Virus Korona: Antara Azab atau Modus Serangan Asimetris?

Modus semacam ini yang sering disebut dengan istilah soft power atau smart power. Senyap. Tanpa bunyi peluru, tak tercium asap mesiu. Namun pola ITS ini juga kerap dipakai pada modus hard power yang melibatkan kekuatan militer. Contohnya, (1) isunya WTC/9-11; (2) agendanya serbuan koalisi militer pimpinan AS ke Afghanistan; dan (3) skemanya ternyata kavling-kavling minyak. Di Irak pun begitu. Isunya Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal; agenda/temanya serbuan militer oleh NATO dan ISAF; dan skemanya ternyata juga kavling-kavling sumur minyak di Irak.

Sekarang contoh di model smart power. Isunya flu burung; agendanya daging langka atau daging mahal; skemanya ialah perluas impor daging atau tambah quota impor.

Jadi, sebenarnya antara smart power dengan hard power itu —dalam geopolitik— selain polanya sama (ITS), juga skemanya tidak berubah sepanjang masa yakni pencaplokan (geo) ekonomi negara target. Keduanya, serupa tetapi tak sama. Serupa dalam hal pola, tak sama pada modus dan caranya.

Ketika para analisis dan pengkaji geopolitik membaca begitu cepat meluasnya isu Wuhan atau virus korona, lantas pertanyaannya: “Apa agenda yang hendak diprogramkan, dan adakah skema yang ingin diraih si pemilik hajatan?”

Jika merujuk pola asymmetric war selama ini, bila tak lama berselang usai isu Wuhan viral di publik, maka silahkan cermati drama lanjutannya, apakah ada korporasi global dibidang farmasi atau negara tertentu giat mengkampanye dan menawarkan semacam anti-virus, suntik anti-korona, dan seterusnya maka sangat kuat diduga, bahwa korporasi/negara tadi terindikasi selaku pemilik hajatan dari skenario virus korona. Dan korporasi dimaksud, bisa jadi justru berasal dari Cina sendiri, dan terlebih lagi korporasi asing dari luar Cina.

Ada pertanyaan menggelitik, kenapa Cina diasumsikan juga sebagai pemilik hajatan dalam isu korona; alangkah naif jika ia justru mengorbankan rakyatnya sendiri (playing victim)?

Geopolitik mengajarkan, setiap tujuan niscaya membawa korban. Tak peduli warna bulu kucing yang penting bisa menangkap tikus, kata Mao. Dalam manajemen, ini goal oriented. Siapapun korban yang utama tujuan tercapai. Nah, para korban inilah yang kerap disebut dengan istilah “tumbal politik”. Dan itu sudah jamak di dunia (geo) politik praktis.

Dan dari pointers diskusi ini setidaknya mulai tergambar sketsa, apakah virus korona itu sebuah azab atau modus dari sebuah peperangan asimetris? Silahkan dicermati sendiri babak selanjutnya. Wait and see.

Mengakhiri catatan kecil ini, tidak ada maksud menggurui siapapun pada ulasan ini, terutama para pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing pengetahuan dan wawasan. Apapun analisa, memang belum layak dianggap kebenaran, apalagi untuk pembenaran. Kritik dan saran tetap terbuka guna penyempurnaan tulisan ini guna mendekati kebenaran sejati, yakni kebenaran-Nya.

Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)