Analisa Video Kekerasan Aparat di Poso: 17 Kali Kemunculan Sosok Densus

Oleh:Harits Abu Ulya

Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Boleh saja pihak Mabes Polri atau pihak lainnya membantah tentang keterlibatan Densus 88 dalam aksi kekerasan di Poso, sebagaimana yang terekam dalam sebuah video berdurasi 13.54’. Namun jika mau jujur dan obyektif menganalisa isi video tersebut maka siapapun tidak akan bisa mengelak kalau Densus 88 benar-benar terlibat bahkan pengendali dari operasi saat itu (Sabtu, 22 Januari 2007 di Poso). Dari penelitian dilapangan atas video tersebut ditemukan jawaban krusial; yakni kebenaran isi video. Artinya isi video bukanlah hasil rekayasa, tapi sebuah peristiwa real yang terjadi di Poso pada hari Sabtu tanggal 22 Januari 2007 sekitar selepas dzuhur, di depan halaman rumah seorang warga.Kejadian di wilayah Tanah Runtuh, tepatnya di kawasan Gunung Jati eks Lorong Pembantu Gubernur Kelurahan Gebang Rejo Poso. Dan korban yang ada dalam video terkonfirmasi mereka adalah; Wiwin alias Tomo alias Rahman Kalahe, Tugiran, Rasiman, Ridlwan, dan Facrudin Alias Udin.

Kemudian bagaimana dengan keterlibatan Densus88 yang disangkal oleh pihak-pihak tertentu?.Kalau kita teliti video yang berdurasi 13.54’ (tiga belas menit lima puluh empat detik), maka kita akan temukan 17 kali lebih kemunculan aparat yang di duga kuat adalah Densus88 berdasarkan indikasi ciri khas seragam, perlengkapan dan tradisi operasi mereka dilapangan. Berikut detik-detik kemunculan sosok-sosok Densus88 dari menit ke menit seperti yang tampak dalam video:

  1. 01.57   :Terlihat laki-laki dengan celana jean/levis, rambut gondrong dan menenteng senjata Steyr dan pistol Glock.
  2. 02.01   :Sosok Densus dengan seragam lengkap, posisi disebelah kiri.
  3. 03.11   :Tampak melintas dengan  tampak bagian kaki bawah yang menggunakan pelindung (decker) lutut yang biasa digunakan Densus88.
  4. 03.43   :Tampak 2 aparat Densus dan satu yang lain posisi dibelakang (sebelah kanan tampak pada detik berikutnya).
  5. 03.53   :Terlihat  kaki aparat yang menginjak-injak korban dengan sepatu cats dan celana jean/levis.
  6. 04.03   :Terlihat kaki dengan celana tidak dimasukkan ke sepatu (dengan sepatu cats).
  7. 04.49   :Melintas dan terlihat bagian bawah badan dengan celana jean/levis, bersepatu cats dan senjata menggantung nempel dibagian paha kanan.
  8. 05.07   :Seseorang dengan posisi duduk jongkok, membelakangi kamera dengan mengenakan ransel khusus yang biasa di pakai Densus88, dan orang tersebut berambut gondrong.
  9. 07.00   :Muncul dan tampak orang melintas dengan helm dan kacamata merk Oakley, ini khas dikenakan oleh aparat Densus88.
  10. 07.03   :Tampak aparat Densus 88 dengan senjata Steyr plus alat komunikasi yang nempel dibagian samping kepala.
  11. 07.34   : Terlihat aparat Densus88 dengan senjata Steyr dan Glock nya.
  12. 07.37   :Sosok salah satu anggota Densus 88 yang dikenal akrab dengan panggilan “BOY”.Dia berambut gonrong tampa helm.
  13. 08.32   :2 orang Densus88 menggelandang Wiwin paska Wiwin di tembak tembus dada kearah punggung.
  14. 11.21   :Terlihat kaki lutut Densus dengan pelindung kaki (decker) khasnya.
  15. 11.39   :Sososk Densus88 dengan senjata Steyr, Glock dan helm yang di tenteng.
  16. 13.23   :Sosok Densus88 dengan posisi jongkok dan bercelana jean/levis dan memegang senjata Steyr tanpa helm.
  17. 13.52   :Bisa dilihat dua sosok aparat dengan seragam yang berbeda dan perlengkapan yang berbeda.Yang membedakan mana aparat Densus88 dan aparat Brimob yang di perbantukan dalam operasi.

Dari indikator diatas, sulit rasanya berkelit jika dikatakan Densus88 tidak terlibat. Jika tetap bertahan dengan ketidak jujuran dan keobyektifan dari para “petinggi” maka akan muncul kecenderungan kedustaan berikutnya. Yakni tidak menutup kemungkinan ada “kambing hitam” dalam kasus ini, hanya demi terlindunginya eksistensi Densus88.

Posisi terpojok terkadang dengan mudahnya mengabaikan etika kejujuran dan rasa tanggungjawab. Bahkan terkadang logika orang terpojok termanefestasi dalam retorika-retorika split. Misalkan sebuah ucapan; “kalau Densus88 dibubarkan apakah ada yang berani jamin teroris tidak akan ada lagi di Indonesia?”, retorika seperti ini melahirkan  logika terbalik di banyak benak orang; “Apakah dengan kehadiran Densus88 terorisme makin reda?atau kemudian hilang?” sama-sama terjebak dalam jawaban ambigu.

Dan retorika-retorika yang berkembang sebagai pembelaan telah mengkaburkan esensi persoalan. Yaitu, ada perilaku aparat PENEGAK HUKUM yang mengabaikan semua kaidah-kaidah hukum dalam penegakkan hukum.Sebuah potret penegakkan hukum yang jauh dari keadaban dan perikemanusiaan. Sebuah pelanggaran serius terhadap HAM bagi setiap warga negera di negeri tercinta ini.Perlu kiranya kasus 2007 ini menjadi titik balik untuk menghentikan semua bentuk kedzaliman yang berkedok atas nama hukum. Kalau perlu para Jendral yang kendalikan operasi-operasi Densus88 yang berdarah-darah itu di seret ke pengadilan dan dimintai pertanggungjawabannya. Bukan malah sebagian mendapat promosi kenaikan bintang dan posisi jabatan yang lebih tinggi. Dan yang lebih krusial lagi, perlunya REDEFINISI terhadap “TERORISME” di Indonesia.[CIIA/15 Mar 2013]