah timbul konflik antara etnis Rohingya versus oknum Budha, gelombang pengungsian berduyun-duyun keluar dari “tanah kutukan”. Begitulah narasi singkat dan sederhana tentang tragedi Rohingya. Conflict is protection oil flow.

Agaknya di Xinjiang, tragedi tanah kutukan pun berulang. Retorikanya sederhana, “Seandainya Xinjiang hanya penghasil bakpao dan sandal jepit, mungkinkah ada mobilisir suku Han mendesak Uighur dan diberdirikan kamp-kamp konsentrasi oleh rezim komunis?”

Bagi Cina, Xinjiang itu ibarat gadis cantik yang menawan. Saat ini, “tidur” saja menarik apalagi bila ia bangun dan berhias. Oleh sebab itu, gadis Xinjiang harus ditaklukan secara total. Kenapa? Banyak leverage atas takdir geopolitik dan geoposisinya. Antara lain, selain sebagai produsen minyak signifikan karena 25% total cadangan minyak dan gas, juga 38% cadangan batubara Cina berada di Xinjiang. Belum lagi telah ditemukan potensi minyak di Lembah Janggar, termasuk 122 mineral langka di antaranya — menurut Science.gov ada potensi cadangan uranium di Yili dan Basin.

Geoposisinya berbatasan dengan Kirgistan, Kazaktan, Mongol, Rusia, dan lain-lain menjadikan ia jalur utama penghubung antara Cina dengan Asia Selatan dan Eurasia, termasuk lintasan proyek fiber optik yang membentang antara Shanghai – Frankfrut. Dan yang paling penting bahwa ia adalah titik mula bahkan simpul vital bagi One Belt One Road(OBOR), proyek Jalur Sutra Baru yang digagas Xi Jinping yang telah melintas 60-an negara di Asia Afrika bahkan hingga Eropa dimana secara kuantitas, geliat OBOR sudah melebihi Commonwealth yang beranggota 53 negara ex jajahan Inggris. Itulah sekilas learning pointatas konflik di Suriah, Rohingya dan terutama di Xinjiang bila ditelaah dari perspektif geopolitik.

Tak ada maksud menggurui siapapun terutama pihak-pihak yang berkompeten melainkan sekedar sharing informasi untuk pembelajaran bersama. Mengingat keterbatasan waktu dan wawasan, sekiranya kritik dan saran guna penyempurnaan telaah ini sangat diharapkan.

Akhirnya sebelum mengakhiri telaah kecil ini, ada retorita out of the box menyelinap di benak, bahwa sejalan dengan pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, jangan-jangan penarikan pasukan Amerika dan sekutu dari Suriah oleh Donald Trump kelak justru dimobilisir ke Xinjiang atas nama pelanggaran HAM? Hal ini terlihat framing media Barat justru gencar mengeksploitasi penindasan aparat Cina terhadap etnis Uighur.

Demikian adanya, terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)