Wajah PKS Pasca 'Gebrakan' Yusuf Supendi


‘Gebrakan’ yang dilakukan salah seorang pendiri Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Yusuf Supendi, sepanjang dua pekan terakhir ini tidak ayal akan memberikan dampak signifikan terhadap wajah PKS di mata publik.

Kritik atau lebih tepatnya tuduhan yang dialamatkan ke elit PKS tersebut langsung menghujam jantung pertahanan PKS.

Secara substantif, di luar benar tidaknya tuduhan itu, ditimbang dari perilaku umumnya elit partai di negeri ini terkesan begitu ringan. Terlebih hal itu berkaitan dengan dinamika internal partai.

Tapi jika dianalisis lebih dalam, dan karena itu menyangkut PKS yang ‘menjual’ jargon bersih dan peduli, dampak yang mungkin terjadi tidak lagi bisa dianggap sepele. Publik seperti melihat sisi lain dari wajah PKS yang diwakili para elitnya.

Ada tiga hal yang diungkap Yusuf Supendi berkaitan dengan elit PKS yang bisa disimpulkan publik.

Pertama, adanya politik transaksional yang terjadi di elit PKS, dan itu diungkapkan Yusuf dalam kasus ‘mahar’ pilkada pilgub DKI Jakarta 2007.

Kedua, adanya prosedur keuangan yang tidak sehat, terutama yang berhubungan dengan aliran uang yang berasal dari pihak eksternal. Dan ini dimunculkan Yusuf dalam kasus dugaan ‘penggelapan’ uang Rp 10 milyar oleh Anis Matta di pilkada DKI Jakarta. Dalam kaitan dengan ini pula, Yusuf juga ‘menembak’ ketua majelis syuro PKS, Hilmi Aminuddin, yang menurutnya gesit dengan uang setoran. Tapi, Yusuf tidak merinci soal uang setoran yang dimaksud. Dan ini langsung dibantah Hilmi sebagai fitnah.

Ketiga, kasus poligami bermasalah yang dilakukan beberapa elit PKS. Setidaknya, tiga tokoh PKS disebut Yusuf dalam kasus ini: Luthfi Hasan yang juga menjabat presiden partai, Tifatul Sembiring yang merupakan mantan presiden partai, dan Mahfudz Siddiq yang saat ini sebagai wakil sekjen PKS.

Dalam kaitan dengan tuduhan pertama yakni politik transaksional, publik sebenarnya sudah mengetahui itu sejak lama. Yaitu, sejak terjadi ‘kebingungan’ PKS dalam menentukan dukungan untuk pilpres tahun 2004. Saat itu, majelis syuro yang cenderung dan akhirnya memutuskan mendukung Amin Rais. Sementara, dua tokoh PKS seperti Hilmi Aminuddin dan Anis Matta yang cenderung dan menggalang kekuatan kader untuk mendukung Wiranto.

Belakangan, sebuah majalah nasional memuat wawancara tim sukses Wiranto soal besaran uang ‘mahar’ yang ditujukan ke partai-partai pendukung. Dan salah satu partai yang disebut adalah sebuah partai Islam yang cukup berpengaruh sudah menerima 21 milyar rupiah. Tim sukses ini mengungkapkan kekecewaannya karena partai yang dimaksud akhirnya tidak menepati janji dengan mendukung calon lain.

Perseteruan dua kubu elit ini mulai tampak reda ketika pada putaran kedua, PKS akhirnya mendukung pasangan SBY Kalla. Dalam kaitan ini, Yusuf Supendi menyebut angka 34 milyar rupiah yang diterima bendahara PKS waktu itu, Luthfi Hasan, dari cawapres waktu itu, Yusuf Kalla.

Mulai saat itu, politik transaksional yang dilakukan PKS juga merembes pada tingkat pilkada, baik pilgub hingga pilbupati dan walikota di seluruh Indonesia. Beberapa kasus yang akhirnya heboh di tingkat publik selain pilkada DKI Jakarta, adalah kasus pilkada di Sumsel. Saat itu, terjadi gejolak di kalangan kader PKS setempat karena sang calon dinilai bermasalah dalam etika karena tersangkut kasus judi.

Begitu pun dalam kasus pilkada Jawa Barat. Publik akhirnya menemukan angka Rp 100 milyar dalam proposal ’mahar’ PKS untuk cagub Dani Setiawan. ’Sayangnya’, pihak partai Demokrat keburu mengambil posisi wakil, dan otomatis transaksi itu pun batal. PKS akhirnya meloloskan calon dari kader sendiri, Ahmad Heryawan. Dan di luar perkiraan, termasuk dari kalangan internal PKS sendiri, pasangan inilah yang akhirnya menang.

Kasus lain yang terungkap ke publik adalah yang terjadi di pilkada Blitar dan Karanganyar. Walaupun di tingkat kabupaten, angka milyaran tetap mencuat sebagai ’mahar’ untuk PKS. Walaupun, tudingan ini dibantah pihak PKS setempat.

Dari sekian calon kepala daerah yang diusung PKS, beberapa di antaranya akhirnya berstatus tersangka dan terdakwa. Antara lain, gubernur Sumut yang saat ini ditangani KPK. Begitu pun dengan yang di Bengkulu dan Sumsel.

Publik mendapatkan sebuah kesimpulan terhadap partai dakwah anak muda ini. Yaitu, tak peduli siapa pun calon yang akan didukung, yang penting duitnya gede.

Kedua, soal tuduhan ’penyimpangan’ uang di elit PKS yang dituduhkan Yusuf terhadap Anis Matta di pilkada DKI Jakarta, sekaligus tuduhan ’setoran’ untuk ketua majelis syuro, Hilmi Aminuddin.

Dari beberapa kasus pilkada yang akhirnya memunculkan kecurigaan publik terhadap dukungan PKS kepada calon tertentu, kerap memunculkan dugaan prosedur aliran dana yang tidak sehat ini. Antara lain, kasus dukungan PKS pada pilkada walikota Surabaya dua tahun lalu.

Saat itu, pengurus wilayah mengatakan kalau dukungan kepada calon yang didukung partai kristen itu adalah wewenang DPP dalam hal ini wilda atau wilayah dakwah. Karena saat itu, PKS setempat sudah menyetujui calon dari internal sendiri yang akhirnya dikalahkan.

Begitu pun dalam kasus pilkada di kota Tangerang beberapa tahun lalu. Pengurus PKS setempat sudah bulat untuk mendukung calon tertentu yang sesuai dengan rambu-rambu PKS. Tapi, pihak DPP, menurut informasi dari pengurus PKS setempat waktu itu, mengambil alih. Akhirnya, pilihan jatuh ke pasangan Jazuli dan Airin. Padahal, baru beberapa bulan kader dan pengurus PKS ’bertarung’ melawan kakak iparnya Airin, Atut Khasyiyah dalam pilgub Banten.

Ketiga, soal tuduhan penyimpangan kasus poligami para elit PKS yang diungkap Yusuf Supendi. Sekali lagi, kasus ini terkesan sederhana dan tidak akan berpengaruh secara politis pada dukungan publik untuk PKS. Tapi, jika diteliti lebih dalam, kasus poligami yang terkesan sederhana ini, justru sudah menumbangkan banyak tokoh di berbagai lapisan.

Publik pernah ’memvonis’ bersalah dan akhirnya mengisolasi seorang tokoh dai dalam kasus poligami. Begitu pun dalam kasus pelaku bisnis makanan khas daerah. Pengaruh poligami yang dianggap ’bermasalah’ ini ternyata sangat signifikan. Tidak heran jika Presiden SBY pernah ’kebakaran jenggot’ ketika dituduh seorang politisi telah melangsungkan nikah sirri dengan seorang wanita.

Namun umumnya, publik di negeri ini tidak menganggap masalah poligami jika prosesnya berlangsung ’baik-baik’ saja. Poligami baru menjadi sorotan dan dianggap punya pengaruh signifikan secara bisnis dan politis jika adanya dugaan penzhaliman terhadap hak perempuan.

Yang perlu diingat, dan itu mungkin yang menjadi penilaian SBY, bahwa pemilih di negeri ini sebagian besar adalah pihak perempuan. Karena perempuan tidak begitu perduli dengan partai, gagasan, ideologi, dan lain-lain; asalkan tidak menzhalimi perempuan. Khsusunya dalam kasus poligami.

Dengan kata lain, PKS yang pernah menjadi partai harapan kaum muda di negeri ini, sebaiknya tidak lagi menganggap sepele ’gebrakan’ salah seorang pendirinya. Harus ada pembenahan secara signifikan agar stigma buruk ini tidak membuat buruk wajah PKS di tahun 2014.

Sebaiknya yang menjadi pertimbangan organisatoris, di mana anggotanya banyak dari kalangan muda dan terdidik di PKS adalah masa depan dakwah dan politik di negeri ini harus lebih diutamakan dari siapa pun yang sudah tercoreng di mata publik, termasuk tokoh-tokohnya yang diduga membelokkan arah perjuangan partai ke upaya memperkaya diri sendiri. Walaupun, orang-orang itu dianggap sangat berjasa. mh