Antara SMK, Esemka, dan TKA dari China

“Gegabah jika meniadakan salah satu model sekolah hanya karena penilaian subjektif seorang Gubernur. Proses kajian hingga perlu dibubarkan mesti melibatkan baik instansional maupun masyarakat. Ada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,” imbuh dia.

Apalagi efek dari pembubaran tentu tidak sesederhana yang dipikirkan. Terutama jika lembaga tersebut masih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Justru akan membuat satu masalah baru. Karena dengan membubarkan SMK justru menambah angka pengangguran.

“Berbeda dengan Pak Jokowi yang memuji SMK hingga intens mempublikasi karya siswa yang kemudian populer dengan sebutan ‘mobil esemka’, Gubernur Jawa Barat ini justru mempermasalahkan bahkan menyalahkan SMK atas terjadinya pengangguran. Bahkan mengancam pembubaran pula,” lanjut Rizal.

Fokus Pemprov Jabar yang dipimpin Kang Emil harusnya bukanlah kepada ancaman pembubaran. Akan tetapi kepada revitalisasi SMK beserta lulusannya. Toh Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres 9 tahun 2016 yang menekankan pada revitalisasi.

“Mendikbud telah merancang road map pengembangan SMK, menyempurnakan dan menyeleraskan kurikulum SMK sesuai penggunaan lulusan (link & match). Target pada 2020 adalah 80 persen tamatan bekerja pada bidangnya, 12 persen berwirausaha, dan 8 persen bersertifikasi profesi. Nah Emil kerjakan saja program revitalisasi ini sebagai bukti berhasil atau tidak kepemimpinannya. Nggak usah ancam bubar- bubarkan segala,” tegas Rizal.

“Pidato Jokowi baru-baru ini bernada ancam ancam soal ideologi, investasi, maupun birokrasi, kini Kang Emil juga sama saja. Menyalahkan SMK atas pengangguran kurang bijaksana. Masyarakat yakin bahwa lapangan kerja yang kurang adalah faktor utama penyebab pengangguran. Bukan sekolah. Bahkan ironinya di beberapa kegiatan usaha justru kini diisi tenaga kerja dari China. Dari negeri China. Memprihatinkan,” tandanya. [rmol]