Menyandarkan Nikmat kepada Selain Allah Ta’ala

Eramuslim.com -Di antara kita mungkin sering tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang kelihatannya ringan, namun berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala. Misalnya, ketika kita mendapatkan suatu kenikmatan atau mendapatkan pertolongan, seringkali kita menyandarkan nikmat tersebut kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidaklah dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14]: 34)

Contohnya adalah perkataan seseorang,”Kalaulah bukan karena pertolonganmu, saya tidak tahu bagaimana nasibku ini.” Atau,”Kalaulah bukan karena tadi ada polisi lewat, mungkin kita sudah babak belur dihajar preman.” Atau,”Kalaulah anjing di rumah kita tidak menggonggong keras, kita tidak akan tahu kalau ada pencuri yang masuk ke dalam rumah kita.” Ini adalah sedikit contoh tentang beberapa perkataan yang mungkin pernah kita ucapkan tanpa kita sadari. Kelihatannya sepele, namun di dalamnya terkandung penyandaran nikmat kepada selain Allah Ta’ala. Kita justru mengaitkan nikmat tersebut kepada sebabnya, bukan kepada Allah yang menciptakan sebab tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl [16]: 83)

Mengenai ayat di atas, ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah berkata,”(Yaitu) perkataan seseorang,’Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan begini dan begitu’. Atau,’Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan menimpamu yang demikian dan demikian.” [1]

Menyandarkan Nikmat kepada selain Allah Ta’ala termasuk Kesyirikan

Bahkan, menyandarkan nikmat kepada selain Allah Ta’ala termasuk dalam perbuatan menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah Ta’ala. Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)

Ikrimah rahimahullah berkata,

أن تقولوا: لولا كلبنا لَدَخل علينا اللصّ الدارَ، لولا كلبنا صَاح في الدار، ونحو ذلك

“(Yaitu) perkataan mereka,’Kalaulah bukan karena anjing kita ini, maka rumah kita tentu akan dimasuki pencuri’. ‘Andai bukan karena anjing yang menggonggong di dalam rumah’, atau kalimat-kalimat semacam itu.“ [2]

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

الأنداد هو الشرك، أخفى من دبيب النمل على صَفَاة سوداء في ظلمة الليل، وهو أن يقول: والله وحياتك يا فلان، وحياتي، ويقول: لولا كلبة هذا لأتانا اللصوص، ولولا البطّ في الدار لأتى اللصوص، وقول الرجل لصاحبه: ما شاء الله وشئتَ، وقول الرجل: لولا الله وفلان. لا تجعل فيها “فلان”. هذا كله به شرك.

“(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Contohnya adalah perkataan,’Demi Allah dan demi hidupmu, wahai Fulan! Dan demi hidupku.’ Atau ucapan,’Kalau bukan karena anjing ini, tentu kita akan didatangi pencuri-pencuri itu.’ Atau,’Kalau bukan karena angsa di rumah ini, tentu datanglah pencuri-pencuri itu.’ Atau perkataan seseorang kepada temannya,’Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Atau perkataan seseorang,’Kalaulah bukan karena Allah dan fulan.’ Janganlah Engkau sebutkan di dalamnya,’Fulan’. Semua ini adalah perbuatan syirik terhadap Allah.” [3]

Kalimat-kalimat di atas, jika diucapkan dalam rangka menyampaikan berita tanpa melupakan Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat, maka hal ini tidak mengapa. Ini pun dengan syarat bahwa sebab (perantara) tersebut merupakan sebab yang riil, yang betul-betul menjadi perantara sampainya suatu nikmat tertentu. Bukan hanya sekedar keyakinan yang mengada-ada. Contoh, “Kalau bukan karena simbah fulan, mungkin tadi kita sudah mati.” Padahal, simbah fulan yang dia maksud tersebut sudah meninggal dunia sehingga tidak mungkin membantunya ketika jiwanya terancam. Ucapan semacam ini, sangat jelas termasuk kesyirikan.

Sehingga, ucapan di atas tidak termasuk syirik jika: 1) sebab yang disampaikan adalah sebab riil; dan 2) ketika seseorang mengatakan demikian, dia hanya sekedar menyampaikan berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah Ta’ala.

Demikianlah di antara bentuk perbuatan syirik yang mungkin tidak kita sadari selama ini. Oleh karena itu, hendaklah kita takut terjerumus ke dalam syirik sebagaimana rasa takut yang ada pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah Ta’ala,

اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم

”Ya Allah, aku berlindung dari berbuat syirik sementara aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari dosa yang tidak aku sadari.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad) [4]

Jika seorang tokoh yang bersih tauhidnya saja masih takut terhadap kesyirikan, maka tentunya kita semua ini -yang sangat miskin ilmu dan iman- seharusnya tidak merasa aman dari bahaya syirik. Sangat memungkinkan bagi kita terjerumus ke dalam syirik akbar (syirik besar) apalagi syirik kecil, baik disadari ataupun tidak.

***

Disempurnakan di pagi hari, Rotterdam NL 12 Dzulqa’dah 1438/5 Agustus 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya. []

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Catatan kaki:

[1] Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayil Qur’an, 17/273; Ma’alim At-Tanzil, 5/36.
[2] Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 1/369.
[3] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 1/196.
[4] Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih Adabul Mufrod no. 551. Lihat Syarh Shahih Adabul Mufrod, 2/394.

Sumber: https://muslim.or.id/31729-menyandarkan-nikmat-kepada-selain-allah-taala.html