Yahya dan Api Unggunnya

“Yahya,” jawab anak berjaket merah itu ketika saya bertanya siapa namanya. Bersama Muhammad, adiknya, Yahya sedang berdiang menghangatkan tubuh di depan unggun api di samping tendanya.

Percakapan kami pun mengalir setelah sapaan pertama itu. Yahya bersama ayah, ibu dan dua adiknya mengungsi dari kawasan Idlib ke Ainul Baidho di perbatasan Turki. Kenapa?

“Desa kami dijatuhi birmil, roket dan bom,” jawabnya. Anak 11 tahun itu kemudian bercerita dengan semangat kekanakannya bagaimana helikopter, jet MiG dan roket-roket Grad buatan Rusia menghancurkan rumah dan kampungnya.

“Kami ingin ke Turki, bergabung dengan kamp pengungsi di sana, Mungkin ke Yazdalij atau Urfah,” jelas Yahya ketika saya bertanya ke mana mereka hendak pergi.

Ya, kondisi kamp pengungsian di Turki jauh lebih baik. Pemerintah Turki dan lembaga-lembaga bantuan mencukupi kebutuhan mereka dengan tenda berpemanas guna melawan hawa musim dingin. Namun mereka belum bisa menembus perbatasan sehingga harus menunggu di Ainul Baidho.

Tenda-tenda di kawasan perbatasan Suriah-Turki itu tak mampu melawan dinginnya malam yang menusuk tulang. Pemanas tak ada dan tak mungkin digunakan karena bahan tenda yang plastik rawan terbakar.

Jadilah Yahya, keluarga dan para pengungsi berdiang melawan dingin di depan api unggun yang juga digunakan untuk memasak. Hal ini tentu tak bisa dilakukan jika hujan turun. Perih hati rasanya melihat anak-anak dan balita itu kedinginan.

Namun semangat Yahya tetap tinggi. Ketika saya mengambil fotonya, si kakak segera mengacungkan dua jari. Ia juga menyuruh Muhammad agar mengacungkan simbol V yang bermakna Victory atau kemenangan. Dasar anak-anak revolusi, optimis menang meskipun harus terusir dari kampungnya. [AZ]

 

Catatan Relawan HASI Dari Suriah